Mohon tunggu...
Ibnu Arsib
Ibnu Arsib Mohon Tunggu... Mahasiswa - Bukan siapa-siapa, hanya manusia biasa

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bukan Sarjana Kardus

29 Juli 2022   20:02 Diperbarui: 29 Juli 2022   20:07 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah aku tamat SMA empat tahun yang lalu, kebanggaan pertama orangtuaku adalah aku berhasil masuk di salah satu kampus terbaik yang ada di Medan. 

Kebanggaan orang tuaku selanjutnya adalah setelah menyelesaikan kuliah tepat waktu, kurang lebih sedikitlah. 

Sekarang, aku telah mempunyai gelar sarjana. Namaku bertambah tiga huruf jika gelar yang kudapatkan itu disingkat.

"Hera..." Mama memanggilku sambil mengetuk pintu kamar. Dengan sejenak aku berhenti bermesraan dengan laptopku, "Iya. Ada apa, Mam?"

"Sebentar, sayang. Papamu mau ngomong."


"Iya, Mam." Kulihat sudut kanan bagian bawah layar laptopku. "Oh, saatnya makan malam," pikirku.

Papa sangat sibuk dengan pekerjaannya. Papa pergi pagi-pagi buta dan pulang menjelang matahari pulang kepangkuan-Nya.

Sudah begitu sejak aku kecil hingga kini. Hanya sedikit waktu yang tersisa untuk aku dan dua Kakakku yang sekarang sudah menikah.

Kuletakkan laptop kesayanganku, laptop yang selalu setia menemaniku di kala sepi dan selalu bersedia menampung isi pikiran serta curhatan hati. 

Kuraih Hp androidku dari meja belajar. Perlahan-lahan kubuka pesan-pesan yang masuk di WA. Semuanya biasa saja, hanya chattingan dari teman-teman.

Tiba-tiba saja. Ah, sebenarnya tidak ada yang tiba-tiba. Jikalau begitu, kebetulan saja. 

Ah, kebetulan itu juga sebenarnya tidak ada. Semuanya terjadi karena ada sebab musababnya. Sudah menjadi hukum alam, akibat berinduk pada sebab.

Hp berbunyi setelah paket data internetnya kuhidupkan. Satu harian data internetnya sengaja kumatikan. Aku tidak ingin diganggu hari itu. Malam itu, bukan hanya bunyi chatt WA yang masuk. Di layar atas, langsung muncul pemberitahuan bahwa ada balasan email. 

Perlahan dengan pasti, aku membuka pemberitahuan itu. Aplikasi Gmail di Hpku langsung terbuka. Pelan dengan penuh perhatian, aku pun mulai membacanya.

"Tok...tok...tok. Kreekkk..." suara pintu kamarku dibuka.


"Hera..., tunggu apalagi sayang. Papamu mau ngomong sebentar. Papamu gak bisa lama menunggu. Sebentar lagi Papamu mau pergi lagi." Mama mengalihkan perhatianku dari isi email itu. Hanya baru beberapa kata saja yang sempat menggetarkan bibir dan hatiku.

"Iya, Ma..."


"Kamu lagi ngapain sih?" Mama mendekatiku dan dengan lembut memegang tanganku.

"Bentar ya, Ma..." aku minta waktu barang sejenak.

Permintaanku tidak dipenuhi. Dengan lemah lembut sambil menarik tanganku, Mama membawaku keluar. Aku tidak punya daya untuk menolaknya. Hp hanya kubiarkan dalam genggaman sebelah tangan, sedangkan tanganku sebelah lagi sedang erat dalam genggaman Mama.

Aku dan Mama menuruni anak tangga sambil tersenyum manis. Kulihat Papa sudah berpakaian rapi sedang menungguku, dan sebentar lagi akan keluar rumah karena ada urusan pekerjaan yang mendadak. Aku tidak tahu semua apa pekerjaan Papa. 

Tapi aku tahu bahwa Papa bertemu orang-orang besar dan pejabat-pejabat. Hal itu aku ketahui bukan karena pernah ikut bersama Papa, tapi dari foto-foto yang terpajang rapi di dalam rumah.

"Ada apa sih, Pa...?" tanyaku sambil duduk manja di samping Papa, "nampaknya penting benget."

"Langsung Papa katakan saja ya, gak usah bertele-tele lagi," ucap Papa.

Aku hanya menaik-turunkan kepala sambil menyunggingkan bibir dengan manis dan mata manja sebagaimana seorang anak manja pada orang tuanya. 

Di sini perlu kutegaskan bahwa aku bukanlah anak Manja. Tapi, aku anak Mama dan Papa.

"Hera, sayang. Kamu 'kan sudah punya gelar sarjana. Jadi, Papa ingin kamu bekerja di lembaga instansi pemerintahan, menjadi PNS. Papa sudah urus semuanya untuk memuluskan jalanmu. Dengan cepat nanti kamu jadi atasan. 

Papa udah hubungi teman-teman Papa yang saat ini menjabat di jabatan tinggi tempatmu akan bekerja jika kamu mau."

Aku tidak langsung memotong pembicaraan Papa. Kubiarkan saja Papa memuntahkan semuanya. Walau sebenarnya aku sudah tahu kemana ujung pembicaraan itu. 

Karena, sewaktu masih kuliah, Papa pernah mengungkap hal demikian. Dulu, harapan itu pernah disampaikan pada kedua Kakakku, tapi demi mendampingi Papa dalam pekerjaannya, Papa membutuhkan satu tenaga yang ditempatkan di Jakarta dan satu lagi di daerah Indonesia Timur.

"Bagaimana menurutmu, sayang?"

Aku berpikir, malam itu lah waktu yang tepat untuk menyampaikan apa yang menjadi cita-cita atau sesuatu yang ingin kugapai dalam hidupku selama ini. 

Cita-cita atau sesuatu itu dapat kukerjakan tanpa merasa ada beban dan sesuai hobiku. Bagaimana nanti keberhasilannya, itu tidaklah menjadi permasalahan. Setidaknya aku sudah berjuang untuk mencapai apa yang menjadi cita-cita yang datang dari dalam diriku sendiri.

Papa begitu berang mendengar apa yang aku sampaikan. Secara halus aku menolak apa yang diinginkan Papa, sebagaimana yang ia katakan. 

Menanggapi jawabanku, ia terkadang mengeluarkan suara keras yang belum pernah aku dengar sebelumnya. Wajahnya tentu berubah jadi merah. Mama hanya diam saja, tidak bisa menjadi pengacaraku. Dengan diamnya Mama, itu berarti Mama ikut mendukung apa yang diinginkan Papa.

"Untuk apa kamu jadi penulis? Dapat apa dari menulis? Sampai sekarang satu buku pun belum bisa kamu ciptakan. 

Tulisan-tulisanmu di koran itu hanya cerpen-cerpen. Apa manfaatnya cerpen itu. Apa kata teman-teman Papa nanti, sedangkan anak mereka jadi PNS?" Papa diam sejenak, "untuk apa juga kamu membuka toko buku, buat usaha kafe? Apa kamu kekurangan uang?"

Aku pun menutup telinga tanpa kedua tanganku. Cita-cita Papa bukanlah cita-citaku. Keinginan Papa supaya jadi itu dan jadi ini, supaya terkenal atau mendapatkan perkejaan yang teratas walau dengan jalan pintas seperti menyuap, aku tetap menolaknya.

Karena tidak ada titik temu, akhirnya Papa pun meninggalkanku dalam posisi duduk tertunduk. Mama mengikuti Papa menuju pintu. Mataku sedikit berkaca-kaca walau sebentar. 

Aku tahu mencapai cita-cita pasti melewati ujian atau pun rintangan. Aku yakin sekali dengan suatu perkataan; "Siapa yang bersungguh-sungguh, maka dia akan mendapatkannya."

Dalam hati aku menguatkan, "Aku bukan sarjana kardus. Yang belajarnya hanya di kelas, tujuan selembar kertas, gelar untuk popularitas atau status, mencari kerja yang teratas, jika tak dapat maka buat jalan pintas."

Hp yang sedari tadi dalam genggamanku berbunyi lagi. Ada pesan masuk dari WA. Aku tarik layar Hp kebawah melihat chatt dari siapa. Ternyata dari seseorang yang sering memberiku motivasi.

Membaca chatnya, aku pun teringat pada pesan yang masuk di email yang sempat tertunda kubaca. Dengan cepat, "klik", perlahan aku membacanya dalam keadaan kacau. Lebih tepatnya dikacaukan.

Dalam kesendirian saat membaca pesan yang masuk di email itu, aku tersenyum. Aku berterima kasih pada Sang Maha Penentu. 

Naskah novelku, yang kukirim tiga bulan yang lalu ke salah satu penerbit besar di Indonesia ini, akhirnya diterima. Dalam pemberitahuan itu, pihak penerbit akan mengirimkan surat kontrak atau surat perjanjian penerbitan.

Cita-cita pertamaku menjadi penulis telah mendapat titik terang. Tinggal aku membuka toko buku dan kafe. Rencananya toko buku dan kafeku ditempat yang sama, dan juga aku akan menyediakan bacaan gratis sambil menikmati minuman. 

Yang hendak membeli buku silahkan membeli buku, yang hanya membaca buku saja, tetap diperbolehkan. 

Tidak ada masalah. Yang menjadi permasalahan adalah jika kita sebagai pemuda atau anak bangsa tidak mau membaca. Dan cita-citaku itu sederhana saja.[]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun