"Aw!", jeritku sambil gumpalan daging seksi di bawah hidungku. Masih panas rupanya cappuccino ini. Teman setiaku menghabiskan senja, hampir setiap hari. Aku memang penikmat abadi minuman yang satu ini. Sengaja istana ini kubangun dengan balkon luas di lantai atas untuk menikmati suasana alam pagi hari pun menjelang malam.Â
Hal yang paling aku suka di balkon ini adalah berlama-lama memandang sang bagaskara muncul dari peraduannya sambil merasakan sisa-sisa embun yang singgah di kulit wajahku kadang kala menikmati sang surya mulai turun menuju ke peraduannya kembali di ujung senja.
Kubolak-balik halaman sebuah buku kecil berukuran A5 di tanganku, "KUMBANG JALANG PADA MELATI" judul sebuah buku antologi puisi dari seorang teman. Entah sudah berapa kali kubaca isinya, sampai hampir aku hafal di luar kepala setiap goresan penanya. Sebuah puisi yang paling aku suka ada di halaman terakhir, saat si penulis ungkapkan rindu yang begitu tertahan pada pujaan hati.
JALAN RINDU
Setiap nafas yang berembus muncul namamu
Bersama semilir angin menyibakkan rambut yang pernah aku belai
Setiap mata memandang, semua yang terpandang adalah wajahmu
Melambaikan panggilan dalam pelukan erat.. menafikan arti cinta yang bersyarat
Ku hangatkan engkau dengan nyala rindu
Menemani bayanganmu buat hidupku membiru
Setiap ku mendengar, suara yang terdengar adalah burung-burung bersiul
Menyuarakan namamu dalam ruang sepi tersimpan kepingan hati yang pilu
Setiap ku menggenggam, genggamanmu membawaku ke padang cinta
Menari nari tanpa lelah
Mimpi yang lewat, menjadi sirna dalam pujaan
Setiap ku melangkah, Tujuan kakiku melarang untuk berpindah arah
Fokus hati dan logikaku adalah menapaki jejak hatimu
Bersemayam mesra dalam ruang asmara
Ku tak bisa hidup tanpa detak dan degup hatimu
Sungguh hati ini sudah membelenggu jauh ke dasar rindu
Kedua mata ini mulai memanas, ada sudut bening menggenang. Membaca goresan pena  dalam buku bercover biru, membawaku pada masa yang jauh. Entah kapan masa itu telah kutinggalkan terlalu jauh, tapi ... ah, aku masih di tempat yang sama. Di ruang rindu yang tak sedikutpun terasa beda.
***
Seperti biasa begitu aku sampai di kantor ada notifikasi wa masuk, dan aku tahu dengan pasti wa dari siapa. Siapa lagi kalau bukan Mas Dewa, lelaki yang beberapa bulan ini mengisi hari-hariku dengan keceriaan. Membawaku pada jalinan asmara yang menggelora seperti kembali di usia muda. Ya, aku perempuan janda beranak tiga, dan bukan lagi usia remaja yang baru mengenal cinta. tapi bersama Mas Dewa, rasanya aku kembali remaja, hidupku menjadi lebih bersemangat.
Kami saling mengenal bukan dengan tidak sengaja. Bahkan aku dan dia berada dalam beberapa komunitas pelatihan yang sama sebelumnya. Kami memang satu profesi, pendidik Sekolah Menengah Atas, karena itulah kami sering berada dalam komunitas yang sama.Â
Hanya saja dewi asmara belum menyapa jadi hanya berteman biasa seperti yang lainnya. Sekitar dua bulan yang lalu, pertemanan itu berubah menjadi asmara yang tak bisa dibendung. Cinta terlarang yang menjadi satu-satunya pilhan untuk mereguk nikmatnya asmara yang sudah kepalang tanggung untuk mundur.Â
Dua bulan lebih hubungan ini berjalan, ada cemburu, ada was-was, pula ada hasrat yang sekuat tenaga kami kekang. Kami sadar, cinta ini tidak benar, namun ...ahh apa daya aku dan dia. Setidaknya, kami tidak melakukan yang dilarang agama dan norma, pembelaan pada diriku sendiri.
***
 "Huft ...Mel, Mas ingin bertemu di caf seperti biasa.", Mel, dia memanggilku begitu, singkatan dari namaku Melani. Suara Mas Dewa di ujung telepon terasa aneh, ada nafas memburu di suara itu, ada desah yang tidak biasa, ada rasa kekhawatiran yang terlihat jelas dalam kalimat pujaanku.
"Ada apa Mas?", tanyaku dengan penasaran.
"Nanti kujelaskan di caf, malam ini juga kita harus bertemu Mel, darurat!", kalimat terakhir dari Mas Dewa sebelum menutup telponnya.
