Mohon tunggu...
Mercy
Mercy Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu dua anak remaja, penggiat homeschooling, berlatarbelakang Sarjana Komunikasi, Sarjana Hukum dan wartawan

Pengalaman manis tapi pahit, ikutan Fit and Proper Test di DPR.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Fakta Baru Melacak Jejak Sianida (Di kopi Mirna)

3 Maret 2016   19:08 Diperbarui: 17 Oktober 2016   06:42 1979
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karena itulah, Dr Budiawan dengan bersemangat membagikan visinya agar masyarakat yang mengerti bahan beracun berbahaya B3 harus segera dibuat Undang-Undang  Bahan Beracun Berbahaya (UU B3) supaya lebih tegas mengikat rakyat Indonesia, terutama kalangan yang bersentuhan agar lebih hati-hati dan bertanggungjawab. 

Saat ini baru ada Peraturan Pemerintah no 74 tahun 2001 yang pengelolaan bahan berbahaya dan beracun (B3) dan UU No.32 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Perangkat hukum itu sama sekali belum mengatur dan membangun integrasi antar kementerian. Kementerian Pertanian terbatas hanya mengawasi penggunaan dan penjualbelian pestisida.  BPOM mengawasi dan mengatur regulasi untuk bahan kosmetik dan makanan. Sementara Kementerian Perindustrian berkutat pada penggunaan B3 untuk industri pengguna bahan kimia.

Standar yang paling dasar saja tidak seragam.  Simbol untuk menandakan label bahan beracun berbahaya, gambar dan warnanya berbeda beda.  Ada yang gambar tekngkorak, ada tanda silang, warna kuning, merah, atau hitam.  Bahkan di beberapa kemasan luar, cuma  cuma ditulis kode unsur kimia saja. Masalahnya jika ada orang yang sengaja atau tidak, mengkonsumsi atau memakai  bahan beracun karena tidak tahu kalau itu termasuk B3 karena kodenya sangat beragam.   

Petisi untuk UU B3

Dr Budiawan yang sudah belajar B3 ke berbagai negara mengaku Indonesia terlalu lalai dalam memperlakukan B3. Bahkan Dr Budi sempat menyinggung, kasus bom Bali yang kental dekat unsur rakitan bom dari unsur bahan kimia berbahaya. "Justru Amerika Serikat, Jerman, dan negara asing yang belajar dari kasus Bom Bali. Pemerintah mereka makin ketat mengawasi peredaran dan penggunaan B3. Sementara Indonesia masih belum terlalu serius menangani peredaran B3."

Sebenarnya sudah sejak 5 tahun lalu, tim-nya sudah diminta membuat berbagai telaah B3 sebagai bahan masukan sebagai tenaga ahli racun dalam rangka penggodokan dan pembuatan UU B3. Namun ternyata ganti DPR ganti pula kepentingan dan minat anggotanya. Alhasil sampai hari ini Indonesia tidak punya  Undang Undang Bahan Beracun Berbahaya UU-B3. 

B3 adalah zat atau bahan-bahan lain yang dapat membahayakan kesehatan atau kelangsungan hidup manusia, makhluk lain, dan atau lingkungan hidup pada umumnya. Karena sifat-sifatnya itu, bahan berbahaya dan beracun serta limbahnya memerlukan penanganan yang khusus.

Karena itu, sudah waktunya kita bersama-sama membuat petisi untuk meminta DPR segera menyelesaikan Undang Undang Bahan Beracun Berbahaya untuk mendapat perhatian lebih seksama dari semua pihak yang berkepentingan.

Bahwa per Agustus 2012, Gerakan Anti Penyalahgunaan Pengelolaan B3 terdiri dari Lembaga ICEL, KPBB, WALHI, GREEN PEACE, BALIFOKUS, GREEN CLUB, Indonesian Lead Information Center, Indonesia’s Toxics-Free Network sempat membuat surat terbuka untuk mendesak DPR dan Pemerintah Pusat segera membuat regulasi yang mengikat semua pihak.

Adapun isi surat terbuka itu mengingatkan agar Pemerintah dan instansi terkait untuk segera merealisasikan mandat PP No. 74 tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun untuk membentuk Komite Nasional B3 yang terdiri dari wakil semua stakeholders. Komite Nasional B3 ini harus terlibat dalam penyusunan RPP dan RUU terkait Bahan Kimia dan B3. 

Indonesia telah meratifikasi berbagai konvensi dan perjanjian lingkungan multi-lateral seperti Konvensi Basel, Konvensi Stockholm, SAICM dan dalam waktu dekat Konvensi Rotterdam serta Konvensi Merkuri yang menjadi dasar hubungan pengelolaan B3 dan bahan kimia Indonesia dengan negara lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun