Mohon tunggu...
Ida Agus Setiawati
Ida Agus Setiawati Mohon Tunggu... Lainnya - Perempuan yang suka berpetualang dan menjelajahi indahnya ciptaan Tuhan

perjuangan adalah tindakan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Detik yang Tertunda

8 Agustus 2021   23:16 Diperbarui: 8 Agustus 2021   23:34 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Beberapa orang masih berlalu lalang lewat di depan rumah pulang dari menyadap karet. Para orangtua disini memenuhi ekonominya dengan getah karet. Bau karet yang dibawa dari kebun untuk dijual ke toke karet mengeluarkan bau yang sangat menyengat. Tapi penciuman kami sudah tidak asing dengan hal itu. Itulah yang akan membuat asap di dapur menjadi mengepul. 

Satu dua orang tersenyum dan menyapa kami yang duduk santai didepan rumah. Ada pula yang hanya sekedar lewat saja tanpa menoleh sedikit pun. Mungkin mereka sudah lelah setelah seharian dikebun karet. Dikelilingi tetumbuhan dan nyamuk yang selalu siap untuk menggigit mereka. Dulu  kami juga memiliki kebun karet yang langsung disadap oleh ibu dan ayah. Lahan karet yang tidak begitu luas sehingga tidak membutuhkan tenaga orang lain untuk menyadapnya. Selain itu hasilnya dapat digunakan sendiri oleh keluarga kami tidak perlu berbagi hasil. Namun setelah ayah dan ibu sakit lahan itu dijual untuk biaya sakit mereka. Aku hanya tahu kalau mereka terkena DBD. Mungkin karena seringnya dikebun karet yang banyak nyamuknya. Sepeninggal ibu dan ayah, Kakak lebih memilih bekerja dirumah Bu Qosim yang terkenal kaya itu. Meski kaya bu Qosim dan keluarganya sangat baik dan tidak pernah menyombongkan diri.

Temaram cahaya lampu menggantikan terangnya mentari yang lambat laun bergerak menuju peraduannya. Malam ini hanya aku yang makan. Kakak beralasan masih kenyang. Padahal aku tahu karena beras yang hanya tinggal segenggam.

Selesai makan seperti biasanya aku membuka mata pelajaran yang dibahas tadi disekolah atau mengerjakan PR. Kakak akan setia menemani ku. Kadang-kadang aku bertanya dengannya. Meski hanya lulusan SMP kakak cukup paham dengan mata pelajaran ku. Bila mengalami kesulitan ia tidak akan sungkan mengatakan bahwa ia tidak tahu. Pukul 8 malam desa ini sudah sepi. Kesunyian ini menghantarkan penduduknya lebih cepat ke dunia mimpi agar dapat beraktivitas kembali esok pagi. Begitu juga dengan aku dan Kak Meli.

"Imey...kamu dipanggil sama Pak Robi dikantor" aku hanya diam sambil berjalan menuju kantor. Pastilah ketua komite itu memanggil ku karena perihal uang sekolah. Sengaja ku pelankan langkah kaki ku agar aku terlalu cepat sampai dikantor. Berharap bapaknya mendadak ada urusan lain sehingga mengurungkan niatnya untuk memanggil ku. Ternyata apa yang diharapkan tidak terkabulkan. Baiklah aku akan menghadap beliau meski jawaban ku akan tetap sama dengan yang kemarin. Dengan kacamatanya yang tebal dan kumis panjang melintang dibawah hidungnya, diamnya saja sudah membuat ku bergidik. Apalagi jika sudah bicara. Suaranya sangat lantang. Kata teman-teman Pak Robi ini dulunya mantan paskibraka. Makanya perawakannya tegap dan suaranya tegas.

Aku tersentak oleh bisikan halus ditelinga kanan ku. Seketika aku terperanjat karena yang didepanku bukanlah Pak Robi melainkan Kak Meli dengan senyum manisnya. Kak Meli bertanya lewat ekspresinya yang disertai dengan mengerutkan dahinya. "ini jam berapa kak?" tanyaku sambil mengucek mata yang masih belum terlalu sempurna terbuka. "sekarang jam setengah enam, ayo bangun shalat subuh terus mandi" kakak pun berlalu menuju dapur. Aku bernafas lega. Semua hanya mimpi. Tapi bukankah hari ini batas terakhir pembayarannya? Aku mengeluh dalam hati. Semua ini bukan sekedar mimpi tapi peringatan agar aku tak kaget jika harus diomeli oleh Pak Robi dan tidak dapat mengikuti ulangan semester.

Mandi dan sarapan ku pagi ini tidak bersemangat. Meski sarapan rebusan singkong manis dilumeri dengan gula merah kesukaanku tetap membuat ku tak berselera. Aku mencari kata dan ekspresi yang dapat meyakinkan Pak Robi setiba disekolah nanti agar diberi dispensasi lagi. Coba Kak Meli saja yang datang langsung kesekolah dan menjelaskan pada pihak sekolah jadi aku tak perlu bingung begini menyiapkan jawaban.

"Kak...Imey berangkat ya" pamit ku sambil mencium kedua tangannya kak Meli. "enggak ada yang ketinggalan lagi?" sambil tersenyum. "enggak ada kak" "hati-hati ya sayang dijalan belajar yang rajin. Adik kak Mel harus jadi anak pintar" aku mengangguk.

Belum dua langkah aku melangkah keluar dengan sepatu lusuh ku kakak memanggil "Imey...jangan cemberut gitu. Didalam tas sudah kakak selipkan uang buat bayar SPP. Nanti langsung bayar ya" aku menoleh dan berlari memeluk kakak. Aku tersenyum senang mendengarnya. "dari mana kakak dapat uang? buat beli beras saja kita enggak bisa"

"Belum bisa sayang..bukan enggak bisa. Semua hanya ditunda oleh Allah. Tidak diberi detik ini belum tentu di detik berikutnya tetap sama. Semalam Bu Qosim berkunjung kesini.Beliau memberikan gaji dan bonus buat kakak sehingga uang kita berlebih. Cukup untuk membeli beras dan sayur. Jadi Imey bisa ikut ulangan" kupeluk lebih erat pinggang Kak Meli yang besar.  Mungkin inilah makna dari kalimat kakak kemarin. Bahwa Tuhan tidak akan pernah melupakan kita sekalipun hambanya ingkar dan melupakan Ia. Kini aku tak perlu menyiapkan jawaban apapun setiba disekolah. Aku menyayangi mu kak. Terima kasih Tuhan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun