Mohon tunggu...
Henri S. Sasmita
Henri S. Sasmita Mohon Tunggu... Lainnya - Pengajar

Enthusiasm in education | Pandu Digital | Enthusiastic about law, art, culture, society, and technology | henry@office.seamolec.org

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ketika Orientasi Bisnis "Kotak Ajaib" Mempertuhankan Rating

13 Mei 2018   19:01 Diperbarui: 13 Mei 2018   21:01 1888
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: italiabookmarks.com

Kebutuhan rohani, merupakan kebutuhan yang dibutuhkan manusia untuk memenuhi kebutuhan jiwa dan batin. Misalnya hiburan, ibadah, rekreasi, kesenian, dan lainnya. Hiburan menjadi salah satu kebutuhan manusia yang selalu berubah-ubah mulai dari bentuk dan caranya, sesuai dengan perkembangan zaman yang semakin modern.

Kini, hiburan yang paling mudah dijangkau dan dipenuhi oleh manusia modern dan biasanya pasti ada di tiap rumah adalah televisi. Variasi jenis layanan TV dibagi menjadi dua jenis, yaitu TV berbayar dan TV gratis. Masyarakat kini banyak mencari jenis TV berbayar atau TV berlangganan sebagai alternatif layanan tontonan terbaik di luar layanan TV gratis.

Tapi masih banyak masyarakat yang hanya memanfaatkan layanan TV gratis karena televisi menjadi sumber hiburan dan informasi, berisi berita terkini, serial sinetron, hingga film yang menghidupi suasana di rumah setiap harinya kebutuhannya yang cukup penting untuk dimiliki sebagai hiburan murah dan mudah saat ini.

Bulan ramadhan di Indonesia memang sungguh spesial dibanding dengan bulan-bulan lainnya.Tidak hanya aktivitas keagamaan, hampir semua level kehidupan menyatu dalam suasana  ramadhan. Di sektor ekonomi, mulai dari pasar tradisional hingga pasar swalayan, menyediakan menu buka puasa dan sahur. 

Dan banyak bermunculan pasar dadakan di pinggiran jalan menjajakan makanan menu khas bulan ramadhan.  Dunia media juga ikut meramaikan kehadiran bulan ramadhan khususnya siaran televisi, beragam sajian program TV  tampak lebih Islami dibandingkan bulan-bulan biasa seperti sinetron Islami, komedi ringan disertai kuis interaktif, dan ceramah rohani pendek merupakan jenis acara yang kerap ditemui di berbagai stasiun televisi.

Tapi ada beberapa acara yang terkesan hanya candaan biasa yang diselipkan kuis interaktif bahkan konten edukasinya sedikit.  Semua tayangan tersebut apakah untuk nilai keimanan sebagai bagian dari napas dari bulan suci ramadhan ataukah hanya untuk mengejar rating tujuannya untuk mengeruk belanja iklan di televisi.

Menurut Cambridge dictionary television rating a measure of how popular a television programme is, expressed as the percentage of people who watched it compared with the number who could have watched it.  Jadi rating televisi adalah ukuran seberapa populer program televisi, dinyatakan sebagai persentase suatu acara TV ditonton oleh pemirsa pada saat di tayangkan.

Menurut seorang profesor dan pengamat media, Dedi Nur Hidayat, mengingatkan bahwa dunia media tak dapat dilepaskan dari logika  never ending of circuit capital accumulation (perputaran akumulasi kapital yang tak pernah usai) tidak terlepas dari orientasi akumulasi kapital ( profit oriented ).  Jika sebelumnya masih tersisa idealisme berupa 'kejernihan berita' dan 'pencerdasan masyarakat', kini setidaknya hampir satu dasa warsa mengudara ideologi televisi bergeser kearah perolehan rating-share.  

Rating-share dimaksudkan sebagai tolak ukur kepeminatan pemirsa terhadap sebuah tayangan televisi. Demi peningkatkan kepeminatan, televisi akan melakukan pelbagai cara, kreasi, dan inovasi bahkan hingga menembus batas normatif. Di titik ini, televisi berposisi di antara dua pilihan simalakama.

Media tidak hanya memiliki efek langsung terhadap individu tetapi juga mempengaruhi kultur, pengetahuan kolektif, dan norma serta nilai-nilai dari suatu masyarakat.

Media masa telah menghadirkan seperangkat citra (images), gagasan dan evaluasi dari mana audience dapat memilih dan menjadi acuan bagi perilakunya. Misalnya dalam hal perilaku seksual, media massa memberikan suatu pandangan komulatif mengenai apa yang dianggap normal dan apa yang disetujui atau yang tidak disetujui.

Media massa khususnya televisi dalam perkembangannya sekarang ini bisa dikatakan semua stasiun tv swasta menyuguhkan acara yang seragam kepada pemirsa yang hal ini merupakan akibat dari berlomba-lombanya setiap stasiun tv untuk meraih pendapatan iklan sehingga tidak lagi terlalu memperhatikan isi program dan jam tayang yang tepat, hal ini terjadi karena kurangnya kreatif para pelakunya.

