Setiap fungsi dalam struktur organisasi pada dasarnya mempunyai peran dalam menjalankan roda organisasi untuk mencapai tujuan organisasi. Sebuah organisasi yang baik untuk mencapai taraf kelas dunia maka harus mengatur setiap fungsi di organisasi tersebut accountable. Sistem tata kelola organisasi juga harus mampu memaksa setiap individu yang menjalankan patuh dengan nilai-nilai organisasi. Untuk itu sebuah organisasi wajib membuat aturan main (kebijakan, prosedur, instruksi kerja dan peraturan internal) untuk menjadi pedoman bagi seluruh individu dalam menjalankan aktifitas sesuai fungsi dan wewenangnya.
Dalam banyak kasus tatkala organisasi tidak mempunyai sistem yang baik maka dalam menjalankan roda organisasi akan dipenuhi ketidakjelasan fungsi pelaksanaan serta kehilangan fungsi pengawasan sehingga organisasi menjadi tidak efisien. Akibatnya orang-orang yang menjalankan fungsi-fungsi pelaksanaan kegiatan di segala tingkatan yang rawan untuk melakukan penyimpangan praktik-praktik kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN). Praktik ini sangat merugikan organisasi, rentan dengan tuntutan dari pemangku kepentingan, baik tuntutan hukum dan sosial. Hal ini dapat mengakibatkan kinerja organisasi menjadi rendah dan menurunkan daya saing organisasi dalam berkompetisi.
Untuk itu, perlu dibuat sistem kelola organisasi yang transparan serta mempunyai tata nilai etika yang tinggi, agar fungsi-fungsi yang ada diisi oleh orang yang mempunyai kompetensi di bidangnya serta cukup beretika dalam menjalankan fungsinya. Kegiatan ini harus dimulai di setiap proses operasi mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian.
Organisasi harus mampu mengelola peran seluruh fungsi dalam struktur, bebas dari konflik kepentingan dalam melaksanakan tugasnya. Orang yang mempunyai wewenang  sekaligus terdapat kepentingan pribadi ataupun kelompok dalam membuat kebijakan-kebijakan organisasi. Pada saat ini dapat terjadi peluang untuk melakukan penyimpangan-penyimpangan (abuse of power), akibat lebih jauh organisasi dirugikan karena proses kebijakannya tidak transparan dan accountable. Hal ini berakibat dapat terjadi benturan kepentingan yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan dan dapat berpengaruh buruk kepada kinerja organisasi.
Konflik kepentingan dalam organisasi dipengaruhi oleh beberapa hal sebagai berikut:Â
Tujuan tidak dirumuskan dengan jelas.
Kekuasaan dan kewenangan yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan atau jabatan yang diemban.
Perangkapan jabatan, yaitu seorang pejabat menduduki dua atau lebih jabatan sehingga tidak bisa menjalankan jabatannya secara profesional, independen dan akuntabel.
Hubungan afiliasi, yaitu hubungan yang dimiliki oleh seorang pejabat dengan pihak tertentu baik karena hubungan darah, hubungan perkawinan maupun hubungan pertemanan yang dapat mempengaruhi keputusannya.
Gratifikasi, yaitu pemberian dalam arti luas yang meliputi pemberian uang, barang, rabat, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Kelemahan sistem organisasi, yaitu keadaan yang menjadi kendala bagi pencapaian tujuan pelaksanaan kewenangan penyelenggara negara yang disebabkan karena aturan, struktur dan budaya organisasi yang ada.Â
Ketiadaan kerjasama/kepercayaan (lack of cooperation/trust).
Kepentingan pribadi (vested Interest), yaitu keinginan/kebutuhan seorang penyelenggara negara mengenai suatu hal yang bersifat pribadi.
Adanya persaingan untuk memperebutkan sumber daya yang langka (competition of scarce resources).
Adanya peran yang tidak jelas/ketiadaan uraian tugas (unclear roles/lack of job description).
Beberapa bentuk konflik kepentingan yang sering terjadi dan dihadapi oleh seseorang yang mempunyai kewenangan dalam organisasi tersebut antara lain adalah:Â
Situasi yang menyebabkan seseorang menerima gratifikasi atau pemberian/ penerimaan hadiah atas suatu keputusan/jabatan.
Situasi yang menyebabkan penggunaan jabatan/instansi untuk kepentingan pribadi/kelompok/golongan.
Situasi yang menyebabkan informasi rahasia jabatan/instansi dipergunakan untuk kepentingan pribadi/golongan.
Perangkapan jabatan di beberapa lembaga/instansi/perusahaan yang memiliki hubungan langsung atau tidak langsung, sejenis atau tidak sejenis, sehingga menyebabkan pemanfaatan suatu jabatan untuk kepentingan jabatan lainnya.
Situasi dimana dengan kewenangannya bisa memberikan akses khusus kepada pihak tertentu misalnya dalam rekrutmen pegawai tanpa mengikuti prosedur yang seharusnya.
Situasi yang menyebabkan proses pengawasan tidak mengikuti prosedur karena adanya pengaruh dan harapan dari pihak yang diawasi.
Situasi di mana kewenangan penilaian suatu objek kualifikasi dimana objek tersebut merupakan hasil dari si penilai.
Situasi di mana adanya kesempatan penyalahgunaan jabatan.
Situasi di mana seorang pejabat menentukan sendiri besarnya gaji/ remunerasi.Â
Moonlighting atau outside employment (bekerja lain di luar pekerjaan pokoknya).
Situasi yang memungkinkan penggunaan diskresi yang menyalahgunakan wewenang.
Dengan demikian, konflik kepentingan secara umum adalah suatu keadaan sewaktu seseorang pada posisi yang diberi kewenangan dan kekuasaan untuk mencapai tugas dari perusahaan atau organisasi yang memberi penugasan, sehingga orang tersebut memiliki kepentingan profesional dan pribadi yang bersinggungan. Persinggungan kepentingan ini dapat menyulitkan orang tersebut untuk menjalankan tugasnya.
Pola Konflik Kepentingan
Kerangka hubungan kerja dalam setiap aktivitas organisasi secara sistematis dapat dibagi dalam 4 (empat) dimensi hubungan, yaitu; (a) personal, (b) relasional, (c) struktural, dan (d) kultural.
PersonalÂ
Pendekatan konflik kepentingan mempertimbangkan nilai-nilai yang bersifat personal menyangkut karakteristik individu, kepribadian, emosional dan spiritual. Maka nilai-nilai individu ini sangat berperan besar dalam mempengaruhi keputusan-keputusan, dalam praktik sehari-hari untuk posisi strategis maka biasanya perusahaan melakukan due diligence untuk mengetahui jejak rekam dan integritas orang yang akan mengisi posisi-posisi kunci dalam korporasi.
RelasionalÂ
Dalam mengelola korporasi, hubungan relasional antar individu, antar suku, antar kelompok, antar lembaga, antar perusahaan, antar pemangku kepentingan, keyakinan dan sebagainya adalah sebuah keniscayaan. Dinamika hubungan para pemangku kepentingan sangat berpengaruh terhadap pengambilan keputusan. Organisasi harus selalu menguji pola hubungan, pola komunikasi, gaya kepemimpinan (leadership) dan manajemen dalam pengelolaan situasi konflik yang melibatkan berbagai kelompok pemangku kepentingan. Dalam praktiknya organisasi mengelola benturan konflik kepentingan dengan cara membuat deklarasi terhadap para stakeholder bahwa tidak mempunyai hubungan terhadap satu  dengan yang lainnya, jika ada hubungan sebagai saudara maka harus membuat pernyataan/deklarasi
StrukturalÂ
Desain struktur organisasi sangat penting dalam memastikan efisiensi dan efektivitas kinerja organisasi. Pembuatan struktur organisasi disesuaikan dengan tingkat kompleksitas sebuah organisasi, struktur organisasi akan berpengaruh dalam pengambilan keputusan, pola kelembagaan, serta pelibatan seluruh anggota organisasi dalam menjalankan kegiatan operasinya.Â
KulturalÂ
Kegiatan organisasi akan berinteraksi dengan lingkungan. Maka nilai-nilai kultur yang ada dalam lingkungan akan memberikan pengaruh bagaimana organisasi melakukan kegiatan operasinya. Benturan konflik kepentingan antara organisasi dan lingkungan hendaknya dihindari dengan mempertimbangkan nilai-nilai budaya sebagai bentuk harmonisasi dari perbedaan latar belakang suku, bahasa (ethnolinguistic background) dan keyakinan agama. Keempat dimensi hubungan di atas dapat digunakan sebagai alat analisis (tools) bagi perencana dan pemangku kepentingan lain dalam merumuskan rencana organisasi untuk mengelola konflik kepentingan.Â
Dari semua kasus di atas, dapat disimpulkan bahwa ketika seseorang atau kelompok mempunyai kepentingan terhadap suatu hal, keadaan, atau kasus maka mereka akan mencoba mengintervensi permasalahan tersebut guna melindungi hak-hak atau kepentingan mereka. Dalam bentuk apapun konflik itu, semuanya mengandalkan kekuasaan, dimana etika atau bahkan hukum dilanggar.
Strategi Mengelola Konflik Kepentingan
1. Membangun Value Dan Etika Kerja KorporasiÂ
Membangun value/nilai organisasi serta melembagakan menjadi kata kunci perusahaan dalam menciptakan budaya kerja yang berintegritas. Hal ini akan menaikan standar moral perusahaan di mana hasil akhirnya mempunyai daya saing tinggi.
2. Membangun Komunikasi Dengan Pendidikan Dan PenyuluhanÂ
Untuk membudayakan budaya kerja yang beretika di seluruh sektor industri, maka perlu adanya pendidikan dan penyuluhan dengan melibatkan semua stakeholder. Pendidikan dan penyuluhan menjadi kebutuhan mendasar dalam meningkatkan kesadaran pemahaman individu akan etika kerja. Dalam prakteknya pendidikan ini bisa dilakukan dengan membuat kelas sendiri dibantu oleh pelatih/fasilitator yang memenuhi kualifikasi agar pelatihan bisa berjalan efektif. Metode workshop dengan 40 teori dan 60 persen latihan akan lebih efektif, untuk mengukur tingkat efektifitasnya bisa dilakukan pre-test dan post-test setelah pelatihan.
3. Mengembangkan Keterbukaan Dengan TeknologiÂ
Memasuki era teknologi berbasis IT menjadi dasar kecepatan mengolah informasi sebagai dasar pengambilan keputusan. Data-data yang ada menjadi sangat mudah ditelusuri kapan direkam, oleh siapa dicatat dan sebagainya, maka ini menjadi kaidah dasar traceability/mampu ditelusuri yang diharapkan menjadi dasar keputusan yang akuntabel. Oleh karena itu untuk mewujudkan good governance salah satu upayanya adalah menggunakan teknologi informasi dan komunikasi. Teknologi informasi dan komunikasi menjanjikan efisiensi, kecepatan penyampaian informasi, jangkauan yang global dan transparansi. Perkembangan teknologi informasi telah mengubah banyak aspek kehidupan manusia, dan hampir tidak ada aspek dari kehidupan modern yang bisa dipisahkan dari kemajuan IT (information technology). Bersama dengan perkembangan perdagangan global, kemajuan IT yang luar biasa bergerak saling melengkapi dan mempengaruhi.
Keterbukaan (transparansi) muncul sebagai sebuah paradigma tersendiri, atau dengan kata lain menjadi 'semangat zaman' (geist) yang tak terbendung. Satu 18 Pengelolaan Konflik Kepentingan hal yang patut dicatat, bahwa pelayanan publik yang bertolak dari asas-asas transparansi, akuntabilitas serta mengandung prinsip: kesederhanaan, kepastian waktu, akurasi, keamanan, kemudahan akses dan sebagainya akan sangat sulit diimplementasikan dalam tugas sehari-harinya bila tanpa mengadopsi kemajuan IT dan memanfaatkannya di dalam penerapan. Secara empirik, sudah terbukti bahwa peningkatan kinerja yang transparan, terukur, dan auditable tidak bisa dilepaskan dari pembangunan sarana dan prasarana IT.Â
4. Penegakan Hukum/Internal ControlÂ
Pengendalian internal, sebagian ada yang menyebut pengendalian intern atau pengawasan internal, adalah istilah yang diserap dari internal controls. Istilah tersebut merujuk pada proses dalam entitas (organisasi, termasuk perusahaan), dipengaruhi oleh Dewan Komisaris (atau dewan pengawas), manajemen, dan personel lainnya, dirancang untuk memberikan jaminan yang layak agar entitas mencapai tujuan-tujuannya.Â
5. Tools Pengendalian Konflik Kepentingan
a. Identifikasi Situasi Konflik KepentinganÂ
Pada tahapan ini akan dilakukan identifikasi terhadap situasi yang termasuk dalam kategori konflik kepentingan. Dalam hal ini diperlukan penjabaran yang jelas mengenai situasi dan hubungan afiliasi yang menimbulkan konflik kepentingan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing organisasi yang bersangkutan. Identifikasi tentang situasi konflik kepentingan harus konsisten dengan ide dasar bahwa ada berbagai situasi di mana kepentingan pribadi dan hubungan afiliasi seorang penyelenggara negara dapat menimbulkan konflik kepentingan.
