Post-truth jika dianalogikan bak cuaca ekstrim buatan yang menyelimuti berbagai daerah diseluruh penjuru bumi, namun ia tidak memproduksi badai, hujan maupun petir melainkan hoax, ujaran kebencian, fitnah, manipulasi bahkan suatu ideologi yang mana produk tersebut diterima begitu saja oleh orang -- orang tanpa melalui fact check dan tabbayun.Â
Korelasi post-truth dengan suatu ideologi pernah disinggung dalam "A Brief History Of Homo Sapiens" karangan Yuval Noah Hararri, tertulis disana bahwa keberadaan komunisme, kapitalisme, hak asasi dan kesetaraan tak lebih dari mitos yang memiliki sebuah nilai dan imaji yang mampu menyatukan beragam sapiens yang tidak saling mengenal kedalam satu ikatan perasaan kebersamaan.Â
Dalam hal ini ideologi pada akhirnya hanya difungsikan sebagai alat politik sekelompok orang yang oleh Plautus diistilahkan Homo Homini Lupus dengan dalih sebagai legitimasi dalam meraih impian secara komunal. Padahal impian tersebut secara konstan berakhir hanya sebagai utopia dan melahirkan sejarah tragis.
Kendatipun fenomena yang diistilahkan sebagai post-truth baru ramai diperbincangkan utamanya pada awal tahun 2016 semasa referendum Brexit dan pilpres A.S hingga kalimat post-truth menjadi the word of the year, namun situasi serupa yang boleh jadi memiliki koherensi dengan kriteria post-truth pernah terjadi di Indonesia kurang lebih 55 tahun yang lalu yaitu peristiwa G30S PKI ketika PKI berhasil menanamkan impian kemerdekaan, berjualan isu kemiskinan dan sentiment anti-asing sehingga mampu menghimpun jutaan orang ke dalam sebuah wadah yang bernama partai.
Namun akhirnya, perjuangan massa yang ada dalam wadah tersebut berkakhir sia -- sia, mereka secara tidak sadar hanya dipaksa untuk bersepakat membantu sang pemimpin --DN. Aidit dan kawanannya-- untuk meraih impian hegemoniknya, atau contoh lainnya adalah mitos kemakmuran yang terjadi di Rusia, dimana gerakan komunisme yang dihelat oleh kaum Bolshevik hanya menghasilkan banyak korban jiwa.Â
Maka sudah semestinya setiap orang membangun etosnya matang - matang agar fakultas akal budi bekerja dengan optimal dan bangunan emosi tidak gampang terbuai hal imajinatif yang substansinya hanyalah soal politis belaka.
"Cogito Ergo Sum"
"Aku berpikir, maka aku ada". Ujar Descrates
"De omnibus dubitandum!"
"Segala sesuatu harus diragukan!". Lanjut Descrates dengan gelagat yang mendesak.
Meragukan sesuatu adalah berpikir tentang sesuatu, dengan demikian kepastian suatu hal bisa diukur dengan sebaik mungkin. Walaupun dalam Le Doubte Methodique ini Descrates tidak secara khusus berkonsentrasi mengenai seperti apa kebenaran itu, namun bila kalimat ini ditanamkan dalam diri seseorang setidaknya bisa menjadi pereda cuaca ekstrim berjuluk post-truth tersebut.Â
Melalui tulisan filsafatnya, Descrates mencoba mengokohkan kepastian akan kebenaran, yaitu "cogito" atau kesadaran diri yang menerima sesuatu ketika hal tersebut sudah jelas dan terpilah -- pilah (claire et distincte).
Ini membuat filsafat menjadi semakin vital bukan hanya sebagai dasar suatu ilmu pengetahuan namun juga sebagai etos untuk menjalani hidup dengan penuh kecintaan pada kebijaksanaan. Namun demikian, sebetulnya "apakah post-truth itu sungguh nyata?"
"Atau hanya sebuah situasi yang bias?"
"Lalu jika post-truth atau era pasca-kebenaran itu ada, maka kapan era kebenaran terjadi?"
"Atau bahkan era kebenaran itu belum pernah ada? Atau bahkan kebenaran itu sendiri masih sebuah tanda tanya?".
Pasca-kebenaran Sebagai Ambiguitas
Hoaks dan disinformasi bukan hal yang baru terjadi begitupula dengan cara seseorang menghimpun informasi memang cenderung menggunakan sistem emosionalnya yang mana ini disebut sebagai predisposisi, bukan hanya saat ini, namun itu telah terjadi sejak dulu dimana akhirnya sistem penilaian tersebut dimanfaatkan manusia bergelar homo homini lupus untuk meraih tujuan hegemoniknya.
 Hoaks telah memainkan peranan pentingnya sejak awal peradaban manusia, salah satunya orasi -- orasi populis pada Republik Romawi Kuno yang mementingkan kecakapan retoriknya daripada ketepatan data, kemudian propaganda Nazi dalam Perang Dunia Kedua yang mana orang -- orang pada saat itu tidak memastikan kebenaran dari informasi tersebut bahkan contoh lain yaitu terjadi di era kenabian Rasul, Ummu Jamil (istri Abu Lahab) menyebarkan fitnah mengenai Rasulullah SAW, fitnah tersebut selain untuk menjatuhkan Rasul, juga terselubung maksud politis untuk menghadang upaya Nabi Muhammad SAW dalam menyebarluaskan kebajikan dan kebenaran, sehingga kelompok Abu Lahab dapat tetap menguasai Mekkah dan menikmati hasil kebohongannya perihal berhala -- berhala yang ada di Kaaba, di era lahirnya era media cetak pada 1987, hoaks dari 'koran kuning' memiliki porsi yang cukup besar dalam memanas -- manasi Amerika Serikat untuk mendeklarasikan perang melawan Spanyol.
Sebagaimana post-modernism, post-stukturalism dan sejembreng istilah "pos" lainnya, konsep post-truth berkonsekuensi pada anggapan bahwa pernah ada era truth[1].Â
Ironisnya, hingga saat ini tidak ditemukan satu tulisan pun yang secara gamblang menyebutkan kapan era truth itu berakhir dan kapan post-truth itu mulai menampakan batang hidungnya ke permukaan bumi.Â
Prasangka, emosi, fitnah, propaganda telah hadir sejak dahulu, adapun bila era kebenaran disini ditinjau dari aspek politik dan berdasar pada pendekatan dalam teori kebenaran korespondensi hal tersebut bisa bisa disematkan pada era Rasulullah SAW dimana kala itu kedamaian terpajang di kanal pemerintahan dan tumbuh stabilitas dalam tatanan sosial masyarakat Makkah kendatipun masih tersebar kaum -- kaum fasik pada saat itu.
Dr. Fahruddin Faiz dalam 'ngaji filsafat' nya menjelaskan bahwa post-truth adalah suatu keadaan dimana fakta 'kurang' dapat berperan untuk menggerakan kepercayaan umum daripada sesuatu yang berhubungan dengan emosi dan kebanggan tertentu (seperti agama, kepercayaan, kebangsaan, ras, etnis dan kepentingan politik).Â
Penggunaan kalimat 'kurang' yang disisipkan Dr. Fahruddin lebih relavan ketimbang secara absolut mendefinisikan bahwa kebenaran telah usai. Lee Mclntyre (2018) pun melalui bukunya berjudul "Post-truth" mengatakan kurang setuju dengan terminologi yang dipergunakan oxford dalam melabeli fenomena tersebut.Â
Sebab, istilah post-truth seakan -- akan menyiratkan bahwa kebenaran telah berlalu, atau era dimana kebenaran telah usai. Bagi Mcntyre, sesungguhnya yang surut bukan kebenaran itu sendiri melainkan etos seseorang dalam menyikapi kebenaran telah mengalami pergeseran.Â
Sementara itu Firman Imaduddin mengatakan jika post-truth bukan disebabkan oleh pandangan orang yang bergeser dalam memaknai "kebenaran", melainkan karena cara informasi diproduksi, disebarkan, dan dikonsumsi tengah berubah drastis, ia juga memaknai post-truth sebagai imajinasi yang lahir dari idealisasi standar dan kode etik dari sebuah industri yang sekarat karena kemunculan media baru, dan bahkan post-truth tidak berkaitan dengan kedudukan epistemik dari kebenaran (Gerung, 2016).
