Apakah protes orangtua itu pantas? M Arifin Pelawi PhD di satu blog nasional, menegaskan pandangan orangtua itu absurb, seakan anak-anaknya yang katanya pintar itu semata mata hanya merupakan hasil kerja keras si anak dan orangtua saja. Mereka tidak perduli bahwa nilai tinggi yang diperoleh anaknya itu, lebih banyak faktor karena keberuntungan; dalam arti anaknya lahir dari keluarga yang tepat dan mampu. Sementara, anak buruh cuci tidak berhak masuk sekolah unggulan karena zonasi, apalagi jika nilai dia pas-pasan.Â
Betulkan Sistem Zonasi Tidak Adil ?
Kata TIDAK ADIL yang dilontarkan para orangtua yang protes zonasi sekolah tersebut wajib kita analisis.Â
"Keadilan" yang banyak dilontarkan para orangtua sejenis ini bisa diartikan, si anak buruh cuci akan selalu menjadi anak bodoh dan hanya berhak di sekolah pinggiran. "Keadilan" yang sekarang dituntut para orangtua jenis ini, anak-anak selevel buruh cuci, tidak berhak bersekolah unggulan. Karena sistem zonasi, anak-anak nilai rendah ini telah menghilangkan peluang anak pintar masuk sekolah unggulan.Â
Jadi bisa dipahami betapa para orangtua ini mengamuk karena misinya gagal karena zonasi.
Sejalan dengan pandangan M Arifin Pelawi PhD, orangtua Indonesia (terutama di perkotaan) menganggap derajat manusia elite ditentukan dari sekolah unggulan. Â Jika masuk sekolah favorit, maka ia menjadi bagian kelompok elite sekolah, "kaum berkasta bangsawan pendidikan" , punya "darah biru" pendidikan.Â
Ada apa di balik teriakan orangtua itu?Â
Orangtua jenis itu juga punya alasan bahwa sekolah unggulan itu harus direbut karena punya fasilitas lengkap dan guru yang (kualitasnya) yang lebih baik, sehingga mampu menghasilkan lulusan yang lebih pintar dari sekolah non-unggulan.
Terus terang alasan ini sangat bisa diperdebatkan. Korelasi fasilitas lengkap dengan anak punya nilai baik tidak signifikan. Mengapa? Silakan lihat kenyataan. Dari 100% jam belajar, berapa banyak yang digunakan untuk menggunakan fasilitas lengkap, sebutlah laboratorium kimia, laboratorium biologi, laboratorium bahasa yang dimiliki sekolah unggulan. Berapa kali sebulan siswa bisa nikmati. Apalagi jika ada ratusan bahkan ribuan siswa mesti bergiliran menggunakan laboratorium tersebut.Â
Secara faktual, Â sekitar 95% waktu belajar di sekolah adalah ceramah para guru dengan fasilitas utama, papan tulis dan kapur, atau whiteboard dan spidol. Fasilitas utama tersebut terbukti juga disediakan di sekolah non-unggulan.
Hal yang lebih lucu, keyakinan orangtua  bahwa guru di sekolah favorit punya kualitas lebih baik. Padahal, tolong dicatat, tidak ada sistem penempatan guru PNS di Indonesia yang mengalokasikan guru-guru ke sekolah negeri berdasarkan kemampuan, berdasarkan prestasi.