Mohon tunggu...
Ibnu Hajar
Ibnu Hajar Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Menanti Malaikat Kecil

10 April 2019   10:13 Diperbarui: 10 April 2019   10:31 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Senja mulai beranjak menuju peraduannya. Abdullah menikmati senja dari balkon bersama istrinya. Cemilan dan secangkir the hangat menjadi teman saat ia menikmati senja ditemani istri tercinta. Siang tadi, ia baru saja kembali setelah sebulan terpisah karena tempat kerja. Ia rindu menikmati teduhnya senja bersama. 

Sebulan bukan waktu yang singkat baginya bepisah dengan wanita belahan jiwanya. Sebulan terasa berat baginya terpisah jarak dan ruang dengan sang istri yang sedang mengandung anak pertama mereka. Senyum bahagia tersuguh dalam setiap lafas kata yang mereka ucap.

Kebahagiaan Abdullah tak terhingga. Bahagia melepas rindu dengan istri tersinta. Bahagia menanti kelahiran putra pertama mereka. Iya, hasil pemeriksaan USG menyatakan mereka akan dikaruniahi seorang putra. Penambah kesempurnaan keluarga yang diimpikan setiap pasangan. Seorang putra yang kelak menghias hari-harinya dengan keceriaan. Ia tak sabar menanti kelahiran putra tercinta. Kelahiran yang tinggal menghitung hari. Ia pasangan muda yang baru setahun menikah.

Di benaknya terbayang tatkala ia akan menimang pangeran kecilnya nanti. Menatap senyum dari wajah putranya. Mengusap pipinya yang lembut. Menyentuh jemarinya yang mungil. Ia sungguh bahagia. Sembari mengelus perut istrinya ditatapnya wajah sang istri dengan penuh kasih.

"Alhamdullah. Sebentar lagi kita akan menjadi sepasang ayah dan ibu. Terima kasih, umi selalu tegar meski sering abi tinggal. Terima kasih atas perjuangan umi menjaga anak kita." Tutur Abdullah sambil mengecup kening istrinya. Diresapinya dengan penuh cinta.

Hidupnya diliputi kebahagiaan yang sangat.

***

"Aw." Istrinya meringis menarik nafas sembari memegang belakang pinggangnya.

"Umi kenapa?" Sigap ia rangkul istrinya yang meringis menahan sakit. Khayalnya buyar. Diusapnya kening istrinya yang dibasahi peluh dengan penuh cemas.

"Sakit? Perut umi sakit?" Wajah Abdullah terlihat cemas menatap istrinya yang meringis. Seolah ia tahu istrinya menahan sakit yang sangat.

Istrinya hanya mengangguk sambil menarik nafas. Kedua tangannya diletakkan dipinggang. Abdullah mulai cemas. Ia khawatir dengan keadaan istrinya. Ia ingat, prediksi kelahiran anaknya masih satu pecan lagi. Itu ia dengar dari istrinya dua hari lalu saat ia menelepon ke rumah. Saat itu istrinya baru saja selesai konsultasi dengan dokter kandungannya. Dokter Elis yang selalu ramah menerima mereka saat konsultasi. Ia takut kalau-kalau terjadi sesuatu yang tidak baik pada istrinya.

Segera, Abdullah memapah istrinya masuk. Secepat kilat menggapai kunci mobil lalu memapah istrinya ke bawah. Tak ada bawaan lain. Ia hanya fokus segera membawa istrinya ke rumah sakit. Secepat mungkin ia berharap sampai dan mendapatkan pertolongan dokter. Ia tidak ingn terjadi hal tidak baik pada istri dan calon bayinya.

Mobil ia kemudikan dengan penuh cemas. Sesekali ia menoleh menatap istrinya yang meringis. Konsetrasi ia tetap jaga meski benaknya berkecamuk. Ia ngebut takut mengalami kecelakaan. Lambat takut terlambat. Sekuat tenaga ia jaga konsentrasinya. Ia pacu kendaraanya penuh cemas.

Di samping, istrinya semakin gelisah. Duduknya tidak tenang. Tak henti istrinya menarik nafas. Sambil memegang perut, tangan kirinya diletakkan di pinggang. Keringat keluar membasahi keningnya seperti butiran manik-manik. Istrinya semakin gelisah. Tarikan dan hembusan nafasnya berpacu seperti balapan. Sambil meringis ia mencoba tetap kuat.

Abdullah semakin gelisah. Wajahnya sendu menatap istrinya yang kesakitan. Ia ulurkan tangan mengusap kepala istrinya. Ian berharap, sentuhannya meberi kekuatan bagi istrinya. Ia menjaga fokus pandangnya. Ia tidak lupa tujuannya tiba di rumah sakit dengan selamat. Istri dan anaknya selamat saat kelahiran nanti.

Hatinya berkecamuk. Jalan di depan macet. Tumpukan kendaraan terlihat cukup panjang. Ia takut terlambat. Ia tidak siap jika sang istri harus melahirkan di mobil. Ia tidak yakin bisa menghadapi jika itu terjadi. Klakson ia bunyikan berentetan. Kaca jendela ia turunkan. Kepala ia keluarkan sambil memandang ke depan. Ia gelisah. Emosi marah seolah hendak menguasainya. Ia sayang istrinya.

"Umi yang sabar ya. Istighfar. Kita serahkan semua kepada Allah. Sebentar lagi kita tiba. Semoga kemacetannya cepat terutrai." Ia coba menenangkan istrinya.

Istrinya hanya menarik nafas sambil menatap Abdullah. Sekuat tenaga ia coba menahan sakit. Tatap manatanya seolah berkata, "Iya abi. Umi kuat. Umi bisa". Bibirnya terlihat komat kamit mengucap istighfar. Seolah Aisyah mencoba menenangkan Abdullah suaminya agar tetap fokus dan tidak menjadi marah menyalahkan macetnya jalan.

Kalimat dzikir mengiring perjalanan mereka. Bibir pasangan muda ini dibasahi kalimat tasbih, tahmid, dan takbir. Mereka berusaha menegarkan diri. Mereka iklaskan segalanya atas kehendak Allah. Lahaula walaquwata illabillah. Mereka teguhkan iman atas pertolongan Allah.

Alhamdulillah pertolongan Allah itu nyata. Dari belakang, seorang bapak dengan motornya mencoba membuka jalan. Dihampirinya kendaraan di depan sambil memberi tanda. Terlihat oleh mata Abdullah si bapak menyapa mereka dari luar jendela meminta menepi membuka jalan. Perlahan, jalan mulai terbuka. Mobil-mobil mulai menepi mebuka jalan.

Abdullah menginjak pedal gas memacu mobilnya. Hatinya sedikit lega. Perjalananya tidak lagi terhambat. Seoarang bapak dikirim Allah menolongnya. Orang yang tidak ia kenali wajahnya. "Alhamadulillah. Terima kasih ya Allah. Pertolonganmu memang nyata." Gumamnya dalam hati. Ia ingin berterima kasih saat tiba di rumah sakit nanti.

***

Abdullah memarkir mobilnya di depan lobi kedatangan rumah sakit. Dengan sigap ia memapah istrinya dari mobil. Petugas jaga tak kalah sigap. Dengan kursi roda, Aisyah dibawa ke ruang tindakan.

Sejenak Abdullah memalingkan badan dari istrinya. Ia ingin mengucap terima kasih kepada bapak yang tadi menolongnya. Menolong membuka jalan untuknya. Matanya mencari. Dua tiga kali, ia mencoba namun tak dilihatnya lagi si bapak tadi. Dalam hati, ia berdoa semoga Allah membalas pahala kepada bapak tadi. Ia titipkan terima kasihnya kepada Allah. Batinnya kagum dengan keihlasan si bapak. Membantu tanpa harus tahu kepada siapa serta tanpa pamrih kepada sesama.

Abdullah menyusul istrinya. Alhamdulillah tim dokter sudah memberi tindakan. Hatinya semakin lega. Ditatapnya wajah Aisyah dengan penuh kasih yang dibalas sama.

"Bagaimana istri saya dok?" Tanya Abdullah.

"Oh iya. Istri Anda kondisinya baik. Insha Allah sebentar lagi melahirkan. Sudah pembukaan empat. Ruang bersalin sedang dipersiapkan." Jawab dokter sambil tersenyum.

"Alhamdulliah. Boleh saya mendapingi istri saya nanti dok?"

"Silakan. Kehadiran bapak saat proses persalinan justru lebih baik. Kehadiran bapak akan menjadi tambahan kekuatan bagi ibu."

Abdullah dan Aisyah saling tatap. Senyum bahagia menghias wajah mereka. Kebahagiaan melingkupi mereka. Abdullah mengecup kening sambil memegang tangan Aisyah. Sebentar lagi, malaikat yang mereka nantikan akan lahir kedunia. Malaikat yang akan menjadi penyejuk pandang mata mereka. Malaikat yang akan menambah bahagia rumah tangga mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun