(Hemm itu cuplikan percakapanmu dengan kekasihmu yang selalu ada di benakku. Tutur bahasamu yang merindukan)
*****
Pagi hadir kembali. Entah juga sudah berapa pagi yang datang. Di sini menjadi sepi. Sepi tanpa suaramu, tanpa lekinganmu, tanpa keindahanmu. Sekali lagi, "masih Bolehkah di sini merindu?"
Ijinkanlah aku sebuah sangkar bambu merindu dirimu. Aku rindu untuk kau tempati. Kau ku basahi air hujan dengan pintu yang sengaja aku lebarkan? Kau yang ku ajak berjalan-jalan di stasiun kereta, padahal kau tidak suka stasiun kereta. Kau ku paksa menengadah untuk menyukai senja dan kau benci itu karena malam akan segera tiba dan kau tidak bisa lagi beraksi. Bukan aku yang melepaskanmu di laut, tapi wanita itu. Wanita-pemilik-kita. Majikan kita. Dan aku masih melekat jelas Monyet dan Kalajengking, dimana tadinya itu musuh-musuhmu dan mereka jadi sahabatmu. Karena Kau, Monyet dan Kalajengking memang hewan peliharaan wanita itu. Sedangkan aku hanya Sebuah sangkar tempat Kau-Burung Beo berlindung dan beristirahat.
Ijinakan aku menyapamu Beo...Tak usah khawatir, lukisan lelaki yang mencintai hujan telah diberikan orang lain oleh majikan kita. Jadi kau tidak perlu cemburu lagi...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H