Mohon tunggu...
Idei Khurnia Swasti
Idei Khurnia Swasti Mohon Tunggu... Dosen - a Life Learner - Psikolog Klinis

Mental health enthusiast dengan fokus pada human well-being, social support, dan positive communication.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

"Buat Apa Piknik?" Siasati Kebutuhan Piknik para Millennials agar Tetap Sehat Mental

18 Juli 2021   14:13 Diperbarui: 21 Januari 2022   17:57 492
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Stephen Leonardi on Unsplash   

Pandemi Covid-19 sejak 2020 silam adalah problem dunia yang tak terhindarkan. Banyak orang kehilangan pekerjaan, mengalami perubahan drastis dalam rutinitas keseharian, dan menemui berbagai permasalahan sebagai efek dominonya. Lebih lanjut, pandemi berpotensi meningkatkan masalah kesehatan mental yang tampak dalam gejala kecemasan, depresi, dan gangguan stres pasca-trauma sebagaimana sering dilaporkan oleh populasi umum[3,6].

Yang paling jelas, kesehatan mental masyakarat telah terpengaruh karena ketakutan terinfeksi. Orang-orang beralih dari moda transportasi umum ke moda transportasi pribadi seiring menguatnya prioritas untuk menjaga jarak fisik. Atau bahkan, mereka tidak bepergian sama sekali! Nah, ibarat makan buah simalakama. Pergi, menakutkan. Di rumah saja, membosankan.

Terlebih lagi dengan diperpanjangnya Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) pada Juli 2021 ini, fenomena kesehatan mental yang kembali marak terjadi adalah cabin fever. Cabin fever tampak dalam gejala-gejala yang mirip dengan depresi ringan karena ada perasaan  gelisah, mudah lelah, tidak bersemangat dalam beraktivitas dan dapat juga disertai emosi yang cenderung sedih atau gloomy. Cabin fever muncul akibat seseorang terlalu lama berada di rumah, tidak dapat bepergian atau bersosialisasi tatap muka. Cabin fever berimbas pada produktivitas karena penurunan semangat beraktivitas.

Hmm... Jadi kepingin segera piknik, ya?

Piknik diartikan sebagai bepergian ke luar kota dengan membawa bekal dan sebagainya[1]. Tapi sekarang, piknik dan liburan seperti memiliki arti yang sama. Berwisata, berlibur, atau piknik menawarkan tempat-tempat baru untuk dilihat, dan juga dapat meningkatkan kesadaran seseorang atas diri mereka sendiri. Komunitas tuan rumah, tempat yang nyaman, akomodasi, dan pengalaman kuliner, semuanya dapat melantarkan pengalaman piknik berkontribusi memperkaya kehidupan seseorang dan menjembatani kebutuhan refleksi batin[4]. Tidak dapat dipungkiri, piknik menyiratkan perubahan dalam rutinitas sehari-hari.

Dalam konteks berwisata, tren psikologi positif berkembang dan menjadi sorotan[8]. Penggabungan Psikologi Positif dan pariwisata mengarah pada pengembangan pola pikir positif yang meningkatkan kebahagiaan dan mengarahkan orang untuk sepenuhnya terlibat dalam proses pencapaian tujuan mereka melalui perilaku berwisata. Selanjutnya, terkait kebutuhan universal manusia untuk memiliki makna seperti penuturan Viktor Frankl[9], kebutuhan ini mendorong seseorang memahami pengalaman sehingga ia merasa bahwa hidupnya penting dan bertujuan[10]. Dapat dipahami bahwa, ketika seseorang merasakan hidupnya bermakna, ia tentunya dapat lebih bersemangat menjalani hari-harinya, bukan? Tak pelak lagi, kemampuan individu menciptakan makna pun merupakan salah satu ciri mental yang sehat.

Nah, bagaimana kajian mengenai piknik pada generasi milenial? 

Pengalaman pariwisata yang terdiri dari tiga komponen utama: kegiatan melakukan perjalanan, penyempurnaan dari pengalaman itu sendiri, dan evaluasi perjalanannya, memperkuat intensi berwisata pada generasi milenial. Generasi milenial (dalam tulisan ini, selanjutnya akan kita sebut Millennials), menurut  sebagian besar definisi, lahir antara tahun 1980 dan 2000. Generasi Y (lahir 1980 - 1994) dan Generasi Z (lahir antara 1994 - hingga saat ini) termasuk generasi milenial (lahir akhir 1980-an dan seterusnya). The United Nations World Tourism Organization & World Youth Student Educational Travel Confederation menyatakan bahwa Generasi Z merupakan sekitar 30% populasi dunia dan memiliki 29 juta turis internasional di seluruh dunia[11]. Generasi Z bahkan disebut sebagai "the-internet-in-its-pocket-generation".

Terkait pengalaman berwisata, kita dapat mulai memahami Millennials senang bepergian. Pertama, sebagaimana generasi lain, Millennials menghadapi tantangan: upaya menemukan makna dalam pengalaman mereka dan menjalani kehidupan yang bertujuan[7]. Sebagai strategi coping, misalnya, ada orang yang bepergian untuk mengobati diri yang baru saja patah hati atau berpiknik ke pantai untuk mendapatkan ide guna penyelesaian suatu tugas. Makna yang dihasilkan melalui interaksi dengan orang lain di tempat baru, selanjutnya dapat diresapi oleh individu dan berkontribusi pada perkembangan dirinya. Maka dari itu, piknik, liburan, atau perjalanan wisata menjadi angin segar nan solutif atas berbagai situasi tidak menyenangkan yang dihadapi.

Kedua, piknik berarti kebaruan bagi para Millennials. Kemungkinan untuk mencoba gaya hidup yang berbeda, menjalani pengalaman baru, mengunjungi tempat-tempat baru dan memperoleh pengetahuan baru merupakan daya tarik piknik. Dari perspektif ini, bepergian berarti menjalani pengalaman pengembangan pribadi yang berpusat pada individu. Kebaruan yang ditemui membawa Millenials pada tingkat pencapaian berikutnya dari apa yang sudah dimiliki saat ini. Kemudian, makna yang diperoleh tidak hanya berhenti pada pemenuhan kebutuhan individu akan kebaruan, namun juga mencakup kebutuhan untuk mengambil bagian dalam tren sosial, bersosialisasi dengan teman dan orang lokal di lokasi wisata, serta kebutuhan spiritual untuk bersentuhan dengan alam[5].

Kembali lagi pada situasi pandemi, kondisi eksternal yang bersifat bencana ini merupakan ancaman terhadap makna dan keberadaan manusia, terutama ketika manusia  tidak mampu memahami bahwa penderitaan adalah bagian dari kesatuan hidupnya. Jika dulu piknik menjadi hal yang mudah dilakukan, maka kini kita perlu bersiasat dan mencari  cara untuk merealisasikannya. Di masa pandemi ini, Millennials lebih terpengaruh oleh kondisi ekonomi yang buruk daripada non-Millennials[2]. Akibatnya, sebagian besar Millennials tidak mampu melakukan perjalanan liburan yang ekstensif.

Kemudian, bagaimana menyiasati kondisi saat ini yang penuh pembatasan dalam bepergian dan interaksi sosial? 

Viktor Frankl[9] menekankan bahwa hidup memiliki makna dalam segala keadaan, termasuk bahwa penderitaan itu tak terhindarkan dan merupakan bagian dari keberadaan manusia. Ketika pandemi dianggap sebagai penderitaan yang menimbulkan berbagai keluhan, pendekatan Frankl menawarkan penerimaan dualitas umum kehidupan dan melihatnya sebagai aspek manusiawi. Alih-alih merasa terjebak dalam cabin-nya, perlu diupayakan sudut pandang berbeda sehingga  mencapai makna yang mendukung sehat mental. Perspektif baru dikembangkan untuk lebih berfokus pada hal yang DAPAT dilakukan daripada hal yang TIDAK DAPAT dilakukan.

Karenanya, coping adaptif dikembangkan untuk menjaga kesehatan fisik dan mental individu[12], agar hidup tetap seimbang. Beberapa coping adaptif ketika Millennials belum bisa berpiknik antara lain:

  1. Mulai kenali ketika perasaan kesendirian (loneliness) berkembang menjadi pikiran yang penuh angan-angan (wishful thinking). Berandai-andai atau lamunan di siang bolong dapat menguatkan penyangkalan atas kondisi nyata yang dihadapi.
  2. Telusuri solusi potensial untuk mengatasi perasaan kesendirian, misalnya: mengobrol dengan teman, bergabung di kelompok/komunitas hobi, berinteraksi dengan anggota keluarga yang serumah, dan lain sebagainya.
  3. Kembangkan beragam aktivitas yang sekiranya dapat dilakukan sendirian secara aktif, misalnya: melakukan hobi yang produktif (menulis jurnal reflektif, menulis cerita fiksi, blogging, berkreasi seni, utak-atik gadget), mendekorasi ulang ruangan atau rumah, berolahraga dengan target pribadi tertentu, dan lain sebagainya.

Berperan pasif seolah membantu karena kita tidak perlu mengeluarkan energi dan sumber daya. Namun perlu diingat bahwa jebakan "sad passivity" dengan berdiam diri, lebih mudah menjerat kita ke dalam lingkaran setan pikiran mengasihani diri sendiri sehingga justru mengembangkan mental sebagai korban (playing victim). Sebaliknya, dengan melakukan pemaknaan selama masa PPKM -atau seterusnya selama pandemi ini belum usai- melalui "berwisata ke dalam diri sendiri" maka dimana pun berada, kita bisa menciptakan sensasi piknik sesuai versi kita. 

Salam sehat selalu!

Referensi

  1. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (2016) Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring, available at: https://kbbi.kemdikbud.go.id/ (diakses pada 8 Juli 2021)
  2. Barton, C., Haywood, J., Jhunjhunwala, P. and Bhatia, V. (2013), Travelling with millennials, The Boston Consulting Group, S.P.,  available at: https://www.bcg.com/publications/2013/transportation-tourism-marketing-sales- traveling-millennials (diakses pada 8 Juli 2021).
  3. Brooks, S.K, Webster, R.K, Smith, L.E, Woodland, L, Wessely, S, Greenberg, N. (2020). The psychological impact of quarantine and how to reduce it: a rapid review of the evidence. Lancet, 395:912-920
  4. Brown, L. (2013). Tourism: A Catalyst for an existential authenticity. Ann Tourism Res 40: 176-190.
  5. Cavagnaro, E. & Staffieri, S. (2015). A Study of students travelers' values and needs in order to establish futures patterns and insights. Journal of Tourism Futures, 1(2), pp. 94- 107
  6. Chew, NWS, Lee GKH, Tan BYQ, Jing M, Goh Y, Ngiam NJH. (2020) A multinational, multicentre study on the psychological outcomes and associated physical symptoms amongst healthcare workers during COVID-19 outbreak. Brain Behav Immun ; 88:559- 565
  7. Duffey, M. E. (2005). The American reincarnation of the superfluous experience: Finding meaning in generation Y. Journal of Creativity in Mental Health, 1 (3-4), 225- 235.
  8. Filep, S., & Laing, J. (2018). Trends and directions in tourism and positive psychology. Journal of Travel Research, 58(3), 343-354.
  9. Frankl, V.E. (1992). Man's search for meaning: An introduction to Logotherapy. Boston, Massachusetts: Beacon Press.
  10. Park, C.L., Edmondson, D.S., Hale-Smith, A. (2013). Why religion? Meaning as motivation. in APA Handbook of Psychology, Religion, and Spirituality, Vol. 1, Edited By Kenneth I. Pargament, Julie J. Exline, And James W. Jones, Pp. 157--71. Washington, DC: American Psychological Association
  11. United Nations World Tourism Organization and World Youth Student Educational Travel Confederation (UNWTO and WYSE Travel Confederation) (2016). Affiliate members global reports, volume thirteen -- the power of youth travel. UNWTO, Madrid.
  12. Zeidner, M., &Saklofske, D. (1996). Adaptive and maladaptive coping. In Zeidner, M & Endler, N (eds).  Handbook of coping: Theory, research, applications (pp. 505--531). New York: John Wiley & Sons.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun