Mohon tunggu...
Ida S
Ida S Mohon Tunggu... Freelancer - Joyful

Soshite Ikiru

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Memutuskan Childfree, Apakah Berarti Egois?

31 Agustus 2021   12:32 Diperbarui: 1 September 2021   11:16 580
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjadi orang tua itu tidaklah mudah, selain kesiapan faktor ekonomi, faktor mental pun berperan disini artinya kesiapan seseorang menjadi orang tua yaitu: sebagai seorang ayah atau seorang ibu.

Keluarga yang tidak harmonis atau terjadinya kekerasan dalam rumah tangga pasti mempengaruhi tumbuh kembangnya psikologis dan mental sang anak.

Banyak orang yang menganggap remeh faktor psikologis atau mental.

Dikutip dari bbc.com, Perempuan bisa punya kondisi kronis yang tak muncul sehari-hari, dan bisa bangkit oleh tiga dari satu hal yang sangat mempengaruhi tubuh mereka: kehamilan, melahirkan atau menopause.

Riset dari psikiater forensik Rusia memperlihatkan 80% perempuan yang melakukan infanticide tumbuh di keluarga miskin, dan dari mereka, 85%-nya mengalami konflik dalam pernikahan.

Hubungan yang sulit dengan orang tua bisa jadi akar masalah untuk agresi terhadap bayi. Para ibu ini biasanya menutupinya dengan kasih sayang berlebihan.

"Menjadi korban KDRT merupakan faktor penting terjadinya kejahatan seperti ini di masa depan," kata Dr. Kachaeva.

Jadi kejadian seorang ibu membunuh anaknya banyak dikarenakan faktor psikologis atau kesehatan mental dan ini biasanya terjadi karena depresi pasca melahirkan ataupun depresi lainnya.

Di Indonesia pun banyak kasus pembunuhan terjadi dimana seorang ibu tega membunuh anak kandungnya sendiri karena depresi.

Ada satu drama Korea yang berjudul: "Mouse" bercerita tentang gen piskopat dapat diketahui dari masih janin atau masih dalam rahim ibu.

Seorang ibu yang mengetahui ternyata dia sedang hamil dan juga baru mengetahui suaminya ternyata adalah seorang pembunuh menghadapi dilema harus menggugurkan kandungannya atau melahirkan saja anak yang mempunyai genetika seorang psikopat.

Ibu ini akhirnya memilih melahirkan anaknya dan sang anak dari kecil sudah memiliki perilaku yang kejam dan tidak empati memilih untuk tidak dilahirkan daripada menjadi seorang monster.

Ini mungkin hanya drama, tetapi dalam kenyataannya banyak anak-anak ketika dewasanya benar-benar menjadi monster entah itu pembunuh seperti psikopat atau teroris dan lainnya sebagainya yang jelas menjadi momok menakutkan ditengah masyarakat.

Banyak anak-anak juga ketika mengalami masalah berat dalam keluarga atau masalah dalam dirinya seringkali menyerang orang tua dengan berkata: "Aku tidak meminta untuk dilahirkan ke dunia ini".

Jadi ketika ramai tentang keluarga yang mulai banyak menganut paham childfree yaitu keputusan tidak mempunyai anak, banyak orang yang berstigma negatif tentang mereka, mungkin ada yang menganggap egois, atau orang tua yang tidak mau memikul tanggungjawab dan hanya ingin bersenang-senang saja, ada yang menganggap aneh ataupun bodoh.

Padahal setiap orang yang memilih childfree itu berbeda-beda alasannya seperti: faktor ekonomi dan jam kerja yang tinggi.

Dikutip dari kompas.com, Rata-rata sebanyak 4 dari 10 pengantin baru di Korea Selatan tidak memiliki anak pada 2019, mencerminkan tren sosial yang berkembang untuk menunda pernikahan dan tidak memiliki bayi, menurut data kantor statistik negara itu pada Kamis (10/12/2020).

Dari 998.365 pasangan pengantin baru yang menikah untuk pertama kali dan telah menikah secara resmi selama lima tahun hingga 1 November 2019, 42,5 persen di antaranya tidak memiliki anak, menurut Statistics Korea.

Meningkatnya jumlah generasi muda di Korea Selatan yang menunda pernikahan atau tidak ingin menikah dan memiliki bayi, disebabkan oleh kesulitan ekonomi dan harga rumah yang lebih tinggi, yang mengakibatkan angka kelahiran sangat rendah.

Dikutip dari Japanesestation.com, Bahwa angka kelahiran Jepang yang rendah mungkin disebabkan karena sangat sedikitnya kesepatan karir bagus bagi pemuda-pemuda Jepang, terutama laki-laki yang bisa dibilang sebagai tonggak ekonomi Jepang. 

Di negara yang masih menganut paham bahwa laki-laki harus menjadi tulang punggung utama keluarga, sementara pekerjaan dengan gaji mumpuni masih sulit ditemukan inilah yang menyebabkan kelompok pria yang tidak berminat untuk menikah dan memiliki anak karena ia dan pasangannya tahu bahwa mereka tidak mampu membiayai anak mereka kelak.

Dan juga Jepang merupakan negara yang mempunyai etos kerja keras, dan memiliki jam kerja tinggi sehingga karyawan Jepang tidak pernah cuti dan mengakibatkan  karoshi tinggi.

Jika karyawan waktunya dihabiskan dengan bekerja berarti mereka tidak punya waktu lagi untuk keluarga, jika mereka pasangan pengantin baru mungkin ini menghambat mereka punya anak tentu saja, ataupun yang lajang akhirnya memutuskan untuk tidak menikah karena tidak ada waktu untuk bersosialisasi.

Keputusan keluarga memilih childfree terkadang tidak sepenuhnya keinginan mereka tetapi keadaan atau lingkungan yang memaksa mereka untuk berbuat demikian.

Ada juga keluarga yang memilih childfree dikarenakan sang wanita tahu kelemahan psikologis dan mentalnya, dia tidak mau mempunyai anak selain karena merasa tidak sanggup menjadi seorang  ibu, takut pula mewarisi kan anaknya secara genetik tentang kelemahan mental tersebut, ataupun genetik riwayat penyakit lain yang dimiliki keluarga.

Permasalahan childfree ini tidak hanya persoalan personal keluarga tapi juga persoalan masyarakat dan negara, dimana negara  harus mempunyai kebijakan untuk membantu keluarga-keluarga  yang memilih childfree untuk memberikan support sistem dan kebijakan lainnya yang membantu permasalahan yang timbul dan menjadi penyebab keluarga memilih childfree.

Maka negara Korea, Jepang dan juga beberapa negara lain di Eropa mengatasi permasalahan rendahnya angka kelahiran ini menawarkan bantuan dan kepada warganya yang sudah menikah untuk memiliki anak dan bersedia memiliki tiga anak.

Untuk masalah psikologis atau mental ini juga perlu sangat diperhatikan, karena banyak orang yang menggampangkan depresi pasca melahirkan padahal ini banyak terjadi pada ibu-ibu yang baru melahirkan.

Perlu adanya konseling untuk keluarga-keluarga yang memilih childfree karena ketidaksiapan secara mental atau psikologis, dan perlunya ada support sistem yang tersedia dimana-mana dan mudah dihubungi untuk masalah ini.

Saya bukan penganut paham childfree karena bagi saya menjadi orang tua itu merupakan anugerah dan kebahagiaan tetapi saya tidak menghakimi dengan menganggap egois, orang yang memilih childfree karena alasan-alasan diatas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun