Well, ga jarang dalam kehidupan sehari-hari kita dihadapkan pada situasi yang membuat kita harus mengambil sikap atau juga kesimpulan untuk memilih satu opsi di antara yang lain.
Tidak selalu mudah memang, untuk memutuskan apa tindakan yang dilakukan setelahnya, kapan mulai bertindak, akan melibatkan siapa saja, dampaknya apa saja dan lain-lainnya.
Itu bagian dari hidup kita. Resolusi konflik namanya. Baik konflik internal (pergulatan batin, uhuk..) maupun eksternal (melibatkan orang lain).Â
Percayalah kawan, "piya-piye" (bahasa Jawa: gimana ini) doang itu ga bakalan ada gunanya kalau kamu ga barengi dengan tindakan selanjutnya yang lebih berfaedah.
Sedikit cerita tentang foto ini ya.
Foto ini kuambil waktu malam-malam antri beli bensin di sebuah SPBU di kampung halamanku, Tulungagung.Â
Lamaaaa. Awalnya ku merasa sayang untuk keluar dari antrian, karena merasa sayang atas effort yang udah kukeluarkan untuk nunggu.Â
Namun kemudian, setelah beberapa saat menimbang-nimbang, akhirnya kuputuskan banting setir aja, karena toh setelah SPBU ini masih ada SPBU lain yang searah jalan pulang dan bensin di tangki masih cukup lah untuk sampai ke sana.Â
Somehow, ku merasa lega setelah ambil keputusan itu. Lebih baik melepaskan yang udah, daripada lanjut namun lebih konyol jatuhnya! Ini baru urusan antri beli bensin yak, hehe..
Yuk kita tarik ke bahasan yang lebih seriyes tentang relasi.
Terutama buat kamu yang cewek ya, bukannya kenapa-napa nih, beneran deh cermati gaya resolusi konflik dan pengambilan keputusan pasanganmu.Â
Buat jaga-jaga aja agar risiko KDRT bisa dicegah sangat jauh-jauh sebelumnya. Hmmm, sebenarnya ga hanya cewek aja sih yang dapat terjebak dalam relasi yang tidak sehat. Cowok pun juga memiliki peluang yang sama. Tapi seringnya sih yang menjadi korban akibat ketimpangan relasi kuasa itu ya cewek.
Kalau kamu lagi in-relationship dengan seseorang, beneran deh (sampe dua kali lho ku sebut) coba ya, sikap pengambilan keputusan si doi, kamu cermati betul-betul.
Lho kok bisa nyampe situ?Â
Iya setidaknya bisa dapet gambaran apakah doi berpotensi menjadi bucin nan martir, bucin agresif-abusif-manipulatif, atau bucin halu yang mana ketiganya ini adalah gambaran pribadi yang tidak sehat dalam merespon interaksi dalam relasi itu.Â
Sayangnya, pas udah nemuin ada yang nggak beres, malah pada tenggelam dalam harapan semacam:
"suatu saat dia akan berubah"
"sayang aja, karena udah jalan bareng udah lama"
"gimana dong, udah saling kenal keluarga masing-masing, malu lah kalau bubar jalan"
dan statement lain yang senada..
Kalau dianalogikan dengan ceritaku di atas tentang dilema antri bensin nih ya.
Meskipun kesalahan berpikir "sunk cost fallacy" seperti ini aku cukup ngerti dan pelajari di kelas psikologi sosial zaman kuliah dulu.Â
Namun pas ngalami situasi yang mirip-mirip begini, aku masih ngerasa sulit karena merasa sudah banyak menginvestasikan waktu, energi, uang, dan lain sebagainya.
Merasa 'I've come this far', padahal yaaa dengan bertahan pada pilihan tersebut kalau memang hal tersebut jelek ya tetep jelek aja.Â
Bertahan pada pilihan tersebut hanya karena pikiran itu (udah banyak invest pada pilihan itu) jelas makin memperburuk kondisi.
Saya pernah berada dalam hubungan yang toxic selama 7 tahun -tanpa menghitung masa pacarannya ya hingga akhirnya memutuskan 'cut', kemudian sempet in-relationship selama 1,5 tahun dan 'cut' juga, kemudian selama 4 bulan dan 'cut' pastinya.
I'm not saying my current relationship is risk-free ya, but I'm proud of myself that at least I learned important things from my previous ones.
Pelajarannya adalah 'tidak bertahan dalam relasi yang toxic bersama dengan orang yang toxic'.Â
Beberapa tanda pasangan yang perlu kita segera jauhi apalagi kalau masih pacaran berdasarkan pengalaman pribadi dan hasil pengamatan:
- Pelit bilang "tolong", "terima kasih", "maaf"
- Gemar berbohong untuk menampilkan kesan tertentu, misalnya: besar pasak daripada tiang untuk mengesankan dia orang berpunya, memanipulasi citra dirinya di depan orang lain
- Berselingkuh
- Kasar, misalnya: sering menghardik, menyindir/berkomentar yang menjatuhkan mental, dan bahkan hingga menunjukkan perilaku kekerasan fisik
- Mengeksploitasi secara finansial, misalnya: sering 'pinjem' duit tapi ga pernah balikin, minta dibayarin ini-itu dengan atau tanpa ancaman
Syukur (dan ini adalah doa kita semua, amiiinn) kamu punya pasangan dengan kematangan emosional yang mumpuni yak.Â
Sehingga apa? Ya, dia bisa ambil keputusan dengan matang dan bertanggung jawab.
Nah bagaimana dengan kamu (atau kita) sendiri?Â
Yaaaa kita juga harus mau terus belajar dong kemampuan regulasi seperti ini ga akan muncul tiba-tiba tanpa latihan.Â
Kamu (atau kita) hanya perlu untuk terus sadar mau belajar 😃
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H