Mohon tunggu...
eko supriyanto
eko supriyanto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Perindu Malam

Belajar Merangkai Kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Balik Tirai Merah

16 September 2018   08:57 Diperbarui: 16 September 2018   10:36 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Satu jam menuju malam pergantian tahun. Dentuman irama house music saling bersahutan, menggelegar, memekakkan telinga. Denyut nadi kehidupan malam kian bergejolak. Tepat didepan pintu masuk sebuah kafe dikawasan lokalisai 'dadap cheng-in', langkah kaki Angga harus  terhenti. seorang wanita berpakaian minim telah menghalangi  geraknya.

"Boleh minta rokoknya abang ganteng ?" sapa wanita itu menggoda. Berlenggok-lenggok, sesekali mengibaskan rambutnya yang ikal.

Angga merogoh saku jaket hitam yang dikenakan dan  meraih sekotak bungkus rokok yang bentuknya sudah tidak simetris. Isinya, sisa satu batang.

"Ini ... ambil aja mbak!" ujarnya.

Tempat itu terasa asing. Ia sama sekali tak mememiliki pengalaman tentang dunia malam. Hanya sekelumit cerita dari Pak Jono-- atasannya ditempat bekerja.

Angga melangkah masuk dengan tak percaya diri, lalu menuju meja kosong berbentuk lingkaran yang terletak disudut kafe. Di meja sebelah kanannya, seorang pria gempal berkumis tebal melintang bersenandung dan meracau tak karuan dengan di temani dua orang gadis belia usia belasan, disisi kanan dan kirinya. Sepertinya pria itu sudah hilang kesadaran.

"Mau pesan apa abangku, sayang?" tanya seorang wanita. "Bir?... Rokok? ... Atau ... ?"

Angga terkejut, lalu menoleh ke asal suara.

"Lah, ini kan mbak yang tadi." Bisiknya dalam hati.

Wanita paruh baya itu masih belum menyerah, terus menggoda. Ia melangkah mendekat, lalu merapatkan tubuhnya, hingga tak berjarak. Sebelum akhirnya, Ia melabuhkan dirinya di pangkuan pria bertubuh kurus itu.

"kok tegang amat sih, bang? baru ya  ... kesini?" jemarinya membelai lembut wajah Angga.

Angga segera membenarkan posisi duduk dan berusaha melenturkan beberapa bagian tubuh. Pikirnya, wanita dipangkuan itu pasti merasakan kedua kakinya sedang bergetar.

Pengunjung kafe malam itu cukup ramai, sebagiannya sudah  tenggelam, tertelan hiruk-pikuk kehidupan malam. Alunan dangdut koplo yang membahana, Aroma minuman keras yang menusuk hidung dan kerlip lampu disco yang menari ditengah ruangan, melebur jadi satu. Menyeruak, kesegenap penjuru ruangan. Sedangkan Angga, masih belum percaya dirinya sedang berada ditempat asing itu.

"Abang kesini mau minum, karaoke-an, apa mau ...?" bibirnya berbisik mendekat ke telinga Angga,  lalu matanya melirik ke sebuah lorong yang terhalang tirai merah. Ia yakin, pria berkulit terang itu pasti paham maksudnya.

"Disini aturannya harus beli bir dulu bang, minimal lima botol" perlahan turun dari pangkuan.

"Kalau mau ditemenin, seratus. Kalau mau begituan, .... Tergantung bang, paling murah tiga ratus, tapi sewa kamarnya lima puluh. Kalau buat abang, eneng kasih diskon deh..." mendekap lengan manja.

Berderet rayuan pamungkas meluncur deras dari bibir tebal terbalut lipstik berwarna maroon itu. Rayuan yang telah membuat ... entah, berapa banyak pria yang telah takluk dalam pelukannya.

Tak selang berapa lama, kedua insan yang bebeda jenis kelamin tersebut semakin larut dalam perbincangan hangat, dengan ditemani beberapa botol bir yang bertengger diatas meja.

Sangat berpengalaman.

Tepat tengah malam, bersamaan dengan bergantinya tahun. Dari kejauhan, ribuan kembang api sedang berdansa di atas langit kota Tangerang. Kemeriahannya terbawa hingga kedalam ruangan.

Angga mulai terhanyut, terbawa suasan. Di bawah naungan lampu temaram dan kemerlap lampu disco, sesekali jemarinya menyeluk nakal, menelusuri keelokan bagian tubuh kupu-kupu malam. Sepertinya, ia mulai kehilangan kesadaran.  

Botol bir keempat. Ia tersentak dari kelakakarnya, sesosok gadis belia telah mencuri perhatian. Gadis itu baru saja menyembul dari balik tirai lorong, dengan di ikuti seorang pria sipit yang berpenampilan perlente. Semburat raut wajah pria itu begitu sumringah. Sepertinya, syahwat telah terlampiaskan.

Angga segera menghampiri. Paras cantik itu sedang bediri bersandar memainkan ponsel di dekat pintu masuk kafe.

"Hai ... !" sapa Angga, membuka pembicaraan.

Gadis berparas cantik itu tak terlalu menggubris, bahkan terkesan dingin. Sepertinya, Ia sudah sangat  berpengalaman menghadapi perangai para pria hidung belang dengan modal terbatas, khususnya para remaja.

"Em ... , kamu yang waktu itu diseret-seret sama bapak-bapak itu kan?" tanya Angga.

Gadis itu melirik kearah Angga, lalu kembali fokus bermain ponsel yang ada dalam genggamannya.

"Kok kamu tau? Emang kamu liat?" gadis itu bertanya balik.

Angga mengangguk. "Saya pas kebetulan lewat waktu itu. Oh iya, nama saya Angga. Nama kamu siapa?" menjulurkan tangannya.

"...Bella."

"Oh, ... itu tadi pacar kamu?" wajahnya menoleh ke arah pria yang berdiri didepan meja kasir.

Gadis itu mengernyitkan dahi, lalu memiringkan kepalanya. Sesaat, Ia memandangi raut wajah lawan bicaranya yang terlihat begitu serius.

"Eh ... , kamu itu kuper amat sih! Di sini, mana ada yang namanya pacar, udah ah." Gadis itu mengelengkan kepalanya terheran-heran, diiringi senyum menyimpul di sudut bibirnya.

Perbincangan terus berlanjut, Angga benar-benar dalam pengaruh alkohol. Obrolannya terasa begitu mengalir, kata demi kata; kalimat demi kalimat, terangkai begitu mudah.

"Eh, Bella ... Elu jangan maruk dong!"

tiba-tiba seorang wanita memotong percakapan mereka. Bella menoleh, meliriknya dengan tatapan sinis.

"Dia, udah punya gua! " jari telunjuk wanita itu menempel di dada Angga.

"Lah, siapa yang maruk ceu? Dia-nya aja yang negor saya duluan!" Bella ketus.

"Elu mah enak Bel, udah dapet banyak pelanggan! Lah, gua? ... Dari sore penglaris aja kagak ada!" wanita itu kembali menggerutu.

"lah, emang saya salah apa, ceu? Kok, marah-marahnya sama saya?" timpal Bella, tak mau kalah.

"Udah lah, Bel! Males gua ngomong sama, elu!"

Angga hanya mematung dengan bibir yang menganga, memperhatikan kedua kupu-kupu malam itu sedang beradu mulut.

"Ayo bang, kita lanjutin lagi minumnya!" wanitu itu menarik pergelangan tangan Angga, sambil menggerutu.

Bella adalah primadona baru ditempat itu. Para pelanggan setia kafe pasti kenal siapa Bella, bahkan banyak dari mereka yang tak segan-segan mengantri hanya demi mendapatkan service gadis cantik itu. Dan yang pasti, mereka harus bersiap merogoh kocek lebih dalam.

Botol kelima baru saja dibuka, masih dimeja yang sama. Tak nampak lagi keceriaan pada raut wajah Angga. Ia hanya mampu memandangi Bella dari kejauhan. Wajah gadis itu telah mengingatkannya akan seseorang; seseorang yang pernah mengisi ruang dihatinya; seseorang yang pernah mengisi hari-harinya. Namun, seseorang itu kini telah pergi berpaling dari hidupnya. Seseorang itu lebih memilih menjadi istri simpanannya, Pak Jono!

Setengah gelas bir terakhir. Angga bergegas menuju kasir dan meninggalkan wanita yang sedari tadi menemaninya.

"Berapa semuanya mbak?" Ia menunjuk ke arah meja di sudut ruangan.

" ... total semuanya: Tiga ratus lima puluh ribu, Bang." Jawab penjaga kasir,sembari menyodorkan lembaran bon.

Angga segera merogoh saku belakang celananya. Ia keluarkan beberapa lembar uang pecahan seratus ribu dari dalam dompetnya.

"oh iya mbak, boleh minjam pulpenya?"

Ia menulis sesuatu di balik lembaran bon tersebut, Lalu membayarnya

" ini empat ratus ribu, ... kembaliannya ambil aja, mbak!".

Angga kembali menemui wanita yg telah menemaninya minum sedari tadi; Masih belum beranjak; masih dimeja yang sama. Di jari tangan kanannya terselip sebatang rokok yang menyala. Wajahnya terlihat muram, sorot matanya hampa, menyiratkan kegelisahan yang mendalam. Sepertinya Ia mulai menyadari, bahwa roda kehidupan memang benar-benar berputar.

"ini, buat mbak. Terima kasih yah mbak, udah nemenin." Ia menyodorkan beberapa lembar uang yang telah terlipat kecil kedalam genggaman tangan wanita tersebut.

Angga mengamati sekeliling dan mendapati Bella sedang berjalan kembali menuju lorong, namun kali ini ditemani oleh pria yang berbeda.

"Bel, bella...!" Angga segera menghampiri. Ia memberikan lembaran bon yang telah terlipat rapi, yang sudah ia tuliskan pesan.

"Ini, apaan?" tanya Bella bingung, lalu bergegas menyusul pelanggannya tadi.

Pagi pun menjelang, denyut nadi kehidupan malam kian melemah. Satu langkah sebelum memasuki lorong, Bella membaca pesan yang telah diterimanya. Beberapa detik kemudian, Ia memutar tubuh mungilnya dan menantap pria yang masih berdiri mematung itu. Bella melempar senyum yang tersimpul, lalu Ia menghilang di balik tirai merah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun