Kalau dianalogikan dengan ceritaku di atas tentang dilema antri bensin nih ya.
Meskipun kesalahan berpikir "sunk cost fallacy" seperti ini aku cukup ngerti dan pelajari di kelas psikologi sosial zaman kuliah dulu.Â
Namun pas ngalami situasi yang mirip-mirip begini, aku masih ngerasa sulit karena merasa sudah banyak menginvestasikan waktu, energi, uang, dan lain sebagainya.
Merasa 'I've come this far', padahal yaaa dengan bertahan pada pilihan tersebut kalau memang hal tersebut jelek ya tetep jelek aja.Â
Bertahan pada pilihan tersebut hanya karena pikiran itu (udah banyak invest pada pilihan itu) jelas makin memperburuk kondisi.
Saya pernah berada dalam hubungan yang toxic selama 7 tahun -tanpa menghitung masa pacarannya ya hingga akhirnya memutuskan 'cut', kemudian sempet in-relationship selama 1,5 tahun dan 'cut' juga, kemudian selama 4 bulan dan 'cut' pastinya.
I'm not saying my current relationship is risk-free ya, but I'm proud of myself that at least I learned important things from my previous ones.
Pelajarannya adalah 'tidak bertahan dalam relasi yang toxic bersama dengan orang yang toxic'.Â
Beberapa tanda pasangan yang perlu kita segera jauhi apalagi kalau masih pacaran berdasarkan pengalaman pribadi dan hasil pengamatan:
- Pelit bilang "tolong", "terima kasih", "maaf"
- Gemar berbohong untuk menampilkan kesan tertentu, misalnya: besar pasak daripada tiang untuk mengesankan dia orang berpunya, memanipulasi citra dirinya di depan orang lain
- Berselingkuh
- Kasar, misalnya: sering menghardik, menyindir/berkomentar yang menjatuhkan mental, dan bahkan hingga menunjukkan perilaku kekerasan fisik
- Mengeksploitasi secara finansial, misalnya: sering 'pinjem' duit tapi ga pernah balikin, minta dibayarin ini-itu dengan atau tanpa ancaman
Syukur (dan ini adalah doa kita semua, amiiinn) kamu punya pasangan dengan kematangan emosional yang mumpuni yak.Â
Sehingga apa? Ya, dia bisa ambil keputusan dengan matang dan bertanggung jawab.
Nah bagaimana dengan kamu (atau kita) sendiri?Â