Ketiga, saya misuh sebagai wahana untuk meringankan “beban dalam benak” saya saat mengetahui kian banyak pejabat negara, bahkan pejabat tinggi negara, yang punya kekuasaan besar dan tinggi, serta bergaji melimpah teryata masih doyan suap, mau korupsi, mau merekayasa APBD/APBN demi meraup keuntungan bagi pribadi atau kelompoknya.
Dalam konteks ini, misuh saya maknai dan posisikan sebagai jalan bagi rakyat kecil—seperti saya—untukmengungkapkan kejengkelan karena melihat perilaku elite politik dan penguasayang begitu bobrok dan busuk. Misuh dalam konteks ini menjadi katarsis sekaligus jalan kontemplatif: jangan sampai saya (dan juga Anda) ikut-ikutan busuk danbobrok.
Anda tahu “dalang edan” Sujiwo Tejo? Dia telah mengangkat derajat pisuhan terbiadab di tlatah Jawa Timur: ”diancuk” atau “jancuk” menjadi bahasa kebudayaan yang egaliter sekaligus intelektual. Jadi memaki atau misuh, kata makian atau pisuhan, memang bisa bermakna positif dan negatif, setidaknya dalam hidup saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H