Ujung jari telunjukku berputar mengelilingi bibir cangkir cappuccino favorit kami. Sudah ku siapkan dua cangkir minuman legit ini, satu untukku, satu untuknya. Sesekali kucuri pandang pada jam tangan emas yang melingkar di pergelangan tanganku. Hm, lima menit lagi Mas Dewa akan sampai, seperti janji kami untuk bertemu pukul delapan tepat. Dia memang lelaki yang sangat disiplin, selalu on time jika berjanji untuk bertemu.Â
Tidak lebih juga tidak kurang meski satu menit pun. Sengaja kupilih tempat duduk di pojokan, aku tak mau terganggu oleh hiruk pikuk pengunjung lainnya. Aku hanya ingin dengannya, bersamanya. Lelaki pujaan hatiku yang sudah sepekan tak kubertemu. Hanya ini yang bisa kami lakukan, bertemu diam-diam mencuri waktu di sela kesibukan kami.
Tampak seorang lelaki tegap di pintu caf. Berdiri untuk beberapa saat, seolah ada ragu yang menahan kakinya untuk masuk ke dalam. Â Dia melihat ke arahku lalu bergegas menghampiriku. Kusambut dia dengan senyuman termanis yang kupunya. Tapi tak seperti biasanya dia selalu tersenyum pula, kali ini kulihat kekalutan di matanya. Ada sorot mata yang penuh dengan kekhawatiran. Dia duduk di sampingku, tak tenang.Â
Ada rasa jengah terlihat dari setiap gerak tubuhnya. Dia ulurkan kedua tangannya di atas meja bundar di depan kami. Jemari kedua tangan itu saling meremas kuat, terlihat otot-ototnya yang tampak jelas menyiratkan kegagahannya. Kuseret kursiku mendekat padanya, kutempelkan tubuhku padanya. Kugenggam jemari itu, seolah ingin kuberi kekuatan dari prahara dunia. Dia memandangku lekat penuh cinta, penuh rindu yang tertahan.
"Mas ... kenapa?", ucapku hampir berbisik.
"Mel, Mas mencintaimu. Demi Allah Mas cinta padamu. Mas sayang teramat sangat", ucapnya sambil mencium tanganku dalam-dalam. "Tapi, istriku sudah tahu hubungan kita, dan kami bertengkar hebat. Kita sudah berakhir Mel, aku tidak punya pilihan lain, dia mengancam akan meninggalkanku. Mas tidak bisa ambil resiko itu, kasihan anakku." lanjutnya sambil menundukkan kepalanya.
"Mel, aku harus blokir semua sosial mediamu, telponmu, nomor wa mu, semuanya Mel ... semuanya. Ini komitmen Mas padanya, aku takkan menghubungimu lagi.", ucapnya perih dalam kalut. Â
"Harus begitu?" tanyaku lirih. Huft ... Aku tau pertanyaanku tak butuh jawaban. Kami tahu, saat ini akan tiba, cepat atau lambat. "Apa aku bisa menolak permintaanmu? Kita sama-sama tau, cinta kita terlalu rapuh untuk mengambil resiko. Kau dan aku, bukan manusia sempurna tanpa dosa, tapi kita juga bukan manusia laknat tak berperasaan bukan? Aku terima Mas ...", lanjutku berusaha tegar. Â
Air mata ini sudah tak terbendung lagi, hatiku hancur, luluh lantak ke bumi. Dia hanya diam, hanya diam. Kami berpandangan begitu dalam.Â
Ada bening kecil di sudut matanya. Kuusap air mata lelaki di hadapanku. Kuseka air mataku pula. Ada batu besar yang tiba-tiba menindih dada ini , sakit ... pedih di hati.Â
Diiringi temaram lampu caf, rasanya membakar gelora di antara kami. Aku takluk dalam pandangan matanya yang penuh cinta untukku, kusambut bibir hangat yang menciumku tipis penuh gelora yang ingin dilepaskan. Â Ciuman terlarang pertama dan terakhir darimu. Malam terakhir kami bertemu, terakhir untuk selamanya.
Memang mahal cinta terlarang harus dibayar, pertemanan yang berubah menjadi cinta, persahabatan berbalut asmara, cepat atau lambat akan hancur tak berkeping. Terputus semua akses kami untuk berkomunikasi, tapi tak keluar dari hatiku, tak pula dari hidupku. Tetap abadi dalam ingatanku, senyummu, suaramu, candamu, rayumu ... semuanya tentangmu.
***
Kuseruput cappuccino yang entah sejak kapan mulai dingin. Ada yang mengganjal di tenggorokanku, menghalangi minuman nikmat ini masuk ke dalamnya. Memandang langit berselendang emas, memandang seraut wajah yang kurindu. Wajah tampan berpeci hitam yang mempesona. Penampilan khasmu yang selalu kurindu.
"Ah ... Mas Dewa!", bisikku lirih pada angin sembari menghapus genangan bening di sudut mataku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H