Mohon tunggu...
Mercy
Mercy Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu dua anak remaja, penggiat homeschooling, berlatarbelakang Sarjana Komunikasi, Sarjana Hukum dan wartawan

Pengalaman manis tapi pahit, ikutan Fit and Proper Test di DPR.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Andaikan saya Mendikbud, Ini Prioritas dan Urgensi Pendidikan Indonesia (Bagian II)

12 Mei 2019   18:40 Diperbarui: 12 Mei 2019   19:02 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sebentar lagi Presiden baru dan Kabinet baru Indonesia hadir. Biasanya ganti Menteri, khususnya ganti Mendikbud, ganti semua kurikulum, tetapi kualitas pendidik dan outputnya yakni kualitas  lulusan Indonesia secara rata-rata tetap memble, menyedihkan, tak mampu bersaing dengan lulusan negara lain. 

Mengapa siklus itu terus menerus terjadi dalam lingkaran setan pendidikan Indonesia? Satu sudut pemikiran saya adalah karena keputusan Menteri Pendidikan. Bukan rahasia, karena Menteri itu jabatan politik, sehingga yang dipilih Presiden menjadi pembantunya, para menteri adalah orang politik, bukan orang yang profesional benar-benar menguasai masalah. Dalam hal ini, Menteri Pendidikan jadi monopoli NU atau Muhammadiyah. Padahal jika Presiden konsisten, semestinya tidak boleh begitu, karena pendidikan adalah lintas agama. Jangan campurkan masalah pendidikan dengan yang lain-lain.

Problema di atas, pasti sudah dibahas ribuan bahkan jutaan kali oleh pemerhati pendidikan. Namun di tahun 2019 ini, tetap hot untuk kita bahas. Dan andaikan saya --ibu rumah tangga, Ketua Asosiasi Pendidik Homeschooling, lulusan S2 yang peduli pada pendidikan, dan berani berkomitmen untuk mendidik anak-anak saya sendiri--  diberi kesempatan menjadi Menteri Pendidikan Indonesia, ini catatan penting yang pasti saya prioritaskan.

Point A, B, C sudah dimuat di Bagian I.  Berikut lanjutannya.

D. Realistis keunikan dan keterbatasan siswa, jangan menuntut lebih


Cara meningkatkan kualifikasi dan kualitas guru Indonesia semestinya komprehensif dan cerdas. Jangan sama ratakan setiap murid yang ada dari Sabang sampai Merauke. Setiap siswa itu unik dan punya bakat dan talenta berbeda. Jangan paksa semua murid seperti masuk ke pabrik pendidikan, dicetak persis. Mau bilang apa, kualitas jutaan siswa Indonesia versi saya minimal ada 5 kriteria

  1. Pendidikan di daerah 3 T, anak-anak yang berkualitas sesuai kondisi lingkungannya. Anak-anak miskin memang punya kesulitan sendiri untuk belajar seperti anak-anak yang orangtuanya mampu.

  2. Pendidikan untuk anak-anak berkualitas biasa silakan menempuh jalur negeri dan swasta untuk tingkatan SD, SMP, SMA, SMK Negeri

  3. Pendidikan untuk anak-anak kaya yang mampu dipersilakan bersekolah di lembaga elite dengan guru-guru berkualitas (atau juga berwarganegara) internasional

  4. Pendidikan untuk anak-anak cerdas yang tidak bisa dicover guru-guru sekolah negeri dan swasta biasa diberi akses akselerasi. 

  5. Pendidikan homeschooling, yakni keluarga yang berkomitmen mendidik anak-anaknya dengan sistem dan cara berkualitas

Jadi mari kita buka mata dan buka pikiran sehingga strategi dan dana yang akan digelontorkan tepat, sesuai sasaran dengan standar kualitas yang masuk akal. Jika sudah belasan manusia yang diangkat jadi Mendikbud ngotot tetap mempertahankan Ujian Nasional Berbasis Kompetensi, maka buatlah standar yang tepat.

Karena kenyataannya, masih ada sekolah terutama yang kurang berkualitas di kota apalagi di desa, menggunakan berbagai cara agar hasil UN sesuai kepentingannya. Karena kalau hasil nilai UN jelek, akan membahayakan posisi Kepala Dinas, Kepala Sekolah, dan seterusnya.

Demikian juga kita harus realistis memberi kesempatan kepada anak-anak berbakat, anak-anak cerdas, jangan dihambat untuk menikmati akselerasi (percepatan) menyelesaikan pendidikan formal (dan nonformal) kurang dari 6 tahun di SD, 3 tahun di SLTP, dan 3 tahun di SLTA. Apa hak Pegawai Dinas Pendidikan menghambat anak anak cerdas ini segera menyelesaikan pendidikannya? 

Badan Standar Nasional Pendidikan BSNP juga mesti direformasi. Buat apa rakyat membayar fasilitas untuk segerombolan profesor yang katanya mampu meningkatkan standar nasional pendidikan, tetapi kenyataannya  sampai sekarang, cuma macan kertas. Mereka tidak mampu membereskan kualitas pendidikan Indonesia. BSNP cuma pintar membuat peraturan, harus begini begitu, tetapi hasilnya jauh panggang dari api. 


E. Singkirkan Manusia Radikal yang ada di lingkaran Pendidikan 


Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menyampaikan hasil survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) pada 2018 terhadap 2.237 guru Muslim di 34 provinsi menunjukkan 6 dari 10 guru memiliki opini intoleransi terhadap pemeluk agama lain. 

JPPI menyayangkan langkah pemerintah yang tidak segera menindak salah satu penyebaran sikap intoleran yang salah satunya terjadi dalam konten UASBN. "Sayangnya, pihak pemerintah tidak menelusuri kasus ini dan menguak jaringan yang melingkupinya. Lagi-lagi, pemerintah cenderung membiarkan kasus-kasus intoleransi semacam ini, seperti tahun-tahun sebelumnya," ujarnya. 

Jadi ini yang akan saya lakukan sebagai Menteri Pendidikan Indonesia.

  1. Menyeleksi petugas / pegawai Kementerian dan Dinas Pendidikan yang terkena racun radikalisme.

  2. Memecat Kepala Sekolah dan guru (pns, honorer di sekolah swasta dan negeri) yang terbukti pernah menyebar paham radikalisme pada siswanya.

Itu tahap pertama. Perlu sekali shock therapy dan didukung perangkat hukum untuk "mengasingkan" para manusia yang selama ini makan dari "dunia pendidikan Indonesia" tetapi jadi pengkhianat. Keterlaluan karena mereka malah meracuni sikap mental muridnya.


F. Mayoritas pegawai bidang pendidikan dan tenaga pendidik  tidak berkualitas


Menyoroti kualitas pendidikan Indonesia, tidak bisa lepas dari kualitas para penyelenggara (baca pegawai dinas pendidikan dan kementerian pendidikan). 

Jika dikaitkan dengan rencana Misi Indonesia Emas 2045,  menurut Presiden Jokowi, pendidikan Indonesia harus menghasilkan SDM berkualitas. Presiden Jokowi memproyeksikan 2019-2024 adalah masa penguatan sumber daya manusia (SDM) yang berbasis inovasi pada teknologi sehingga dapat mendorong Indonesia lepas dari jebakan negara berpenghasilan menengah (middle income trap) dan menjadi negara maju berpendapatan tinggi.

Dan kunci utama  untuk keluar dari jebakan itu adalah pendidikan. Karena itu pengelola pendidikan juga harus berkualitas. Namun terus terang, kementerian Pendidikan "gagal" melayani segala unsur pendidikan.  Jangankan bandingkan dengan Singapura atau Malaysia, yang seingat saya tiga puluh tahun lalu belajar ke Indonesia, saat ini, kualitas pendidikan Indonesia buruk.

Bank Dunia bahkan mengeluarkan pernyataan di Jakarta bahwa reformasi pendidikan Indonesia dalam 15 tahun ini masih belum baik. Sekalipun akses pendidikan yang diperluas sudah cukup signifikan, tetapi kualitasnya masih rendah. 

Satu bukti menohok yang dibeberkan Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia adalah tingkat Buta Huruf (yang selama ini bisa jadi ditutup-tutupi Kemdikbud) "Misalnya, 55 persen anak usia 15 tahun secara fungsional buta huruf, dibandingkan 14 persen di Vietnam," katanya di Bursa Efek Indonesia, Jakarta 2018.

Sebenarnya secara teoritis strategi reformasi pendidikan Indonesia sudah mencakup bidang-bidang yang tepat. Namun yang jadi masalah besar dan sangat besar adalah eksekusi di lapangan. Dan urusan eksekusi adalah tanggung jawab eksekutor, yakni para pejabat dan pegawai dalam lingkup pendidikan. 

Karena itu, mesti diseleksi ulang, pegawai bidang pendidikan termasuk para pegawai kependidikan dan non-pendidik. Pekerja yang tidak berkualitas, yang cuma bisa menjilat Asal Bapak Senang, yang pemalas cuma absen dan main games, dan yang sudah nyaman di comfort zone harus dibangunkan, diseleksi ulang. 

Bila mereka terlanjur diangkat jadi PNS, dipindahkan ke daerah 3 T (tertinggal, terdepan, terluar). Bila mereka protes, berbuat ulah, tinggal dipecat saja, daripada mereka cuma jadi parasit dalam dunia pendidikan Indonesia.


G. Melengkapi mekanisme pembiayaan untuk pendidikan sekolah di daerah 3 T (tertinggal, terdepan, terluar)

Urusan mengelola duit di negara ini --yang katanya jumlah penduduk "Beragama"

terbesar di dunia-- memang sangat parah. Korupsi, Korupsi, Korupsi ternyata dilakukan terus, dari kepala daerah sampai pegawai rendahan sekolah. 

Kalau sudah begini, mau tidak mau kita harus menggunakan teknologi, pembiayaan

Cashless bisa jadi satu solusi. Tentu saja kepastian hukum dan perlu semacam KPK Pendidikan di setiap propinsi harus segera dibentuk untuk mencegah korupsi dana pendidikan. Jangan seperti sekarang, duit korupsi sudah habis berfoya foya pejabat dan anak istrinya yang tidak punya malu. 

Bila perlu libatkan berbagai organisasi guru yang sudah mempunyai jaringan sampai ke kecamatan dan desa-desa. Sehingga Dinas Pendidikan tingkat kecamatan mendapat "sparing partner" dari organisasi guru yang bertanggung jawab.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun