Maafkan aku Stefania harus membawa-bawa namamu dalam ruang imajinasi yang tak teramat luas. Maafkan mataku yang teramat suka menatap senyum di bibirmu.
***
Senja yang malu menjenguk aku dalam kesendirian yang mulai kesakitan. Ia mengarahkan mataku dan mengemas langkah demi langkah menuju ke Bukit Cinta untuk kesekian kalinya, sekadar menyaksikan tingkah bocah-bocah lucu berekspresi di hadapan kamera.Â
Sebab sejak adanya, senja menjadi latar paling mewah bagi ekspresi anak manusia. Senja tak habis-habisnya menceritakan kenangan, disanalah aku biasa merenung merancang masa depan dengan tekun.
Aku tiba di kaki bukit dengan langkah yang terputus oleh pegal dan capai yang kuderita. Disinilah untuk pertama kalinya, aku bertemu gadis cantik yang senyumnya membekukan gerakku.Â
Tidak pernah kulihat wajah secantik ini sebelumnya. Senyum itu siapakah yang membentuknya? Ditambah sedikit cuek dan diam yang alami, batinku seperti menggereget. Naluri kelelakianku dibuncah habis-habisan oleh sikapnya.
"Hay cantik, kamu masih ingat aku. Namaku Chris ?, ujarku seraya mengulurkan tangan. Tanda salam khas manusia. Aku sentak menemukan diri yang agresif. Gadis itu enggan menyambut tanganku. Mungkin kotor atau terlalu kekar. Dua-duanya. Perkenal tertunda.Â
"Kita tidak pernah bertemu sebelumnya. Jangan sok akrab dehh mas", balas gadis itu memojokkan ke-pedean-ku.Â
Benar, aku terpojok oleh rasa malu. Namun nyali tidak hilang, kekaguman tinggal tetap. "Lelaki tidak dilahirkan untuk menanggung rasa malu", suara parau dari dalam diri meneriakiku.
Percakapan kembali dimulai. "Kemarin aku melihat kamu selfi disini. Senyummu sungguh menawan. Aku tertawan olehnya. Aku suka gayamu berksperesi di hadapan kamera", ujarku dengan kalimat puitis yang berani.Â
Matanya terbelalak kaget. Ia sejenak terdiam. Mungkin sedang menyusun kata-kata penyangkalan.