Selanjutnya berkenaan dengan isitirahat panjang, sebaiknya dalam RUU Cipta Kerja juga menegaskan standarisasi istirahat panjang yang dapat digunakan oleh perusahaan dan pekerja seperti yang telah diatur atau dikukuhkan sekarang dalam Pasal 79 ayat 2 huruf (d) UU 13/2003, yakni istirahat panjang sekurang-kurangnya dua bulan.
Dan jangan hanya menyerahkan pengaturan istirahat Panjang dimaksud berdasarkan kesepakatan perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama, hal ini akan sulit disepakati mengingat kedudukan pemberi pekerja yang lebih dominan ketimbang pekerja. Â
Andaikata ketentuan istirahat panjang dua bulan dirasakan sudah tidak sesuai lagi, maka sebaiknya hal itu dievaluasi kembali untuk mengukur batas kepantasan istirahat panjang.
Hal tersebut mesti sesuai perkembangan zaman yang diwakilkan keadilannya melalui penegasan yang termaktub dalam undang-undang, dan bukan berdasarkan kepentingan pemberi kerja atau perusahaan saja.
Dan masing-masing poin dimaksud menegaskan manfaat dan kekurangannya, dan hal itu perlu dipahami sewajarnya, mengingat setiap perubahan yang menuju kearah modernisasi selalu melahirkan pula pertentangan yang saling bertolak belakang (contradictio in terminis).
Layaknya dalam menyikapi kemajuan teknologi, yang satu sisi dapat memberikan manfaat, dan disisi lain dapat pula mendatangkan kerugian.Â
Oleh karenanya, kedepan terkait Tantangan RUU Cipta Kerja yang masih merugikan akibat adanya desakan perubahan dimaksud, sudah sewajarnya diperjuangkan pula melalui mekanisme pilihan yang tersedia, ketimbang lebih memilih untuk memprovokasi anti perubahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H