Misuh atau memaki bisa jadi katarsis ketika menyaksikan tingkah polah elite politik bersandiwara membawa nama rakyat demi meraih kekuasaan. Misuh dengan berbagai macam kata pisuhan atau makian bisa menjadi pengingat bagi diri kita untuk tak ikut-ikutan jadi busuk sebagaimana para politikus dan pejabat yang ketahuan berbuat korupsi dan ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi.
Misuh dalam hidup saya bisa bermakna positif, bisa bermakna negatif. Misuh itu dalam bahasa Indonesia adalah ”memaki”. ”Misuh” merupakan kata kerja dalam bahasa Jawa. Mengapa saya memaknai misuh sebagai positif dan negatif? Begini ceritanya.
Saya lahir dan tumbuh di keluarga yang kental dengan budaya Jawa. Unggah ungguh, tata krama, dan sopan santun adalah acuan dasar dan utama bagi orang tua saya saat mendidik saya dan saudara-saudara saya.
Ibu dan bapak saya sangat memperhatikan tutur kata anak-anak mereka. Bagaimana saya dan saudara-saudara saya menggunakan kata dan kalimat selalu diperhatikan ibu dan bapak saya. Kata-kata kasar selalu mengundang peringatan keras, kadang-kadang amarah.
Semasa kecil hingga remaja, saya tumbuh menjadi manusia yang punya anggapan bahwa kata-kata kasar, termasuk kata-kata makian atau pisuhan, adalah kata-kata orang-orang tak beradab.
Sejak kecil hingga remaja, ketika saya tumbuh di bawah asuhan langsung ibu dan bapak saya, saya memang tak pernah mendengar mereka berdua menggunakan kata-kata makian atau pisuhan, terutama kepada anak-anak mereka.
Kata-kata makian, pisuhan, bagi saya ketika itu adalah kotor, negatif, rendah, jelek, biadab. Kosakata bahasa Jawa sangat kaya kata makian atau pisuhan.
Saya memahami kekayaan kosakata pisuhan dalam bahasa Jawa itu setelah lingkungan pergaulan saya kian luas seiring ketika saya meninggalkan rumah dan harus kuliah di Universitas Sebelas Maret(UNS) di Solo, pada 1994.
Lambat laun ada perubahan pemahaman dan persepsi dalam diri saya ihwal pisuhan. Saya kemudian bisa menerima eksistensi kata-kata makian atau pisuhan sebagai bagian integral dari kehidupan manusia dan kemanusiaan.
“Hai, bajingan, piye kabare?” begitu kata sapaan dan pertanyaan yang sering saya dengar (sampai sekarang)tiap kali saya bertemu dengan seorang jurnalis senior (kini sudah “pensiun”dari dunia jurnalisme) yang bertugas di Kota Semarang.
Kata sapaan dengan kata makian “bajingan” itu tak membuat saya marah. Justru saya merasa kian dekat dengan jurnalis yang pada awal 2000-an menjadi salah satu guru saya dalam persoalan menjejak atau tracking anggaran, terutama anggaran pendapatan dan belanja daerah(APBD).
Justru kata sapaan “bajingan” itu—yang sesungguhnya kata makian yang sangat kasar, baik dalam bahasa Indonesia atau bahasa Jawa—menunjukkan jurnalis senior—ya guru saya itu—masih sangat menyayangi saya.
Sapaan seperti itu sampai kini masih saya dengar terlontar dari mulut jurnalis senior guru saya itu tiap kali kami bertemu secara tak sengaja, atau ketika dia menelepon saya, atau saat chatting via Facebook dan bertukar obrolan via Blackberry Messenger (BBM).
Jurnalis senior guru saya itu memang jurnalis yang sangat matang di sektor jurnalisme bertema keuangan, ekonomi, pasar modal, politik anggaran,asuransi, dan sejenisnya. Dari dialah saya belajar membaca laporan keuangan,membaca manipulasi anggaran, dan membaca celah-celah permainan dalam penyusunan APBD.
Saya sempat hidup satu kantor dengan jurnalis senior itu saat saya bertugas di Kota Semarang sebagai reporter. Kebetulan koran tempat saya bekerja sebagai buruh, sebagai jurnalis, adalah anak perusahaan di mana jurnalis senior yang sering “memaki” saya itu bekerja.
Selama itu pula saya paham benar bagaimana kehidupan pribadinya. Dan penggunaan kata-kata makian atau pisuhan,semacam “bajingan” dengan segala variasinya seperti “bajigur” (aslinya adalah minuman hangat khas Jawa Barat), ”bajindal” (turunan dari ”bajirut”), ”bajirut” (turunan dari ”bajingan”), ”bajingpret” (turunandari ”bajingan”), dan ”Bang Jiman ngangsu” (turunan dari pisuhan ”bajingan” dan ”asu”), memang jadi dunia sehari-harinya.
Dan setahu saya, selama lebih dari setahun saya sekantor dengan jurnalis senior itu, kata-kata pisuhan yang dia tuturkan itu sangat jarang yang bernada marah, sangat jarang yang ditujukan kepada oranglain sebagai ekspresi kemarahan.
Saya justru menangkap penggunaan kata-kata pisuhan itu mayoritas dalam dua konteks: menunjukkan keakraban (seperti ketika dia menyapa saya dengan pisuhan ”bajingan”) dan saat dia sedang kecewa karena melakukan kesalahan sendiri yang merugikan dirinya sendiri.
Di sini, anggapan saya semasa saya masih kanak-kanak hingga remaja terhadap memaki dan misuh terdekonstruksi. Pisuhan ternyata tak melulu bermakna negatif, kotor, rendah, biadab. Pisuhan ternyata mengandung “filosofi” tinggi dan mulia sebagai penghargaan antarmanusia dalam sebuah pergaulan yang akrab dan dekat.
Di paragraf di atas saya menyebut salah satu variankata pisuhan, yaitu ”Bang Jimanngangsu”, yang sebenarnya gabungan dari kata makian “bajingan” dan “asu”.
Sampai kini saya belum menemukan jawaban yang memuaskan atas pertanyaan saya: mengapa dua kata itu menjadi kata bermakna kasar, rendah, biadab, kotor, ketika dilafalkan sebagai pisuhan atau kata makian?
Setahu saya, dua kata yang membentuk frasa “Bang Jiman ngangsu” itu, yaitu “bajingan” dan “asu” adalah dua kata yang “biasa-biasa saja”. “Bajingan” adalah sebutan untuk pengemudi gerobak. Sedagkan “asu” adalah nama hewan, yang dalam bahasa Indonesia “anjing”.
Jadi, apa salahnya si “bajingan” dan “asu” itusehingga kemudian masuk dalam kosakata pisuhandan selama bergenerasi-generasi menjaid kata makian atau pisuhan terfavorit?
Menarik sekiranya ada penelitian dengan metode ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan untuk mengetahui asal usul kata-kata itu menjadi kosakata pisuhan. Yang jelas, sepengetahuan saya yang dangkal ini, kata-kata pisuhan yang kini menjadi perbendaharaan bahasa dalan hidup sehari-hari kita aslinya memang kata-kata yang “biasa-biasa saja”.
Nama-nama hewan kini menjadi kosakata pisuhan yang cukup favorit. Nama hewan yang jadi kata pisuhan favorit itu adalah “anjing”yang sama dengan “asu”, dan “babi”. Dan belakangan kata “wedhus” yang dalam bahasa Indonesia adalah “kambing” juga menjadi kata pisuhan yang cukup favorit dalam khazanah bahasa Jawa.
Dan yang juga membuat saya heran, ternyata kini nama-nama manusia pun bisa menjadi kosakata pisuhan. Ini paling mudah ditemui dalam kosakata bahasa Jawa. Anda pernah mendengar nama Paijo, Paijem, Paiyem, yang merupakan nama-nama khas Jawa yang biasa ditemukan di kawasan perdesaan?
Kini, Paijo, Paijem, Paiyem, dan mungkin juga nama-nama orang lainnya, bisa tampil sebagai kata makian atau pisuhan. Silakan lafalkan nama-nama itu dengan intonasi dan ekspresi seperti ketika Anda misuh dengan kata ”bajingan”dan ”asu”. Niscaya nada dan konteksnya akan sama persis.
Dari pemaparan saya di atas, saya merasa bisa menyimpulkan bahwa kata makian atau pisuhan merupakan bagian dari kehidupan dan peradaban manusia.
Makian atau pisuhan bisa bermakna positif (simbol keakraban), bisa bermakna negatif (merendahkan dan menghina orang lain), tapi bisa juga bermakna kontemplatif sekaligus sebagai katarsis.
Yang ketiga atau yang terakhir itu yang akan saya bahas di bagian akhir tulisan (tak bermutu) ini. Ketika saya membaca berita Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar—kini sudah dipecat--ditangkap aparat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga kuat terlibat suap-menyuap dalam sengketa pemilihan kepala daerah, kata pisuhan yang saya gunakan adalah ”kampret”.
Apa salahnya kampret menjadi kata pisuhan? Saya kira jawabannya sama dengan nasib kata “bajingan” dan “asu”. Perlu penelitian dengan metode ilmiah yang akurat. Yang jelas, ketika saya menyebut “kampret” terkait kasus Akil Mochtaritu, setidaknya ada tiga hal yang terwakili.
Pertama, saya jelas misuh dalam makna sesungguhnya—jengkel,ingin menghina, dan merendahkan--karena mengetahui ada sosok Ketua Mahkamah Konstitusi yang ternyata doyan suap, sosok Ketua Mahkamah Konstitusi ternyata secara sengaja melanggar hukum.
Kedua, saya misuh karena sangat gembira. Mengapa gembira? Malam saat Akil Mochtar ditangkap KPK saya kejatah piket bersama dua redaktur lain di koran tempat saya bekerja. Kebetulan berita penangkapan Akilitu muncul sebelum tenggat halaman 1. Malam itu saya laksana mendapat “durianruntuh” karena mendapat berita yang sangat layak jadi headline halaman 1. “Kampret” yang saya ucapkan adalah ekspresi senang.
Ketiga, saya misuh sebagai wahana untuk meringankan “beban dalam benak” saya saat mengetahui kian banyak pejabat negara, bahkan pejabat tinggi negara, yang punya kekuasaan besar dan tinggi, serta bergaji melimpah teryata masih doyan suap, mau korupsi, mau merekayasa APBD/APBN demi meraup keuntungan bagi pribadi atau kelompoknya.
Dalam konteks ini, misuh saya maknai dan posisikan sebagai jalan bagi rakyat kecil—seperti saya—untukmengungkapkan kejengkelan karena melihat perilaku elite politik dan penguasayang begitu bobrok dan busuk. Misuh dalam konteks ini menjadi katarsis sekaligus jalan kontemplatif: jangan sampai saya (dan juga Anda) ikut-ikutan busuk danbobrok.
Anda tahu “dalang edan” Sujiwo Tejo? Dia telah mengangkat derajat pisuhan terbiadab di tlatah Jawa Timur: ”diancuk” atau “jancuk” menjadi bahasa kebudayaan yang egaliter sekaligus intelektual. Jadi memaki atau misuh, kata makian atau pisuhan, memang bisa bermakna positif dan negatif, setidaknya dalam hidup saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H