Mohon tunggu...
Ida Agus Setiawati
Ida Agus Setiawati Mohon Tunggu... Lainnya - Perempuan yang suka berpetualang dan menjelajahi indahnya ciptaan Tuhan

perjuangan adalah tindakan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Detik yang Tertunda

8 Agustus 2021   23:16 Diperbarui: 8 Agustus 2021   23:34 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Detik yang Tertunda"

Awan mendung menyelimuti sore ini. Jalan pun sepi. Penduduk enggan keluar karena sebentar lagi pasti  hujan deras akan turun. 5 menit kemudian rintik hujan pun mulai membasahi atap rumah. Gemericiknya berisik sekali menghentak apapun yang ada dibawahnya. Aku terpaku menatap halaman rumah yang basah. Menunggu dengan gelisah kak Meli pulang. Jarum jam sudah berada diangka 5 tepat. Awan yang mendung akan semakin gelap seiring bergantinya malam.

Biasanya pukul 4 lebih kakak sudah pulang, gumamku. Tapi sampai sekarang ia belum juga datang. Belum ada tanda-tanda diluar kalau ia akan tiba. Suara lonceng sepedanya pun tak terdengar. Kakak akan membunyikan loncengnya kalau sudah berjarak 10 meter dari halaman rumah. Sejak ayah dan ibu meninggal kakaklah yang menggantikan posisi mereka untuk memenuhi kebutuhanku dan dirinya sendiri. Ia bekerja menjadi pembantu rumah tangga di rumah seorang toke karet di desa sebelah.

Malam pun menyapa dengan lembut. Angin meniup sepi di mengeluarkan irama gesekan dedaunan yang digerakkan oleh angin. Gelisah membuaiku dalam sepi. Hujan pun tak kunjung reda. Mungkin kakak tidak diijinkan pulang oleh majikannya karena hujan masih deras sekali. Sebenranya aku takut sendirian. Tak bisa kubayangkan bagaimana sepinya ibu dan ayah dialam sana tanpa ada teman satupun. Meski Desa Ulak Lebar ini aman dari pencuri tapi tetap saja sendirian adalah hal paling menakutkan bagi manusia. 

Manusia sejatinya diciptakan sebagai mahluk sosial yang selalu membutuhkan orang lain dalam kehidupannya. Kantuk mulai menyerang, hingga pukul 8 malam ini kakak belum juga pulang. Sehelai selimut membungkusi tubuhku yang menggigil. Dipan yang sudah tua tetap terasa hangat meski hanya beralas tikar. Sebelum terjaga aku hanya berharap Tuhan menyampaikan pada kakak agar segera pulang.

Malam yang dingin telah berganti dengan pagi yang cerah. Mentari mulai menampakkan sinarnya yang hangat. Aku bangun tergopoh-gopoh karena telat 15 menit dari bangun biasanya. Apalagi ini hari Senin. Aku melangkah gontai kekamar mandi. Meski dengan mata masih sedikit memicing aku dapat melihat dimeja makan ada yang berbeda. Kakak sudah pulang pikirku.

"Kak Mel... kakak dimana?" teriak ku lantang. "kakak dibelakang, kakak pulang udah agak malam" suara dibelakang menyahut. Kulihat Kak Meli sedang khusyuk mengupas sabut kelapa.Kak Meli sangat gesit mengerjakan pekerjaan seperti ini. Ia sudah sangat terlatih. Sebagai kakak tertua ia sering membantu ibu dan ayah kekebun. Sambil jongkok disampingnya aku hanya memperhatikan gerakan tangannya yang besar.

"Kak..." aku memanggil halus sekali sampai hampir tak terdengar. "hemmm...ada masalah lagi disekolah?" kakak sepertinya sudah tahu arah pembicaraanku. "kemarin aku ditagih oleh ketua komite sekolah kalau besok terakhir bayar SPP, tidak ada dispensasi lagi katanya" kakak terdiam sejenak sebelum akhirnya tersenyum padaku. Pisau yang sedari tadi digenggamnya kini telah terjatuh.Kakak mendongakkan kepalanya, menatap langit terang yang terlihat dari celah dedaunan karet. "Insya Allah besok Imey bisa bayar SPP" Sambil mengusap kepalaku ia tersenyum. Senyum kakak manis sekali pagi itu seperti tanpa beban. Perawakannya yang gempal mewarisi postur tubuh ibu.

Beberapa minggu ini harga karet sangat turun. Petani mengeluh tiada henti, tak seimbang dengan makanan pokok yang terus mengalami kenaikan. Penduduk Desa Ulak Lebar yang mayoritas berprofesi sebagai petani menjadi tidak uring-uringan. Meskipun menurunnya harga karet mentah bukan baru terjadi tapi sudah sering mereka alami. Tak tahu kenapa,  masyarakat disini pun jadi suka mengeluh.

Keadaan kami yang serba kekurangan sering kali membuat aku bertanya pada kakak kenapa Tuhan begitu cepat mengambil ayah dan ibu. Kakak bilang itu berarti Tuhan sayang pada orangtua. Orang baik itu akan cepat diambil oleh Allah untuk ditempatkan di syurganya. Itu yang kakak katakan padaku.Tapi kenapa Tuhan menyulitkan kakak, pikirku. Tidakkah Tuhan berpikir bahwa kakak menjadi terbebani dengan semua ini. Menyekolahkan dan memenuhi kebutuhanku itu kewajiban orangtuaku. Aku terus memberontak dalam hati. Sambil melepaskan ikatan tali sepatu yang telah berwarna kecokelatan karena sudah usang.

"Adik kakak yang cantik kok melamun pulang sekolah"

"Disekolah enggak berantem kan sama temannya?"

"enggak kak" jawabku singkat. Aku heran pada kakak yang selalu terlihat tidak mengalami kesulitan. Seperti tidak ada apa-apa.

"terus kenapa?"

"Ya itu kak, aku terus aja diperingatkan oleh Pak Robi kalau besok batas terakhir bayar SPP. Aku udah menunggak 3 bulan jadi harus dilunasi kalau mau ikut ulangan. Begitu kata bapaknya"

"Iya kakak negerti, pasti akan ada rejeki nanti" ujar kakak. Aku tahu itu hanya untuk menenangkan ku atau lebih tepatnya menenangkan hati kakak sendiri. Bulan lalu saat ditanya soal uang SPP kakak menjawab dengan jawaban yang sama.

"Ayo masuk kita makan dulu, tadi kakak masak sayur bayam, goreng tempe dan ada sambel juga, pasti Imey suka" usai mengganti pakaian dan mencuci tangan aku langsung menyantap makan siang yang nikmat itu. Soal masak Kak Meli juaranya. Ia tak akan lupa untuk selalu membuat sambal. Aku makan dengan sangat lahap karena memang di sekolah jarang sekali aku jajan. Sejenak terlupakan soal uang SPP dan Pak Robi.

Langit pagi ini cerah. Hujan tak akan turun. Setidaknya itu bisa memberi sedikit kelegaan pada petani karet sehingga bisa menyadap karet mereka dengan leluasa. Getah karet pun akan lebih berkualitas karena tidak terkontaminasi oleh air hujan dan ranting yang mengotorinya. Harga getah akan semakin murah jika getah yang dihasilkan tidak bersih. Semburat jingga dan orange terlukis indah diatas mega putih. Duduk didepan teras rumah akan sangat menyenangkan jika cuaca seperti ini.

"Sesulit apapun hidup ini jangan pernah kita melupakan yang kuasa. Kakak yakin Ia tidak mungkin melupakan hambanya yang selalu mengingatnya bahkan yang sering melupakannya pun. Tuhan tidak akan melakukan hal serupa" ujar Kak Meli memecah keheningan.

"Kenapa kakak bisa seyakin itu?" tanyaku. Aku melihat tadi pagi beras dalam gentong tinggal segenggam tangan. Tentu itu tak akan cukup ditanak untuk makan nanti malam. Sambil memainkan jemari kakak yang gemuk, aku memeluknya erat. Dalam pelukannya aku merasa damai. Damai sekali.

"Kita ditanamkan keimanan oleh ayah dan ibu. Keimanan itu berbanding lurus dengan keyakinan. Kalau kita tidak yakin dengan Tuhan kita tentu keimanan kita layak untuk dipertanyakan"

"Ohhh gitu kak.." aku mengangguk, pura-pura mengerti. Aku yang duduk dikelas 1 SMP belum terlalu memahami arti kalimat bijak itu.

Beberapa orang masih berlalu lalang lewat di depan rumah pulang dari menyadap karet. Para orangtua disini memenuhi ekonominya dengan getah karet. Bau karet yang dibawa dari kebun untuk dijual ke toke karet mengeluarkan bau yang sangat menyengat. Tapi penciuman kami sudah tidak asing dengan hal itu. Itulah yang akan membuat asap di dapur menjadi mengepul. 

Satu dua orang tersenyum dan menyapa kami yang duduk santai didepan rumah. Ada pula yang hanya sekedar lewat saja tanpa menoleh sedikit pun. Mungkin mereka sudah lelah setelah seharian dikebun karet. Dikelilingi tetumbuhan dan nyamuk yang selalu siap untuk menggigit mereka. Dulu  kami juga memiliki kebun karet yang langsung disadap oleh ibu dan ayah. Lahan karet yang tidak begitu luas sehingga tidak membutuhkan tenaga orang lain untuk menyadapnya. Selain itu hasilnya dapat digunakan sendiri oleh keluarga kami tidak perlu berbagi hasil. Namun setelah ayah dan ibu sakit lahan itu dijual untuk biaya sakit mereka. Aku hanya tahu kalau mereka terkena DBD. Mungkin karena seringnya dikebun karet yang banyak nyamuknya. Sepeninggal ibu dan ayah, Kakak lebih memilih bekerja dirumah Bu Qosim yang terkenal kaya itu. Meski kaya bu Qosim dan keluarganya sangat baik dan tidak pernah menyombongkan diri.

Temaram cahaya lampu menggantikan terangnya mentari yang lambat laun bergerak menuju peraduannya. Malam ini hanya aku yang makan. Kakak beralasan masih kenyang. Padahal aku tahu karena beras yang hanya tinggal segenggam.

Selesai makan seperti biasanya aku membuka mata pelajaran yang dibahas tadi disekolah atau mengerjakan PR. Kakak akan setia menemani ku. Kadang-kadang aku bertanya dengannya. Meski hanya lulusan SMP kakak cukup paham dengan mata pelajaran ku. Bila mengalami kesulitan ia tidak akan sungkan mengatakan bahwa ia tidak tahu. Pukul 8 malam desa ini sudah sepi. Kesunyian ini menghantarkan penduduknya lebih cepat ke dunia mimpi agar dapat beraktivitas kembali esok pagi. Begitu juga dengan aku dan Kak Meli.

"Imey...kamu dipanggil sama Pak Robi dikantor" aku hanya diam sambil berjalan menuju kantor. Pastilah ketua komite itu memanggil ku karena perihal uang sekolah. Sengaja ku pelankan langkah kaki ku agar aku terlalu cepat sampai dikantor. Berharap bapaknya mendadak ada urusan lain sehingga mengurungkan niatnya untuk memanggil ku. Ternyata apa yang diharapkan tidak terkabulkan. Baiklah aku akan menghadap beliau meski jawaban ku akan tetap sama dengan yang kemarin. Dengan kacamatanya yang tebal dan kumis panjang melintang dibawah hidungnya, diamnya saja sudah membuat ku bergidik. Apalagi jika sudah bicara. Suaranya sangat lantang. Kata teman-teman Pak Robi ini dulunya mantan paskibraka. Makanya perawakannya tegap dan suaranya tegas.

Aku tersentak oleh bisikan halus ditelinga kanan ku. Seketika aku terperanjat karena yang didepanku bukanlah Pak Robi melainkan Kak Meli dengan senyum manisnya. Kak Meli bertanya lewat ekspresinya yang disertai dengan mengerutkan dahinya. "ini jam berapa kak?" tanyaku sambil mengucek mata yang masih belum terlalu sempurna terbuka. "sekarang jam setengah enam, ayo bangun shalat subuh terus mandi" kakak pun berlalu menuju dapur. Aku bernafas lega. Semua hanya mimpi. Tapi bukankah hari ini batas terakhir pembayarannya? Aku mengeluh dalam hati. Semua ini bukan sekedar mimpi tapi peringatan agar aku tak kaget jika harus diomeli oleh Pak Robi dan tidak dapat mengikuti ulangan semester.

Mandi dan sarapan ku pagi ini tidak bersemangat. Meski sarapan rebusan singkong manis dilumeri dengan gula merah kesukaanku tetap membuat ku tak berselera. Aku mencari kata dan ekspresi yang dapat meyakinkan Pak Robi setiba disekolah nanti agar diberi dispensasi lagi. Coba Kak Meli saja yang datang langsung kesekolah dan menjelaskan pada pihak sekolah jadi aku tak perlu bingung begini menyiapkan jawaban.

"Kak...Imey berangkat ya" pamit ku sambil mencium kedua tangannya kak Meli. "enggak ada yang ketinggalan lagi?" sambil tersenyum. "enggak ada kak" "hati-hati ya sayang dijalan belajar yang rajin. Adik kak Mel harus jadi anak pintar" aku mengangguk.

Belum dua langkah aku melangkah keluar dengan sepatu lusuh ku kakak memanggil "Imey...jangan cemberut gitu. Didalam tas sudah kakak selipkan uang buat bayar SPP. Nanti langsung bayar ya" aku menoleh dan berlari memeluk kakak. Aku tersenyum senang mendengarnya. "dari mana kakak dapat uang? buat beli beras saja kita enggak bisa"

"Belum bisa sayang..bukan enggak bisa. Semua hanya ditunda oleh Allah. Tidak diberi detik ini belum tentu di detik berikutnya tetap sama. Semalam Bu Qosim berkunjung kesini.Beliau memberikan gaji dan bonus buat kakak sehingga uang kita berlebih. Cukup untuk membeli beras dan sayur. Jadi Imey bisa ikut ulangan" kupeluk lebih erat pinggang Kak Meli yang besar.  Mungkin inilah makna dari kalimat kakak kemarin. Bahwa Tuhan tidak akan pernah melupakan kita sekalipun hambanya ingkar dan melupakan Ia. Kini aku tak perlu menyiapkan jawaban apapun setiba disekolah. Aku menyayangi mu kak. Terima kasih Tuhan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun