Tatapan Van Len semakin tajam.
“ Warni, mereka menginginkanku untuk kembali. Aku akan bersedia. Tapi niatku tak akan berubah. Aku tetap membela negerimu. Aku berjanji akan kembali lagi. Kembali berjuang bersama Pardi dan teman-teman. Kembali lagi untuk bertemu denganmu.”
Mata Warni berkaca-kaca. Van Len menambahkan,
“ Pergilah lewat pintu belakang rumah. Aku akan menyusul jika kondisi memungkinkan. Mereka tak akan membunuhku. Tenang saja.”
Suara ketukan pintu terdengar halus. Van Len terkejut. Ia berpikir “ Mengapa mereka tidak mendobrak.”
“ Warni, cepat pergi,” himbau Van Len.
Dengan linangan air mata, Warni berkata,
“ Aku tak bisa meninggalkanmu.”
“ Aku akan kembali, Warni. Aku pergi untuk kembali.”
Warni berjalan pelan menjauhninya. Air matanya terus meleleh. Ketukan pintu terus terdengar, suaranya halus. Van Len berjalan mendekati pintu. Ia membalikkan badan sejenak. Warni menghilang di pelupuk matanya. Ia kembali membalikkan badan. Ia membuka pintu rumah itu dengan kunci, lalu menarik daun pintu. Pintu perlahan terbuka.
Tampak empat orang berdiri di hadapan mereka. Van Len melihat mereka dengan pandangan tajam. Ia menatap tajam pamannya, lalu Suyitno, seorang tentara gempal, dan pengemudi mobil. Ia sedikit terheran. Tak ada satu senjata pun menghias seragam mereka. Mereka tak menggenggam senapan. Ia mengerutkan kening.