Stasiun televisi dalam menentukan agenda acaranya serta pilihan wacana pemberitaannya, sangat dipengaruhi pertimbangan politik dan ekonomi didalam maupun diluar media televisi.

Di dalam media para penentu agenda media sangat dipengaruhi oleh rating, karena rating yang tinggi secara langsung akan mendorong para produsen untuk memasang iklan yang pada gilirannya akan memberikan income bagi stasiun yang bersangkutan.

Sedangkan di luar media faktor politik dan ekonomi yang mempengaruhi mengingat televisi merupakan industri yang dimiliki oleh para pemodal besar.

Golding dan Murdock (1995), pengamat media massa menyatakan media khususnya televisi, telah tidak lagi semata-mata menjadi sarana hiburan dan informasi, apalagi public sphere ruang publik untuk menyampaikan diskusi politik yang bermutu dan bebas tetapi cenderung menjadi bagian dari industri budaya (culture industry). Sebagai industri budaya televisi adalah institusi penentu dari setiap keputusan politik dan ekonomi penontonnya.

Agar acara-acara televisi kita bisa memenuhi fungsinya untuk memberi informasi, menghibur, sekaligus bisa menarik pengiklan, rating harus menghormati nilai-nilai yang dimuat dalam berbagai aspek perundang-undangan maupun kode etik televisi itu sendiri. Baik itu termuat dalam (UU) penyiaran, regulasi komisi penyiaran, UU pers, UU perlindungan konsumen sekaligus nilai-nilai hak informasi, maupun hak asasi manusia.

Rating yang tidak sehat dapat melahirkan budaya yang tidak sehat juga, yang dapat mengesahkan berbagai aspek kekerasan, baik kekerasan perilaku, simbol, bahasa, hingga konsumerisme maupun hedonisme sebagai tontonan.

Hal itu terjadi mungkin susahnya pembuat  program acra televisi menciptakan suatu program televisi yang melahirkan relaksasi populer yang memberikan ruang rasa indah, rasa kepahlawanan, rasa hormat, rasa cinta, tertawa, dan relaksasi ringan yang produktif lainnya, tanpa kesan dipaksakan atau dilebih-lebihkan malah terkesan tacky (norak) bahkan dibuat-buat guna mendapat rating tinggi.

Program televisi kita cenderung sebagian besar semakin jauh dari kemampuan sebagai medium budaya populer yang produktif dan kompetitif sekaliguis genial, tetapi penuh dengan kekerasan, mistis dan konsumerisme.

Kita bisa saksikan program acara penuh dengan kekerasan yang ditayangkan, baik itu kekerasan perilaku maupun bahasa yang ditayangkan pada jam anak sekolah pulang atau program mistis pada jam keluarga berkumpul dan program acara konsumerisme seperti sinetron yang menyuguhkan banyak mimpi dalam kemudahan dan kemewahan.

Apakah lebih baik menyuguhkan program acara yang lebih humanis yang pembuatan nya tidak dilebih-lebihkan atau dibuat-buat agar bisa menimbulakn rasa kedekatan (proximity) , rasa kesederhanaan dengan realitas sebenarnya.

Walaupun program-program tersebut menghibur daripada memberikan informasi apalagi pendidikan sebagai fungsi lain dari media massa. Namun apakah benar bahwa masyarakat terus menerus membutuhkan hiburan dan perlu dihibur setiap hari sehingga melupakan banyak hal lain yang lebih penting dalam kehidupan mereka.

Berita-berita atau acara yang seolah-olah menghibur itu seringkali ibarat candu, terasa nikmat sehingga melupakan kita dari berbagai persoalan serius yang seharusnya kita hadapi. Masyarakatpun rasanya perlu lebih jeli dalam menyeleksi konsumsi media yang ada disekitar kita dan tidak menelannya mentah-mentah.  

Seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi, media massa khususnya televisi bersaing dengan media online, banyak kreator konten kreatif muda yang berhasil membuat program-program  cerdas dan kreatif yang tidak dapat ditemukan dimedia televisi yang pada akhirnya mendapatkan keuntungan dari konten yang mereka buat sendiri.  

Masyarakat khususnya generasi milenial sekarang lebih jeli dan lebih tertarik pada media online karena mereka dengan bebas dapat menuangkan ide cerdas dan kreatif mereka tanpa berpikir tentang rating dan pemodal. Industri media televisi dihadapkan pada persaingan cukup keras, mereka memerlukan orang-orang cerdas dan kreatif untuk membuat dan menciptakan sebuah program acara yang baik.

Media massa memang seperti pisau bermata dua, mata yang satu berguna untuk membantu menyebarkan nilai-nilai kebaikan mata yang lain bisa menyebarkan nilai-nilai yang seharusnya ditolak masyarakat.         

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun