Mohon tunggu...
ian sancin
ian sancin Mohon Tunggu... Novelis - Seniman

Penulis Novel Sejarah Yin Galema.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

MENGGALORKAN TRADISI ADAT BEGAWAI URANG BELITONG (Bag.4)

22 Januari 2025   20:00 Diperbarui: 22 Januari 2025   19:07 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tarian Yin Galema (foto koleksi Reni)

MENGGALORKAN TRADISI ADAT BEGAWAI URANG BELITONG (Bag.4)

 

 

P R O S E S I   B E G A W A I


Hari Pertama Persiapan begawai (Minggu): Secara tradisional biasanya mendirikan bangsal di hari ahad atau minggu dilakukan secara gotong royong dipimpin oleh pengulu gawai yang juga disebut pengulu balai. Jika pengulu gawai tidak ikut mengarahkan untuk pembuatan bangsal maka dia hanya disebut sebagai "pengulu gawai" tanpa berpredikat "pengulu balai". Sebelum "ngunjamkan" tiang bangsal jauh hari sebelumnya tuan rumah terlebih dahulu suda "betare" meminta izin atau restu kepada dukun kampong setempat. Maka di hari pembuatan bangsal, waktu menanamkan tiang kayu terlebih dahulu menyiramkan air yang sudah dimantrai oleh dukun kampong ke seluruh tempat bakal bangsal dibuat. Bahan bahan kayu yang ditebang dari hutan itu semuanya sudah diperhitungkan jumlah dan rupa kebutuhannya sehingga tidak ada kekurangannya atau keberlebihannya (Tukang Bangsal sudah ahli akan keperluan bidangnya). Di bawah ini berbagai bangsal yang mesti disiapkan:

  • Blandongan (bangsal tarup yaitu bangunan besar beratap dengan tempat duduk dan meja). Bahan tiang, alang, serta kasau dari kayu bulat belum dikupas, sedang atap biasanya dari daun nangak (sejenis palem hutan, jika sudah terbentuk atap dapat digulung, maka untuk bangsal blandongan memerlukan sekian banyak gulungan atap nangak, bisa juga atap rumbia, tergantung keinginan tuan rumah, sekarang atap ini sudah tak digunakan lagi). Meja dan bangku bentuknya memanjang dengan rangka kayu (diikat rotan, atau dipaku jika mampu namun harga rotan ikat biasanya lebih sering dipergunakan pada masa lalu dan kaki kaki mejanya ditancapkan di tanah) meja dan alas duduk dari papan panjang, pipihan bulo (bambu), nibong, atau pinang, dan lainnya, yang semua diikat dengan rotan. Dindingnya berhias daun kelapa dari tiang ke tiangnya, dan di tiap tiang terkadang berhias daun sengkulun (jenis rumput yang daunnya menyerupai jarum halus lembut tak bertangkai karena "jarum jarum" halus ini berada mulai dari pangkal hingga ke semua percabangannya) .

  • Telasar (bangsal ukuran sedang beratap serta berlantai rendah, dibuat untuk duduk bersila memakai tikar; biasanya duduk di sini, para mualim, tetua kampong, penghulu adat, penghulu agama, serta para tokoh terpandang). Lantai telasar biasanya dari papan, pipihan bulo (bambu), nibong, atau pinang, dengan gelegarnya dari kayu atau batang kelapa direbahkan. Bangsal ini juga beratap nangak atau rumbia. Dindingnya rendah berhias daun kelapa kadang daun sengkulun.


  • Paun (meja panjang bertingkat buat menempatkan, baki air minum dan penganan, serta bakak nasi, piring kue, dulang laut pauk, dll). Paun biasanya dibuat di bawah rabat rumah atau di emperan atap rumah, terbuat dari rangka kayu dipaku ata diikat rotan dengan alas meja papan sepanjang empat meter atau lebih karena disambungkan sepanjang rabat.

  • Panggong (bangsal buat manggung acara kesenian). Bangsal ini biasanya ditempatkan di halaman depan rumah-rumah tradisi Belitong yang memang berhalaman luas. Panggong kesenian tradisional ada berlantai tinggi dan ada yang sedang atau rendah. Lantai yang tinggi sedang biasanya buat panggung kesenian tradisional, misal betiong, berinai, bekintong, besepen, begubang, becampak, berhadra, begambus, dan lainnya. Sedangkan bangsal panggong yang lantainya  begitu tinggi sering disebut pundok "membarongan", biasanya untuk menempatkan alat kesenian beregong atau beserunai guna mengiringi para petarung "beripat" atau petarungan menggunakan bilah rotan. Para petarung berlaga di arena atau panggong di bawah "membarongan" itu. Membarongan biasanya beratap sedangkan panggong tidak.

  • Telasar Mak Panggong (bangsal dibuat  untuk Mak Panggong dan pegawainya bekerja meramu makanan serta menyiapkannya, juga tempat dulang yang sudah berisi makanan, jadi bangs aini cukup luas sesuai kebutuhannya). Bangsal ini biasanya dibangun di bagian belakang rumah, mengemper di terusan atap rumah. Tinggi lantainya sama dengan telasar depan. Secara tradisional tiangnya dari kayu, beratap nangak, berdinding rendah memakai daun kelapa, kadangkala memakai kajang (jalinan daun lais yang dikeringkan, bisa buat atap, dinding, bahkan layar perahu).

  • Telasar Biak Kecik (bangsal makan berlantai agak tinggi seperti panggung untuk anak anak makan dan bermain dengan pengamanan dinding rendah tapi kokoh). Para pegawai atau pelaksana gawai biasanya membawa serta anak istri untuk membantu pelaksanaan gawai, maka untuk menertipkan anak anak yang berkumpul dibuatkan bangsal khusus buat mereka. Di situ mereka mulai diajarkan cara makan barsama secara tertib, juga berkumpul bermain di situ maka anak tertua, anak paling besar, baik Perempuan atau laki laki mesti mengasuh atau menertibkan anak anak yang usianya lebih rendah dari mereka.

  • Pelantaran (bangsal kecil tempat bebason atau mencuci piring, pinggan, dll) Bangsal kecil berlantai rendah; kayu para'-para' atau pipihan bulo (bambu), nibong, atau pinang. Biasanya terletak tak jauh dari sumur atau pelimbahan (lubang tanah untuk menampung limbah pencucian) yang sudah disediakan. Ada pelantaran basah buat nyuci dan pelantaran kering buat hasil cucian.

  • Pundok masak (bangsal kecil buat memasak berbagai makanan gawai;  menanak beras, memasak dudul, dan lainnya). Letaknya di bagian belakang rumah. Bangsal kecil ini memuat "kayu api" (kayu bakar) serta banyak tungku. Tungku tradisional untuk menanak beras di kawah besi (kuali besar) biasanya memakai tiga potongan pohon kelapa direbahkan, atau tiga bongkahan batu. Di pondok ini tersedia balai balai buat duduk sang pemasak, juga balai balai itu biasanya cukup lebar karena bisa ditempatkan  sementara  masakan mentah atau yang sudah matang buat sementara.

Semua bangsal yang dibangun oleh Tukang Bangsal dibantu secara gotong royong orang kampong setempat. Biasanya tengah hari sudah selesai, sebelum zuhur para pembuat bangsal makan siang. Jika ada yang belum rampung diteruskan sesudah zuhur. Saat ini, secara modern bangsal tidak lagi dikerjakan secara gotong royong karena sudah ada "tarup" (bangsal rakitan dengan segala perlengkapannya) yang disewa dan dikerjakan oleh penyewanya.

 

Hari Kedua (Senin): Di era masa kini, kegotongroyongan masih terasa ada di kampong-kampong yang masih memegang tradisi kebersamaan. Itu menandai bahwa di masa silam sistem itu sudah terbentuk begitu masif. Maka jika ada keluarga di sebuah kampong akan begawai maka para famili serta penduduk kampong tersebut akan peduli untuk ikut membantu; ada rasa tak nyaman di hati jika tak turun tangan atau sekedar urun rembuk membantu meringankan acara begawai salah seorang anggota kampongnya. Penduduk berkunjung ke rumah gawai dengan membawa berbagai "bekal gawai" dari kayu api hingga bahan makanan buat makan bersama selama membantu di rumah gawai (di Kampong Petaling Pulau Mendanau Belitong, kayu api untuk begawai disediakan oleh kaum perempuan kampong). Dalam rangkaian hari persiapan gawai hingga begawai, setidaknya sehari atau sekali mereka hadir membantu di rumah gawai. Selama penduduk membantu di rumah dan makan bersama di situ maka selama itu ada istilah "periok begantong".

Pada hari ini juga, para ibu-ibu kampong mulai menyiapkan segala peralatan masak dan makan, semua itu boleh dipinjamkan kepada tetangga serta sanak saudara. Begawai secara tradisianal merupakan adat kebersamaan yang terbentuk sejak lampau di masyarakat kampong agar perhelatan gawai berlangsung. Di hari kedua ini, alat-alat tersebut mulai ditandai agar tak tertukar ketika mengembalikan nanti, itu jika sudah dibersihkan. Orang-orang sekitar mulai berdatangan secara sukarela ke rumah gawai untuk "begawe" membantu persiapan gawai tersebut. Persiapan peralatan ini harus terkumpul hingga hari kamis sebelum asyar. Di hari kedua ini, jelang sore biasa ada sajian bubur lemak manis dari umbian misalnya, "buter', "menggale, "tila", dan lainnya.

Hari Ketiga (Selasa): Di hari ini, penduduk kampong terus secara sukarela  membantu ke rumah gawai. Di hari ketiga ini juga penduduk menyumbangan berbagai bahan makanan berupa beras, berbagai rempah bumbu, serta berbagai bahan makanan buat persiapan gawai serta makan para "pegawe". Sejak hari ini, di rumah gawai sudah memasak untuk makan siang dan sore para pekerja sukarela yang "begawe". Para pegawe memilih dan menampi beras, membersihkan dulang, bahkan membersihkan ruangan rumah, dan lainnya. Sumbangan makanan yang datang biasa; daging hewan buruan seperti kijang, pelanduk, dan rusa, juga ikan, udang, buahan, umbian, dan lainnya (semua sumbangan itu "Tidak Dicatat" jadi betul betul sumbangan tanpa pamrih). Di hari ketiga ini, jelang sore hari, ada sajian bubur lemak manis dari polongan, misal kacang hijau, jawak atau jawawut, atau lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun