Justru kata sapaan “bajingan” itu—yang sesungguhnya kata makian yang sangat kasar, baik dalam bahasa Indonesia atau bahasa Jawa—menunjukkan jurnalis senior—ya guru saya itu—masih sangat menyayangi saya.
Sapaan seperti itu sampai kini masih saya dengar terlontar dari mulut jurnalis senior guru saya itu tiap kali kami bertemu secara tak sengaja, atau ketika dia menelepon saya, atau saat chatting via Facebook dan bertukar obrolan via Blackberry Messenger (BBM).
Jurnalis senior guru saya itu memang jurnalis yang sangat matang di sektor jurnalisme bertema keuangan, ekonomi, pasar modal, politik anggaran,asuransi, dan sejenisnya. Dari dialah saya belajar membaca laporan keuangan,membaca manipulasi anggaran, dan membaca celah-celah permainan dalam penyusunan APBD.
Saya sempat hidup satu kantor dengan jurnalis senior itu saat saya bertugas di Kota Semarang sebagai reporter. Kebetulan koran tempat saya bekerja sebagai buruh, sebagai jurnalis, adalah anak perusahaan di mana jurnalis senior yang sering “memaki” saya itu bekerja.
Selama itu pula saya paham benar bagaimana kehidupan pribadinya. Dan penggunaan kata-kata makian atau pisuhan,semacam “bajingan” dengan segala variasinya seperti “bajigur” (aslinya adalah minuman hangat khas Jawa Barat), ”bajindal” (turunan dari ”bajirut”), ”bajirut” (turunan dari ”bajingan”), ”bajingpret” (turunandari ”bajingan”), dan ”Bang Jiman ngangsu” (turunan dari pisuhan ”bajingan” dan ”asu”), memang jadi dunia sehari-harinya.
Dan setahu saya, selama lebih dari setahun saya sekantor dengan jurnalis senior itu, kata-kata pisuhan yang dia tuturkan itu sangat jarang yang bernada marah, sangat jarang yang ditujukan kepada oranglain sebagai ekspresi kemarahan.
Saya justru menangkap penggunaan kata-kata pisuhan itu mayoritas dalam dua konteks: menunjukkan keakraban (seperti ketika dia menyapa saya dengan pisuhan ”bajingan”) dan saat dia sedang kecewa karena melakukan kesalahan sendiri yang merugikan dirinya sendiri.
Di sini, anggapan saya semasa saya masih kanak-kanak hingga remaja terhadap memaki dan misuh terdekonstruksi. Pisuhan ternyata tak melulu bermakna negatif, kotor, rendah, biadab. Pisuhan ternyata mengandung “filosofi” tinggi dan mulia sebagai penghargaan antarmanusia dalam sebuah pergaulan yang akrab dan dekat.
Di paragraf di atas saya menyebut salah satu variankata pisuhan, yaitu ”Bang Jimanngangsu”, yang sebenarnya gabungan dari kata makian “bajingan” dan “asu”.
Sampai kini saya belum menemukan jawaban yang memuaskan atas pertanyaan saya: mengapa dua kata itu menjadi kata bermakna kasar, rendah, biadab, kotor, ketika dilafalkan sebagai pisuhan atau kata makian?
Setahu saya, dua kata yang membentuk frasa “Bang Jiman ngangsu” itu, yaitu “bajingan” dan “asu” adalah dua kata yang “biasa-biasa saja”. “Bajingan” adalah sebutan untuk pengemudi gerobak. Sedagkan “asu” adalah nama hewan, yang dalam bahasa Indonesia “anjing”.