Mohon tunggu...
Ida S
Ida S Mohon Tunggu... Administrasi - Joyful

Youtube: https://www.youtube.com/channel/UC_VcRcUxjRCthjILM9AmNAA/ my blog: https://agrace2011.blogspot.com/ https://mywishes09.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Terkadang Orang yang Bersedih Hanya Perlu Didengarkan dalam Diam

28 Juli 2021   19:07 Diperbarui: 30 Juli 2021   20:00 879
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Curhat | Foto oleh mentatdgt dari Pexels 

Ketika saya baru kuliah, saya sering mendengar curhatan dari teman entah itu karena masalah patah hati, atau masalah lainnya.

Teman saya bisa menelpon saya berjam-jam untuk curhat, bahkan terkadang sampai menangis.

Pada saat saya baru melanjutkan kuliah S1 sebelumnya saya hanya D3. Saya mempunyai seorang teman baru, orangnya ceria, dan terlihat supel.

Sampai suatu malam teman saya menelpon saya untuk curhat dan menyampaikan rasa marahnya karena orang lain. 

Pada saat dia menelepon, saya merasakan keanehan dari cara dia berbicara yang menurut saya tidak rasional, seperti: merasa semua orang di kampus mencibir, menertawai, dan mengejeknya hamil, dan ejekan lainnya.

Ketika kami pulang kuliah, padahal saya ada bersama-sama dengan dia dan saya tidak mendengar ada satupun orang mengejek atau menertawai teman saya itu.

Saya katakan hal itu kepada teman saya tetapi teman saya mempercayai apa yang ada dipikirannya. Dan saya menduga teman saya itu seperti sedang berdelusi.

Sayapun tidak mengerti secara psikologis, bagaimana cara menghadapi seorang yang sedang berdelusi. Selama berjam-jam tersebut, saya hanya jadi pendengar saja, tidak sekalipun saya menggurui atau menghakimi teman saya, ataupun saya memutuskan teleponnya karena bosan.

Kalau tidak salah ingat sampai jam dua dini hari, baru teman saya memutuskan telpon.

Untung saja besoknya saya kuliah sore, jadi bisa bangun agak siang.

Keesokan harinya, teman saya itu menelpon minta saya datang kerumahnya untuk mengambil surat izin tidak masuk kuliah dan kartu absennya.

Ternyata sejak hari itu teman saya tidak masuk kuliah lagi.

Selang kira beberapa Minggu, teman saya dan ibunya datang ke rumah saya, rupanya teman saya akan stop out dulu kuliah untuk memulihkan kesehatan mentalnya.

 Ibunya bercerita kepada ibu saya tentang gangguan kesehatan mental yang dialami teman saya itu bukan yang pertama kali, dulu waktu masih kuliah D3 teman saya pernah stop kuliah juga gara-gara mengalsmi hal yang sama yaitu berfikir negatif yang akut sehingga berdelusi.

Selain berpamitan ibunya berterima kasih kepada saya, padahal yang saya lakukan hanya menerima curhatan teman saya selama beberapa jam dan mengambilkan kartu absen ke rumahnya.

Beberapa teman, merasa nyaman curhat kepada saya, tapi itu bukan karena saya pandai menghibur, bukan pula karena saya orang yang bisa menunjukkan perhatian.

Saya dulu termasuk orang yang pendiam, dan cenderung kaku, dan juga cuek. Tapi rupanya karena hal itulah teman saya merasa nyaman curhat dengan saya, karena saya hanya diam dan menjadi pendengar yang baik. Mereka ternyata hanya butuh pendengar yang baik, dan bukan sekedar memberikan nasehat positif serta menghakimi atau meremehkan perasaan mereka.

Beberapa tahun lalu saya mendengarkan keluh kesah dari seorang teman yang sudah sekian tahun menikah tapi masih belum dikaruniai keturunan pada saat itu.

Teman saya jengah dengan perkataan orang-orang disekitarnya sering berkata "sabar" dengannya.

Teman saya lebih sebal lagi dengan orang yang memberikan saran-saran positif seperti: harus melakukan ini dan itu, seolah teman saya tidak melakukan usaha apapun untuk berusaha bisa hamil.

Hanya karena mereka berhasil melakukan hal-hal tersebut jadi menganggap teman saya itu kurang berusaha.

Setiap orang seperti menjadi para ahli dan menjadi guru yang bisa mengatasi masalah orang lain dan bahkan merasa lebih tahu dari orang bersangkutan.

Mungkin maksud mereka bagus untuk berbagi ilmu tapi ternyata apa yang mereka lakukan itu justru berdampak negatif karena justru menghakimi dan menjatuhkan mental orang lain.

Beberapa waktu lalu, ada seorang teman yang mengalami keguguran, dan teman saya itu memerlukan beberapa waktu untuk menata kesedihannya.

Banyak orang yang mengalami keguguran tetapi reaksinya bermacam-macam, ada orang yang merasakan kesedihan hanya sebentar, dan ada orang merasakan kesedihan dengan waktu yang cukup lama.

Teman saya yang keguguran ini sudah mempunyai dua orang anak, jadi ketika dia memerlukan beberapa waktu untuk mengatasi kesedihannya ternyata banyak orang yang menggampangkannya dengan berkata: ikhlaskan saja apa yang sudah pergi, dan juga kau masih muda bisa mendapatkan anak lagi."

Atau ada yang berkata: "Sabar, masih bersyukur kau sudah punya dua anak, bagaimana orang yang keguguran dan belum punya anak, kau masih lebih beruntung.'

Teman saya yang sedih berkata: " Pasrah, ikhlas itu mudah untuk diucapkan tapi ketika direalisasikan sangat sulit.

Hanya karena banyak orang yang mengalami keguguran tidak larut dalam kesedihan mendalam bukan berarti semua orang yang mengalami keguguran memiliki emosi yang sama sehingga setiap orang memerlukan waktu yang berbeda-beda dalam mengatasi kesedihan.

Ketika ada orang yang lebih lama memerlukan waktu untuk berduka atau bersedih bukan berarti orang tersebut lemah ataupun orang tersebut berlebihan.

Tetapi pada saat itu mereka memang sedang merasakan kesedihan yang mendalam, dan saat ada orang yang berkata positif dengan bermaksud menguatkan justru sebaliknya malah menghakimi dan mengampangkan dan tidak empati terhadap kesedihan orang lain maka hal tersebut membuat hati orang yang sedih merasa marah bukan terhibur.

Banyak wanita single yang cukup umur sering menghadapi nasehat toxic positivity dari orang lain seperti: 'Sabar, semua indah pada waktunya," jangan memilih-milih nanti tidak nikah-nikah, tidak apa pengangguran karena sudah menikah pasti ada rezeki untuk isteri dan anak."

(wanita single dianggap pemilih) "Banyak-banyak berdoa" (jadi seolah wanita single itu kurang berdoa), "Wanita itu harus ramah dan supel," (wanita single dianggap kuper tidak bisa menggaet pria), dan masih banyak toxic positivity lainnya yang diberikan kepada wanita atau pria single yang membuat mereka capek atau kesal karena merasa terhakimi atau tersudutkan.

Saya juga pernah mengeluh masalah pekerjaan dengan teman, tapi saya paling tidak suka respon orang yang berkata: "Begitulah dunia kerja jangan mengeluh, hadapi dengan sabar", tidak ada tempat kerja yang sempurna, dsb. Respon tersebut justru membuat saya kesal bukannya saya tidak mengerti tentang hal tersebut.

 Saya sudah bekerja belasan tahun dan pernah bertahan di perusahaan sekian tahun lamanya, dan mengalami bekerja di beberapa perusahaan bukannya saya tidak mengerti hal itu.

Sebagai manusia terkadang saya juga perlu mengeluarkan keluh kesah baik itu tentang pekerjaan, atau hal lainnya karena saat itu memang hal itu yang sedang menganggu pikiran saya.

Menceritakan keluh kesah hanya sekedar melegakan pikiran kemudian dapat berpikir jernih lagi.

Memang zaman sekarang dengan mudahnya orang mengucapkan kata-kata positif dengan bermaksud menguatkan tetapi malah terkesan kurang empati.

Tidak ada yang salah dengan kata-kata positif jika diucapkan pada waktu, dan tempat yang tepat dan terlebih lagi jika kata-kata positif tersebut diucapkan oleh orang yang juga pernah mengalami hal yang sama dan mau berbagi bagaimana cara dia melewati kesulitan tersebut.

Tetapi orang-orang yang pernah mengalami kesulitan yang sama seperti yang dihadapi temannya pastilah lebih bijaksana dalam mengeluarkan kata-kata dan bisa lebih berempati karena dapat memahami perasaan temannya.

Kata-kata positif jika diikuti tindakan nyata yang tulus, tidak akan menjadi toxic. Misalkan dia mempunyai seorang teman yang belum menikah, daripada cuma bilang sabar, dan semua indah pada waktunya lebih baik berperan menjadi Mak comblang yang bertanggung jawab untuk temannya.

Jika tidak punya kemampuan menjadi mak comblang setidaknya doakan temannya setiap hari dan bersedia menjadi pendengar yang baik ketika temannya bersedih dan putus asa karena belum menikah.

Kalau memang tidak punya kemampuan apa-apa untuk menolong atau menghibur orang yang sedang bersedih, atau sedang susah, setidaknya jadilah pendengar yang baik kepada teman yang datang atau menelpon untuk mengeluarkan keluh kesahnya dan biarkan bahu kita menjadi sandarannya untuk menangis.

Jika tidak mampu menjadi pendengar, lebih baik diam dan tidak berkata apa-apa karena terkadang orang yang sedang bersedih, atau berduka hanya butuh didengarkan dalam diam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun