Setiap pagi aku membawa senyuman itu untuk berkaca pada cermin. Melihat gambaran utuh yang menakjubkan mata. Tak lupa kuselipkan doa dan harapan untuk bertemu dengan tuannya suatu ketika.Â
Mungkin dimusim panen. Ya kupikir dimusim itulah kesempatan baik bagiku untuk memanen lebih banyak senyum para gadis, menyembunyikan didalam ingatan dan menambah kegilaanku.Â
Aneh-aneh saja. Itu hanya akan berujung pada sarkastis dari mulut tua-tua yang memerah penuh sirih pinang. Lalu apa urusanku dengan mereka? Haruskah aku membela kegilaanku yang egoistik atau biarkan kata-kata mereka meracuni senyuman ini. Dilema hati hanya karena gosip. "Aku ingin bertemu", ini jeritan kerinduan yang tak boleh jatuh.
Lama aku merawat senyum dalam hati, senyum itu malah menggelisahkan banyak hati. Ibu-ibu dan tanta-tante yang selalu asik mencari kutu ditiap siang makin ramai bergosip tentang senyum itu. Heboh. Bayangkan saja bila mulut-mulut mereka digabungkan untuk melecehkan satu senyum.Â
Seperti susunan alfabetis yang tak pernah selesai. Demikian mereka menyusun cerita tentang aku. Tidak apa-apa. Akan begitu saja. Sebab sebenarnya mereka iri, senyuman mereka kalah menggoda. Tidak lagi laris terjual. Senyuman mereka ramah yang marah. Tidak sepolos, selembut dan sealami punya gadisku, punya ibu dan nenekku.
Semenjak kepulangannya di perjumpaan yang tak lagi ku rahasiakan, kegilaanku makin bertambah. Kerinduan bertumpuk menyesakkan isi dada. Aku tak lagi melafalkan rindu dengan benar. Semua perhatian bertumbuh dari senyum itu. Makin subur dan tak mampu kepetik kemanisannya. Sampai titik itu, pernah kuberfikir kegilaan pada senyuman gadis itu absurd. Tak bisa dipercaya.
Namun, karena senyum itu bertuankan diriku, aku tak peduli lagi pada omongan orang. Bertahan adalah satu-satunya cara agar senyum itu menyatu dengan senyumku. Tidak sampai disitu saja, agar senyum itu mengabadi, akan kutemui dia dan mencium bibirnya dengan lembut.Â
Ya ciuman itulah yang kupikirkan sejak awal ketika percakapan usai dan kegilaanku mengaliri seluruh saraf tubuh.Â
Ciuman itu yang kurindukan yang membuatku bertahan memelihara senyumnya meski ia menghilang seperti senja.
***
Gadis itu bernama Stefania. Kami bertemu di bukit cinta yang pernah kuceritakan dalam sebuah percakapan yang belum selesai. Kuulangi lagi kini demi mengenang perjumpaan kami yang melodramatis.Â