b. Penyusunan Kerangka KebijakanÂ
Dalam penyusunan kerangka kebijakan penanganan konflik kepentingan, terdapat beberapa aspek pokok yang saling terkait dan perlu diperhatikan, yaitu:Â
a. Pendefinisian konflik kepentingan yang berpotensi membahayakan integritas lembaga dan individu.Â
b. Komitmen pimpinan dalam penerapan kebijakan konflik kepentingan.Â
c. Pemahaman dan kesadaran yang baik tentang konflik kepentingan untuk mendukung kepatuhan dalam penanganan konflik kepentingan.Â
d. Keterbukaan informasi yang memadai terkait dengan penanganan konflik kepentingan.Â
e. Keterlibatan para stakeholder dalam penanganan konflik kepentingan.Â
f. Monitoring dan evaluasi kebijakan penanganan konflik kepentingan.Â
g. Pengembangan dan penyesuaian kebijakan serta prosedur penanganan konflik kepentingan berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi di atas.
c. Penyusunan Strategi Penanganan Konflik Kepentingan Kebijakan konflik kepentingan perlu didukung oleh sebuah strategi yang efektif berupa:Â
a. Penyusunan kode etik.
b. Pelatihan, arahan serta konseling yang memberi contoh-contoh praktis dan langkah-langkah untuk mengatasi situasi-situasi konflik kepentingan.
c. Deklarasi konflik kepentingan dengan cara sebagai berikut:Â
Pelaporan atau pernyataan awal (disclosure) tentang adanya kepentingan pribadi yang dapat bertentangan dengan pelaksanaan jabatannya.
Pelaporan dan pernyataan lanjutan apabila terjadi perubahan kondisi setelah pelaporan dan pernyataan awal.
Pelaporan mencakup informasi yang rinci untuk bisa menentukan tingkat konflik kepentingan dan bagaimana menanganinya. Â
d. Dukungan kelembagaan dalam bentuk:Â
Dukungan administrasi yang menjamin efektivitas proses pelaporan sehingga informasi dapat dinilai dengan benar dan dapat terus diperbaharui.
Pelaporan dan pencatatan kepentingan pribadi dilakukan dalam dokumen-dokumen resmi agar lembaga yang bersangkutan dapat menunjukkan bagaimana lembaga tersebut mengidentifikasi dan menangani konflik kepentingan.
e. Penyiapan Serangkaian Tindakan untuk Menangani Konflik KepentinganÂ
Untuk menangani konflik kepentingan diperlukan serangkaian tindakan yang jelas apabila seseorang berada dalam situasi konflik kepentingan. Penyiapan tindakan-tindakan tersebut diperlukan sebagai langkah lanjutan setelah seseorang yang mempunyai kewenangan karena jabatannya melaporkan situasi konflik kepentingan yang dihadapinya, mengingat keberadaan laporan tersebut tidak menjamin bahwa seorang pejabat tersebut telah keluar dari situasi konflik kepentingan. Selain itu penyiapan tindakan ini juga diperlukan pada saat konflik kepentingan telah terjadi walaupun tanpa adanya pelaporan dari yang bersangkutan.
Serangkaian tindakan yang dapat disiapkan sebagai langkah lanjutan dalam menangani konflik kepentingan yang dapat digunakan sebagai pedoman oleh organisasi atau lembaga dimana seseorang tersebut bekerja antara lain adalah:Â
a. Pengurangan (divestasi) kepentingan pribadi penyelenggara negara dalam jabatannya.Â
b. Penarikan diri (recusal) dari proses pengambilan keputusan di mana seorang pejabat memiliki kepentingan.Â
c. Membatasi akses atas informasi tertentu apabila yang bersangkutan memiliki kepentingan.Â
d. Mutasi ke jabatan lain yang tidak memiliki konflik kepentingan.Â
e. Mengalih tugas dan tanggung jawab yang bersangkutan.Â
f. Pengunduran diri dari jabatan yang menyebabkan konflik kepentingan.Â
g. Mengintensifkan pengawasan terhadap seseorang tersebut.Â
h. Pemberian sanksi yang tegas bagi yang melanggarnya.
Referensi: Modul Pengelolaan Konflik Kepentingan dari Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat.Â
Modul 7.pdf
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H