Seperti biasa begitu aku sampai di kantor ada notifikasi wa masuk, dan aku tahu dengan pasti wa dari siapa. Siapa lagi kalau bukan Mas Dewa, lelaki yang beberapa bulan ini mengisi hari-hariku dengan keceriaan. Membawaku pada jalinan asmara yang menggelora seperti kembali di usia muda. Ya, aku perempuan janda beranak tiga, dan bukan lagi usia remaja yang baru mengenal cinta. tapi bersama Mas Dewa, rasanya aku kembali remaja, hidupku menjadi lebih bersemangat.
Kami saling mengenal bukan dengan tidak sengaja. Bahkan aku dan dia berada dalam beberapa komunitas pelatihan yang sama sebelumnya. Kami memang satu profesi, pendidik Sekolah Menengah Atas, karena itulah kami sering berada dalam komunitas yang sama.Â
Hanya saja dewi asmara belum menyapa jadi hanya berteman biasa seperti yang lainnya. Sekitar dua bulan yang lalu, pertemanan itu berubah menjadi asmara yang tak bisa dibendung. Cinta terlarang yang menjadi satu-satunya pilhan untuk mereguk nikmatnya asmara yang sudah kepalang tanggung untuk mundur.Â
Dua bulan lebih hubungan ini berjalan, ada cemburu, ada was-was, pula ada hasrat yang sekuat tenaga kami kekang. Kami sadar, cinta ini tidak benar, namun ...ahh apa daya aku dan dia. Setidaknya, kami tidak melakukan yang dilarang agama dan norma, pembelaan pada diriku sendiri.
***
 "Huft ...Mel, Mas ingin bertemu di caf seperti biasa.", Mel, dia memanggilku begitu, singkatan dari namaku Melani. Suara Mas Dewa di ujung telepon terasa aneh, ada nafas memburu di suara itu, ada desah yang tidak biasa, ada rasa kekhawatiran yang terlihat jelas dalam kalimat pujaanku.
"Ada apa Mas?", tanyaku dengan penasaran.
"Nanti kujelaskan di caf, malam ini juga kita harus bertemu Mel, darurat!", kalimat terakhir dari Mas Dewa sebelum menutup telponnya.
Ujung jari telunjukku berputar mengelilingi bibir cangkir cappuccino favorit kami. Sudah ku siapkan dua cangkir minuman legit ini, satu untukku, satu untuknya. Sesekali kucuri pandang pada jam tangan emas yang melingkar di pergelangan tanganku. Hm, lima menit lagi Mas Dewa akan sampai, seperti janji kami untuk bertemu pukul delapan tepat. Dia memang lelaki yang sangat disiplin, selalu on time jika berjanji untuk bertemu.Â
Tidak lebih juga tidak kurang meski satu menit pun. Sengaja kupilih tempat duduk di pojokan, aku tak mau terganggu oleh hiruk pikuk pengunjung lainnya. Aku hanya ingin dengannya, bersamanya. Lelaki pujaan hatiku yang sudah sepekan tak kubertemu. Hanya ini yang bisa kami lakukan, bertemu diam-diam mencuri waktu di sela kesibukan kami.
Tampak seorang lelaki tegap di pintu caf. Berdiri untuk beberapa saat, seolah ada ragu yang menahan kakinya untuk masuk ke dalam. Â Dia melihat ke arahku lalu bergegas menghampiriku. Kusambut dia dengan senyuman termanis yang kupunya. Tapi tak seperti biasanya dia selalu tersenyum pula, kali ini kulihat kekalutan di matanya. Ada sorot mata yang penuh dengan kekhawatiran. Dia duduk di sampingku, tak tenang.Â