Mohon tunggu...
ichwan prasetyo
ichwan prasetyo Mohon Tunggu... -

Saya jurnalis, suka membaca buku, suka mengoleksi buku, suka berkawan, tak suka pada kemunafikan. Saya memilih lebih baik hidup terasing daripada menyerah pada kemunafikan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Misuh dalam Hidup Saya

6 Mei 2014   13:37 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:49 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Jadi, apa salahnya si “bajingan” dan “asu” itusehingga kemudian masuk dalam kosakata pisuhandan selama bergenerasi-generasi menjaid kata makian atau pisuhan terfavorit?

Menarik sekiranya ada penelitian dengan metode ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan untuk mengetahui asal usul kata-kata itu menjadi kosakata pisuhan. Yang jelas, sepengetahuan saya yang dangkal ini, kata-kata pisuhan yang kini menjadi perbendaharaan bahasa dalan hidup sehari-hari kita aslinya memang kata-kata yang “biasa-biasa saja”.

Nama-nama hewan kini menjadi kosakata pisuhan yang cukup favorit. Nama hewan yang jadi kata pisuhan favorit itu adalah “anjing”yang sama dengan “asu”, dan “babi”. Dan belakangan kata “wedhus” yang dalam bahasa Indonesia adalah “kambing” juga menjadi kata pisuhan yang cukup favorit dalam khazanah bahasa Jawa.

Dan yang juga membuat saya heran, ternyata kini nama-nama manusia pun bisa menjadi kosakata pisuhan. Ini paling mudah ditemui dalam kosakata bahasa Jawa. Anda pernah mendengar nama Paijo, Paijem, Paiyem, yang merupakan nama-nama khas Jawa yang biasa ditemukan di kawasan perdesaan?

Kini, Paijo, Paijem, Paiyem, dan mungkin juga nama-nama orang lainnya, bisa tampil sebagai kata makian atau pisuhan. Silakan lafalkan nama-nama itu dengan intonasi dan ekspresi seperti ketika Anda misuh dengan kata ”bajingan”dan ”asu”. Niscaya nada dan konteksnya akan sama persis.

Dari pemaparan saya di atas, saya merasa bisa menyimpulkan bahwa kata makian atau pisuhan merupakan bagian dari kehidupan dan peradaban manusia.

Makian atau pisuhan bisa bermakna positif (simbol keakraban), bisa bermakna negatif (merendahkan dan menghina orang lain), tapi bisa juga bermakna kontemplatif sekaligus sebagai katarsis.

Yang ketiga atau yang terakhir itu yang akan saya bahas di bagian akhir tulisan (tak bermutu) ini. Ketika saya membaca berita Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar—kini sudah dipecat--ditangkap aparat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga kuat terlibat suap-menyuap dalam sengketa pemilihan kepala daerah, kata pisuhan yang saya gunakan adalah ”kampret”.

Apa salahnya kampret menjadi kata pisuhan? Saya kira jawabannya sama dengan nasib kata “bajingan” dan “asu”. Perlu penelitian dengan metode ilmiah yang akurat. Yang jelas, ketika saya menyebut “kampret” terkait kasus Akil Mochtaritu, setidaknya ada tiga hal yang terwakili.

Pertama, saya jelas misuh dalam makna sesungguhnya—jengkel,ingin menghina, dan merendahkan--karena mengetahui ada sosok Ketua Mahkamah Konstitusi yang ternyata doyan suap, sosok Ketua Mahkamah Konstitusi ternyata secara sengaja melanggar hukum.

Kedua, saya misuh karena sangat gembira. Mengapa gembira? Malam saat Akil Mochtar ditangkap KPK saya kejatah piket bersama dua redaktur lain di koran tempat saya bekerja. Kebetulan berita penangkapan Akilitu muncul sebelum tenggat halaman 1. Malam itu saya laksana mendapat “durianruntuh” karena mendapat berita yang sangat layak jadi headline halaman 1. “Kampret” yang saya ucapkan adalah ekspresi senang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun