“kamu marah ya. Nanti ke sini lagi ya, jangan Cuma ada urusannya saja” balas ibu kosannya. Dita tertunduk, pergi. Dalam hatinya menemukan teka teki rumah yang dihuninya selama 2 bulan di masa mencari nafkah. Dita tersenyum dalam hatinya. Dia pergi meninggalkan rumah, menuju stasiun kereta api. Dia berharap tak kan pernah ke sana kembali.
“bu, anakmu sudah normal. Mbak eka, sudah 30 tahun. Dia sudah normal. Beruntung Allah memberi seorang anak autis padamu.. mengingatkan pada kesalahan yang silam. Memberi kesabaran yang luar biasa. Mengingat semua kembali padaNya. Namun, kau lupa bu. Anakmu edo, juga sebenarnya normal. Bukan karena keris yang kau ceritakan. Keris peninggalan keluarga suamimu bu. Makhluk halus memang mengelilingi rumahmu, dan kau bu, tak pernah berhenti beribadah. Semua kembali ke anakmu. Mereka sedang memanfaatkan keadaanmu yang lemah. Walau aku tahu kau sangat baik dan sering menolong sesama. Tak cukup juga bu menyadarkan anakmu. Mereka terbiasa dalam dekapanmu, di bawah ketiakmu. Ketika mereka kuat, kau tak kan peduli lagi, seperti mbak rini yang sudah mapan dan sukses. Kau tak pernah cukup memberi kasih sayang padanya. Janganlah kau salahkan keris itu lagi. Aku takut ketika kau tak ada, anak-anakmu akan berebut hartamu dan menghilang di telan bumi”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H