Mohon tunggu...
Ichwan Navis
Ichwan Navis Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Paman, Aku Tetap Akan Membela Bumi Hindia

7 Oktober 2016   21:08 Diperbarui: 7 Oktober 2016   21:10 534
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kolonel menjatuhkannya di atas tanah liat datar. Van Len merasa susah untuk bangkit. Kolonel kembali melancarkan tendangan ke arah mukanya. Tendangannya terkena rahang kiri Van Len. Van Len kembali terpental dengan posisi berbaring. Napas kolonel semakin tersendat-sendat. Ia masih terbuai dalam luapan emosi tinggi.

Ia berjalan menghampiri Van Len yang sedang sekarat. Ia kembali melancarkan tendangan. Tendangan mengarah tepat ke punggung Van Len. Kemudian Van Len kembali terpental. Ia berusaha menahan rasa sakit. Sementara kolonel terus menendangnya. Van Len ingin sekali membalas serangan, tapi ia tak kuasa lakukan. Ia tak ingin menyerang pamannya. Ia masih menganggapnya bagian dari keluarganya.

“Ayo balas ! Kenapa kau tidak membalas seranganku !...Hei anak muda !” bentak kolonel.

Kolonel memegang erat kerah baju Van Len. Ia menariknya ke atas,  membuat diri Van Len berdiri secara paksa. Ia memandang tajam Van Len. Matanya melotot. Napasnya tersendat-sendat. Ia menekan kuat gigi-giginya. Ia membentak dengan keras,

“ Dengar baik-baik anak muda, aku masih memberimu kesempatan untuk berubah. Pintu markas terbuka untukmu, tapi aku akan membatasinya dengan waktu. Aku memberimu waktu satu minggu, mulai dari sekarang. Satu minggu untuk berubah. Carilah gadis yang kau cintai itu, lalu ajak dia bersamamu pergi ke markas. Atau kau datang sendiri ke sana. Aku masih memberimu kesempatan. Kesempatan untuk berubah. Kau telah memalukan nama tentara kita. Ayahmu pasti marah besar dan kecewa padamu. Bahkan mungkin ia bisa memusuhimu karena perlakuanmu itu. Kau sungguh biadab !”

“ Kalau batas waktu itu kau tak juga datang. Aku akan menganggapmu musuh. Kau sudah tak dianggap di sana sebagai kawan, tapi kau dianggap sebagai lawan. Pengkhianat yang harus disingkirkan. Aku juga tak sudi menganggapmu sebagai keponakan. Jangan panggil aku dengan sebutan paman jika kita saling berhadapan nanti. Ingat anak muda, masih ada waktu untuk berubah. Berubahlah. Jangan sampai kesabaranku habis karena ulahmu yang membuat bingung para tentara.”

Kolonel sedikit melunak. Ia melanjutkan dengan nada sedikit lunak,

“ Ingat anak muda, berubahlah dan berubahlah. Jangan buat bingung para tentara dengan ulahmu. Kau telah membela pasukan gerilya dari serangan tentara kita. Padahal kau orang Belanda. Kau membela orang Hindia karena kau mencintai salah seorang gadis Hindia. Aku tidak melarangmu. Tapi jangan jadikan kecintaanmu pada gadis itu menjadi buta. Kau berubah arah karena dia. Aku tahu ucapanmu tadi pasti bohong. Aku tahu betul watakmu, karakter pribadimu. Kau tak bisa membohongimu. Masih ada waktu untuk berubah. Berubahlah sebelum semuanya terlambat. Sebelum orang-orang yang kau cintai berubah pikiran, dari mencintaimu menjadi memusuhimu.”

Ia melepaskan pegangan. Van Len terjatuh, lalu tersungkur ke tanah. Ia terbaring dengan punggung di atas. Darah masih mencucur di pipi. Mulutnya tampak memerah, mengeluarkan darah. Ia menatap pandangan lurus ke depan. Kolonel berjalan pelan membelakanginya. Ia berjalan keluar dari rumah itu. Ia tak sedikit pun menoleh ke belakang. Ia menutup pintu rumah dengan hentakan keras. Sinar matahari tertutup oleh pintu. Van Len menundukkan pandangan. Tak lama berselang suara mesin mobil terdengar keras. Suara itu semakin mengecil dan akhirnya menghilang.

Di tengah rasa sakit yang hebat, Van Len berpikir tentang nasibnya. Ia tak bisa membayangkan seluruh sanak keluarganya membencinya. Membenci karena ia membela kebenaran. Membela orang lemah dari penindasan. Mengubah kesedihan yang dialami oleh bangsa Hindia menjadi keceriaan. Ia tak tega mendengar tangis terus menerus dari generasi muda bangsa Hindia, dari para istri yang ditinggal gugur suami di medan pertempuran. Ia hanya ingin semua orang hidup damai tanpa penindasan. Tanpa kediktatoran pihak tertentu. Ia ingin mewujudkannya di bumi Hindia.

Van Len tak merubah jalan pikirannya. Ia tetap berjuang bersama rakyat Hindia untuk melawan penjajahan atas bumi mereka. Ia sudah berpikir matang. Bahkan ia rela mati demi kebahagiaan di atas muka bumi Hindia. Ia tak takut mati. Ia mencoba untuk berdiri, tapi ia tak mampu melakukannya saat itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun