Mohon tunggu...
Mercy
Mercy Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu dua anak remaja, penggiat homeschooling, berlatarbelakang Sarjana Komunikasi, Sarjana Hukum dan wartawan

Pengalaman manis tapi pahit, ikutan Fit and Proper Test di DPR.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ribut Ribut PPDB, Solusinya Gimana

26 Juni 2019   06:59 Diperbarui: 26 Juni 2019   10:52 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ribut ribut urusan zonasi penerimaan siswa baru (PPDB) karena sistem zonasi belum reda juga. Di balik semua protes orangtua, kalau boleh jujur,  ternyata bukan  hanya masalah kualitas, tetapi ada persoalan gengsi. Nah, repot kan, kalau sudah urusan gengsi jadi faktor penentu pendidikan Indonesia. 

Latar Belakang 

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy meyakinkan bahwa tujuan diterapkan sistem zonasi dalam penerimaan siswa baru semata untuk memperbaiki wajah pendidikan di tanah air. Praktik dalam pendidikan selama ini seperti ada kastanisasi. 

Siswa dari keluarga yang mampu dan pintar berkumpul dalam satu sekolahan favorit. Sementara siswa dari keluarga kurang mampu dengan kemampuan akademik pas-pasan berkumpul di sekolahan non favorit. Hal ini pasti akan menimbulkan dampak negatif bagi anak didik. Mereka, siswa di sekolah yang dianggap unggul akan merasa menjadi nomor 1 dan lebih unggul dari anak didik di sekolahan lain.

Presiden Ir Joko Widodo sempat memerintahkan Sistem Zonasi dievaluasi. Respon Mendikbud Prof Muhadjir Effendy, sudah direvisi. 

Apakah Jokowi bereaksi karena didesak para orangtua, terutama orangtua mampu (baca kaya dan punya jabatan)  yang kecewa karena anaknya yang katanya pintar itu tidak bisa masuk sekolah unggulan gara gara sistem zonasi. 

Hasil evaluasi versi Mendikbud adalah menambah kuota siswa berprestasi dari luar zonasi. "Evaluasi yang dimaksud Bapak Presiden ya diminta untuk ditinjau bagian-bagian mana yang masih belum ada kesepakatan atau dalam tanda petik kontroversi. Dan salah satunya kan kuota untuk siswa berprestasi dari luar zonasi semula 5 persen, beliau berpesan semoga diperlonggar lah gitu." 

"Dan karena itu kita longgarkan dalam bentuk interval antara 5 sampai 15 persen. Untuk daerah-daerah yang pas dengan 5 persen seperti peraturan yang lama, jalan terus. Tapi untuk yang masih belum, sesuai dengan permintaan, saran, dan usul beberapa Pemerintah Daerah yang masih ada masalah itu kemudian kita rapatkan dengan eselon 1 seluruh Kemendikbud dan kita undang juga beberapa Kepala LPMP yang zonasinya masih bermasalah dan kemudian kita putuskan bersama sesuai dengan arahan Presiden supaya dilonggarkan itu maka kita naikkan," lanjut Muhadjir. (Detik.com)

Cara berpikir para orangtua, absurd?

Terus terang,  yang bikin masalah ini tambah banyak dan ruwet dalam pendaftaran peserta didik baru di sekolah (formal) dasar dan menengah Indonesia adalah orangtua. Selain opini orangtua yang bikin ruwet,  rendahnya kualitas guru jadi catatan penting. Ya, kita semua ternyata yang membuat pendidikan Indonesia yang sudah jelek makin jelek.

Protes masal dari para orangtua karena anaknya tidak diterima di sekolah favorit jadi santapan berita media mainstream maupun sosial media hari-hari ini. Banyak orangtua berteriak, sistem zonasi TIDAK ADIL bagi anak (nya) yang pintar. Anaknya yang telah belajar mati-matian (mungkin termasuk bayar bimbel) untuk dapat nilai tinggi supaya masuk sekolah unggulan. Bahkan para orangtua yang (maaf)  sombong itu sadar atau tidak menegaskan bahwa seharusnya anak yang nilainya rendah tidak berhak ada di sekolah unggulan. 

Apakah protes orangtua itu pantas? M Arifin Pelawi PhD di satu blog nasional, menegaskan pandangan orangtua itu absurb, seakan anak-anaknya yang katanya pintar itu semata mata hanya merupakan hasil kerja keras si anak dan orangtua saja. Mereka tidak perduli bahwa nilai tinggi yang diperoleh anaknya itu, lebih banyak faktor karena keberuntungan; dalam arti anaknya lahir dari keluarga yang tepat dan mampu. Sementara, anak buruh cuci tidak berhak masuk sekolah unggulan karena zonasi, apalagi jika nilai dia pas-pasan. 

Betulkan Sistem Zonasi Tidak Adil ?

Kata TIDAK ADIL yang dilontarkan para orangtua yang protes zonasi sekolah tersebut wajib kita analisis. 

"Keadilan" yang banyak dilontarkan para orangtua sejenis ini bisa diartikan, si anak buruh cuci akan selalu menjadi anak bodoh dan hanya berhak di sekolah pinggiran. "Keadilan" yang sekarang dituntut para orangtua jenis ini, anak-anak selevel buruh cuci, tidak berhak bersekolah unggulan. Karena sistem zonasi, anak-anak nilai rendah ini telah menghilangkan peluang anak pintar masuk sekolah unggulan. 

Jadi bisa dipahami betapa para orangtua ini mengamuk karena misinya gagal karena zonasi.

Sejalan dengan pandangan M Arifin Pelawi PhD, orangtua Indonesia (terutama di perkotaan) menganggap derajat manusia elite ditentukan dari sekolah unggulan.  Jika masuk sekolah favorit, maka ia menjadi bagian kelompok elite sekolah, "kaum berkasta bangsawan pendidikan" , punya "darah biru" pendidikan. 

Ada apa di balik teriakan orangtua itu? 

Orangtua jenis itu juga punya alasan bahwa sekolah unggulan itu harus direbut karena punya fasilitas lengkap dan guru yang (kualitasnya) yang lebih baik, sehingga mampu menghasilkan lulusan yang lebih pintar dari sekolah non-unggulan.

Terus terang alasan ini sangat bisa diperdebatkan. Korelasi fasilitas lengkap dengan anak punya nilai baik tidak signifikan. Mengapa? Silakan lihat kenyataan. Dari 100% jam belajar, berapa banyak yang digunakan untuk menggunakan fasilitas lengkap, sebutlah laboratorium kimia, laboratorium biologi, laboratorium bahasa yang dimiliki sekolah unggulan. Berapa kali sebulan siswa bisa nikmati. Apalagi jika ada ratusan bahkan ribuan siswa mesti bergiliran menggunakan laboratorium tersebut. 

Secara faktual,  sekitar 95% waktu belajar di sekolah adalah ceramah para guru dengan fasilitas utama, papan tulis dan kapur, atau whiteboard dan spidol. Fasilitas utama tersebut terbukti juga disediakan di sekolah non-unggulan.

Hal yang lebih lucu, keyakinan orangtua  bahwa guru di sekolah favorit punya kualitas lebih baik. Padahal, tolong dicatat, tidak ada sistem penempatan guru PNS di Indonesia yang mengalokasikan guru-guru ke sekolah negeri berdasarkan kemampuan, berdasarkan prestasi.

Penentu kualitas Anak adalah Orangtua dan Keluarga

Bisa jadi, pendapat tentang guru itu hanya berdasarkan opini pribadi. Bahwa jika sekolah unggulan secara magis pasti mendapat guru terbaik, walau tanpa sistem seleksi yang bisa dipertanggungjawabkan. 

Dan yang bikin opini itu jadi absurb, karena Teori Ilmu Pendidikan memastikan bahwa kualitas keluarga adalah PENENTU UTAMA kualitas siswa (Bourdieu dan Passeron, 1977)

Jadi pasti bisa dibuktikan bahwa yang membedakan kualitas sekolah unggulan dan tidak unggulan, bukan kualitas guru dan kualitas fasilitas sekolah negeri. Yang membedakan kualitas sekolah unggulan adalah lingkungan keluarga dan kualitas orangtua pada anaknya.

Oleh karena itu bisa masuk akal jika perbedaan sekolah favorit dan non-favorit adalah soal gengsi, bahwa ada "darah biru pendidikan" jika masuk sekolah impian. Apalagi jika dibumbui bahwa lulusan sekolah favorit bisa jadi pejabat negara dan seterusnya.

Nah kalau "soal gengsi" yang ternyata ada di balik semua teriakan para orangtua pada sistem zonasi proses pendaftaran peserta didik baru, ya beginilah jadinya, Orangtua malah jadi contoh buruk. Menyedihkan. 

Pilih Homeschooling Komunitas

Ijinkan saya berbagi kebahagiaan, karena memilih jalur pendidikan yang membahagiakan anak-anak saya.  Kami tidak memiih jalur sekolah formal, dan tidak berminat berebut sekolah favorit atau tidak favorit.  Kami memilih  jalur pendidikan / sekolah nonformal, yang dikenal dengan homechooling komunitas. 

Buat yang belum tahu, sekolah nonformal homeschooling komunitas ini  dijamin Republik Indonesia mendapat ijazah resmi dan jaminan melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya. Mau sekolah formal bisa, mau ke universitas bisa. Bahkan putri saya, homeschooling sejak SD, SMP, SMA dan lanjut ke jenjang sarjana.  Saat imi berusia 20 tahun, dan baru saja mendapat beasiswa dari Kementerian untuk Magister bidang Teknologi di Tsinghua Unibersity Beijing.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun