Dr. Fahruddin Faiz dalam 'ngaji filsafat' nya menjelaskan bahwa post-truth adalah suatu keadaan dimana fakta 'kurang' dapat berperan untuk menggerakan kepercayaan umum daripada sesuatu yang berhubungan dengan emosi dan kebanggan tertentu (seperti agama, kepercayaan, kebangsaan, ras, etnis dan kepentingan politik).Â
Penggunaan kalimat 'kurang' yang disisipkan Dr. Fahruddin lebih relavan ketimbang secara absolut mendefinisikan bahwa kebenaran telah usai. Lee Mclntyre (2018) pun melalui bukunya berjudul "Post-truth" mengatakan kurang setuju dengan terminologi yang dipergunakan oxford dalam melabeli fenomena tersebut.Â
Sebab, istilah post-truth seakan -- akan menyiratkan bahwa kebenaran telah berlalu, atau era dimana kebenaran telah usai. Bagi Mcntyre, sesungguhnya yang surut bukan kebenaran itu sendiri melainkan etos seseorang dalam menyikapi kebenaran telah mengalami pergeseran.Â
Sementara itu Firman Imaduddin mengatakan jika post-truth bukan disebabkan oleh pandangan orang yang bergeser dalam memaknai "kebenaran", melainkan karena cara informasi diproduksi, disebarkan, dan dikonsumsi tengah berubah drastis, ia juga memaknai post-truth sebagai imajinasi yang lahir dari idealisasi standar dan kode etik dari sebuah industri yang sekarat karena kemunculan media baru, dan bahkan post-truth tidak berkaitan dengan kedudukan epistemik dari kebenaran (Gerung, 2016).
- Hakikat 'Kebenaran'
Apabila post-truth ini diartikan sebagai situasi dimana obyektifitas dinomorduakan atau kecenderungan orang -- orang menerima informasi hanya melalui sisi emosionalnya, atau masa dimana kebenaran menjadi barang bekas yang dianiaya dengan keji, tentu saja 'kebenaran' itu sendiri menjadi penting penting untuk diungkap hakikat dan epistimologinya. Paradigma akan suatu kebenaran terus mengalami distorsi begitupun dengan perspektif dan pola hidup manusia.Â
Contoh sederhananya adalah apabila dulu orang tua menegaskan anaknya untuk menonton televisi dengan jarak 1 meter karena ancaman radiasi layar, kini orang tua tersebut bahkan memandang layar yang lain setiap saat dari bangun hingga ia hendak tidur lagi.Â
Dulu pepatah yang ia sampaikan diyakini sebagai suatu kebenaran, kini kebenaran tersebut sudah ia geser hingga falsafah dan substansinya terkisis sedikit demi sedikit atau bahkan musnah dan berganti.Â
Tentu saja, karena semua sedang dalam proses 'menjadi', lantas kapan 'menjadi' itu tiba? bukankah pada akhirnya kebenaran yang didapat adalah kebenaran perspektif, stand point?Â
Atau dalam kata lain kebenaran yang disepakati sebuah komunitas/ kelompok belaka? Kebenaran itu sangat subtil dan disisilain keras kepala, dan sulit ditemukan (Daito, 2019). Dalam sudut pandang sosial kebenaran akan dikatakan kebenaran apabila telah di-iya-kan secara komunal oleh setiap orang --kebenaran konsensus--.
Dalam sebuah diskursus yang penuh problematika setiap orang cenderung akan membawa kebenarannya masing -- masing, mereka menggunakan fakultas akalnya untuk meyakinkan orang lain namun yang lain memiliki kriteria sendiri akan kebenaran tersebut. "Kalaupun ada kebenaran maka mungkin hanya bersifat sementara, bersiklus, kemudian diganti, digeser dengan paradigma baru. Â
Atau kebenaran itu hanyalah cara pandang saja [world view], hanya persepsi belaka, yang tidak pernah tetap, bersiklus, dan menjadi saja", itu yang dikatakan Dr. Apollo. Namun apakah kalimat tersebut juga adalah sebuah kebenaran? Tentu saja ucapan descrates tidak boleh dilupakan begitu saja.Â