Mohon tunggu...
Mercy
Mercy Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu dua anak remaja, penggiat homeschooling, berlatarbelakang Sarjana Komunikasi, Sarjana Hukum dan wartawan

Pengalaman manis tapi pahit, ikutan Fit and Proper Test di DPR.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Andaikan saya Mendikbud, Ini Prioritas dan Urgensi Pendidikan Indonesia (Bagian II)

12 Mei 2019   18:40 Diperbarui: 12 Mei 2019   19:02 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Satu bukti menohok yang dibeberkan Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia adalah tingkat Buta Huruf (yang selama ini bisa jadi ditutup-tutupi Kemdikbud) "Misalnya, 55 persen anak usia 15 tahun secara fungsional buta huruf, dibandingkan 14 persen di Vietnam," katanya di Bursa Efek Indonesia, Jakarta 2018.

Sebenarnya secara teoritis strategi reformasi pendidikan Indonesia sudah mencakup bidang-bidang yang tepat. Namun yang jadi masalah besar dan sangat besar adalah eksekusi di lapangan. Dan urusan eksekusi adalah tanggung jawab eksekutor, yakni para pejabat dan pegawai dalam lingkup pendidikan. 

Karena itu, mesti diseleksi ulang, pegawai bidang pendidikan termasuk para pegawai kependidikan dan non-pendidik. Pekerja yang tidak berkualitas, yang cuma bisa menjilat Asal Bapak Senang, yang pemalas cuma absen dan main games, dan yang sudah nyaman di comfort zone harus dibangunkan, diseleksi ulang. 

Bila mereka terlanjur diangkat jadi PNS, dipindahkan ke daerah 3 T (tertinggal, terdepan, terluar). Bila mereka protes, berbuat ulah, tinggal dipecat saja, daripada mereka cuma jadi parasit dalam dunia pendidikan Indonesia.


G. Melengkapi mekanisme pembiayaan untuk pendidikan sekolah di daerah 3 T (tertinggal, terdepan, terluar)

Urusan mengelola duit di negara ini --yang katanya jumlah penduduk "Beragama"

terbesar di dunia-- memang sangat parah. Korupsi, Korupsi, Korupsi ternyata dilakukan terus, dari kepala daerah sampai pegawai rendahan sekolah. 

Kalau sudah begini, mau tidak mau kita harus menggunakan teknologi, pembiayaan

Cashless bisa jadi satu solusi. Tentu saja kepastian hukum dan perlu semacam KPK Pendidikan di setiap propinsi harus segera dibentuk untuk mencegah korupsi dana pendidikan. Jangan seperti sekarang, duit korupsi sudah habis berfoya foya pejabat dan anak istrinya yang tidak punya malu. 

Bila perlu libatkan berbagai organisasi guru yang sudah mempunyai jaringan sampai ke kecamatan dan desa-desa. Sehingga Dinas Pendidikan tingkat kecamatan mendapat "sparing partner" dari organisasi guru yang bertanggung jawab.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun