Kembali lagi pada situasi pandemi, kondisi eksternal yang bersifat bencana ini merupakan ancaman terhadap makna dan keberadaan manusia, terutama ketika manusia  tidak mampu memahami bahwa penderitaan adalah bagian dari kesatuan hidupnya. Jika dulu piknik menjadi hal yang mudah dilakukan, maka kini kita perlu bersiasat dan mencari  cara untuk merealisasikannya. Di masa pandemi ini, Millennials lebih terpengaruh oleh kondisi ekonomi yang buruk daripada non-Millennials[2]. Akibatnya, sebagian besar Millennials tidak mampu melakukan perjalanan liburan yang ekstensif.
Kemudian, bagaimana menyiasati kondisi saat ini yang penuh pembatasan dalam bepergian dan interaksi sosial?Â
Viktor Frankl[9] menekankan bahwa hidup memiliki makna dalam segala keadaan, termasuk bahwa penderitaan itu tak terhindarkan dan merupakan bagian dari keberadaan manusia. Ketika pandemi dianggap sebagai penderitaan yang menimbulkan berbagai keluhan, pendekatan Frankl menawarkan penerimaan dualitas umum kehidupan dan melihatnya sebagai aspek manusiawi. Alih-alih merasa terjebak dalam cabin-nya, perlu diupayakan sudut pandang berbeda sehingga  mencapai makna yang mendukung sehat mental. Perspektif baru dikembangkan untuk lebih berfokus pada hal yang DAPAT dilakukan daripada hal yang TIDAK DAPAT dilakukan.
Karenanya, coping adaptif dikembangkan untuk menjaga kesehatan fisik dan mental individu[12], agar hidup tetap seimbang. Beberapa coping adaptif ketika Millennials belum bisa berpiknik antara lain:
- Mulai kenali ketika perasaan kesendirian (loneliness) berkembang menjadi pikiran yang penuh angan-angan (wishful thinking). Berandai-andai atau lamunan di siang bolong dapat menguatkan penyangkalan atas kondisi nyata yang dihadapi.
- Telusuri solusi potensial untuk mengatasi perasaan kesendirian, misalnya: mengobrol dengan teman, bergabung di kelompok/komunitas hobi, berinteraksi dengan anggota keluarga yang serumah, dan lain sebagainya.
- Kembangkan beragam aktivitas yang sekiranya dapat dilakukan sendirian secara aktif, misalnya: melakukan hobi yang produktif (menulis jurnal reflektif, menulis cerita fiksi, blogging, berkreasi seni, utak-atik gadget), mendekorasi ulang ruangan atau rumah, berolahraga dengan target pribadi tertentu, dan lain sebagainya.
Berperan pasif seolah membantu karena kita tidak perlu mengeluarkan energi dan sumber daya. Namun perlu diingat bahwa jebakan "sad passivity" dengan berdiam diri, lebih mudah menjerat kita ke dalam lingkaran setan pikiran mengasihani diri sendiri sehingga justru mengembangkan mental sebagai korban (playing victim). Sebaliknya, dengan melakukan pemaknaan selama masa PPKM -atau seterusnya selama pandemi ini belum usai- melalui "berwisata ke dalam diri sendiri" maka dimana pun berada, kita bisa menciptakan sensasi piknik sesuai versi kita.Â
Salam sehat selalu!
Referensi
- Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (2016) Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring, available at: https://kbbi.kemdikbud.go.id/ (diakses pada 8 Juli 2021)
- Barton, C., Haywood, J., Jhunjhunwala, P. and Bhatia, V. (2013), Travelling with millennials, The Boston Consulting Group, S.P., Â available at: https://www.bcg.com/publications/2013/transportation-tourism-marketing-sales- traveling-millennials (diakses pada 8 Juli 2021).
- Brooks, S.K, Webster, R.K, Smith, L.E, Woodland, L, Wessely, S, Greenberg, N. (2020). The psychological impact of quarantine and how to reduce it: a rapid review of the evidence. Lancet, 395:912-920
- Brown, L. (2013). Tourism: A Catalyst for an existential authenticity. Ann Tourism Res 40: 176-190.
- Cavagnaro, E. & Staffieri, S. (2015). A Study of students travelers' values and needs in order to establish futures patterns and insights. Journal of Tourism Futures, 1(2), pp. 94- 107
- Chew, NWS, Lee GKH, Tan BYQ, Jing M, Goh Y, Ngiam NJH. (2020) A multinational, multicentre study on the psychological outcomes and associated physical symptoms amongst healthcare workers during COVID-19 outbreak. Brain Behav Immun ; 88:559- 565
- Duffey, M. E. (2005). The American reincarnation of the superfluous experience: Finding meaning in generation Y. Journal of Creativity in Mental Health, 1 (3-4), 225- 235.
- Filep, S., & Laing, J. (2018). Trends and directions in tourism and positive psychology. Journal of Travel Research, 58(3), 343-354.
- Frankl, V.E. (1992). Man's search for meaning: An introduction to Logotherapy. Boston, Massachusetts: Beacon Press.
- Park, C.L., Edmondson, D.S., Hale-Smith, A. (2013). Why religion? Meaning as motivation. in APA Handbook of Psychology, Religion, and Spirituality, Vol. 1, Edited By Kenneth I. Pargament, Julie J. Exline, And James W. Jones, Pp. 157--71. Washington, DC: American Psychological Association
- United Nations World Tourism Organization and World Youth Student Educational Travel Confederation (UNWTO and WYSE Travel Confederation) (2016). Affiliate members global reports, volume thirteen -- the power of youth travel. UNWTO, Madrid.
- Zeidner, M., &Saklofske, D. (1996). Adaptive and maladaptive coping. In Zeidner, M & Endler, N (eds). Â Handbook of coping: Theory, research, applications (pp. 505--531). New York: John Wiley & Sons.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H