- Hakikat 'Kebenaran'
Apabila post-truth ini diartikan sebagai situasi dimana obyektifitas dinomorduakan atau kecenderungan orang -- orang menerima informasi hanya melalui sisi emosionalnya, atau masa dimana kebenaran menjadi barang bekas yang dianiaya dengan keji, tentu saja 'kebenaran' itu sendiri menjadi penting penting untuk diungkap hakikat dan epistimologinya. Paradigma akan suatu kebenaran terus mengalami distorsi begitupun dengan perspektif dan pola hidup manusia.Â
Contoh sederhananya adalah apabila dulu orang tua menegaskan anaknya untuk menonton televisi dengan jarak 1 meter karena ancaman radiasi layar, kini orang tua tersebut bahkan memandang layar yang lain setiap saat dari bangun hingga ia hendak tidur lagi.Â
Dulu pepatah yang ia sampaikan diyakini sebagai suatu kebenaran, kini kebenaran tersebut sudah ia geser hingga falsafah dan substansinya terkisis sedikit demi sedikit atau bahkan musnah dan berganti.Â
Tentu saja, karena semua sedang dalam proses 'menjadi', lantas kapan 'menjadi' itu tiba? bukankah pada akhirnya kebenaran yang didapat adalah kebenaran perspektif, stand point?Â
Atau dalam kata lain kebenaran yang disepakati sebuah komunitas/ kelompok belaka? Kebenaran itu sangat subtil dan disisilain keras kepala, dan sulit ditemukan (Daito, 2019). Dalam sudut pandang sosial kebenaran akan dikatakan kebenaran apabila telah di-iya-kan secara komunal oleh setiap orang --kebenaran konsensus--.
Dalam sebuah diskursus yang penuh problematika setiap orang cenderung akan membawa kebenarannya masing -- masing, mereka menggunakan fakultas akalnya untuk meyakinkan orang lain namun yang lain memiliki kriteria sendiri akan kebenaran tersebut. "Kalaupun ada kebenaran maka mungkin hanya bersifat sementara, bersiklus, kemudian diganti, digeser dengan paradigma baru. Â
Atau kebenaran itu hanyalah cara pandang saja [world view], hanya persepsi belaka, yang tidak pernah tetap, bersiklus, dan menjadi saja", itu yang dikatakan Dr. Apollo. Namun apakah kalimat tersebut juga adalah sebuah kebenaran? Tentu saja ucapan descrates tidak boleh dilupakan begitu saja.Â
Filsafat menjadi elemen penting dalam menguji substansi dan esensi suatu hal namun ia juga dapat mengancam aqidah atau sistem kepercayaan seseorang apabila tidak diiringi dengan sudut pandang lain, apalagi jika orang yang bersangkutan tenggelam dalam fanatisme filsafat.
Setelah mengupas sedikit dari tebalnya kompleksitas kebenaran ini perlu ditegaskan bagaimanapun juga kebenaran bukan suatu hal yang imajinatif ataupun fiktif, kebenaran ada di antara kita, kadang -- kadang dengan tegas memperlihatkan tubuh indahnya, kadang -- kadang juga bersembunyi dibalik batu hitam dimalam yang gelap gulita.
Pada akhirnya, tulisan ini tak lebih dari sebuah kegalauan akan era yang disebut sebagai post-truth itu.
Belum ada kesimpulan dan tidak ada kesimpulan dalam tulisan ini.
"Bagaimana pendapatmu?"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H