"Teng..Tong..." bel tanda pulang sekolah berbunyi. "Kakak..." aku memalingkan wajah ku, tampak adikku berlari cepat ke arahku. "Kak, Adit mau Bakar Pamat nih, beliin dong, kakak baik deh..." rengek adikku dengan muka memelasnya. Aku mengangguk cepat karena aku sendiri juga sudah rindu dengan bakso bakar Pak Amat. Terakhir aku memakannya saat lulus SMA, sudah 2 tahun yang lalu.
Kami berjalan menuju tempat Pak Amat. Seperti biasa, Pak Amat sudah dikerumuni anak-anak sekolah. Tidak sedikit juga warga-warga sekitar yang ikut mengerumuni beliau. Dalam satu hari, Pak Amat bisa menjual setidaknya 2000 tusuk bakso bakar. Bagaiamana tidak? Untuk anak sekolah Adit saja sudah ribuan siswa, belum lagi siswa dari sekolah lain dan para warga kampung sekitar.
Dulu Pak Amat bejualan keliling dari satu sekolah ke sekolah lainnya. Namun seiring bertambahnya usia Pak Amat, beliau tidak lagi berjualan keliling, hanya di sekolah tempat anaknya bersekolah saja. Mungkin jika Pak Amat masih berjualan keliling, per hari nya Pak Amat bisa menghabiskan sekitar 3000 tusuk bakso bakar.
 Kami menunggu giliran dengan sabar mengantri. Satu per satu pergi, namun yang datang masih banyak lagi. Bakso Bakar Pak Amat ini seperti tidak ada matinya, tetap ramai setiap hari nya. Para pelanggan bisa mengambil saus sesuai selera, itu yang menjadi andalan bakso bakar Pak Amat, saus khas kota Yogyakarta, resep warisan nenek buyut Pak Amat yang memang sudah terkenal dari dulu. Soal rasa? Enak!
"Pak Amat, Bakso bakarnya dua ya. Yang satu tidak usah pakai saus, Â yang satu lagi sausnya banyak, ya, pak" pintaku. "Baik, Mas Andi". Jawab Pak Amat ramah.
"Tidak pakai saus, tidak pakai sambal, dan juga tidak pakai kol, hehehehe..." Sahut Adit seraya menyanyikan lagu Abang Tukang Bakso. Adikku ini memang sangat suka bernyanyi, semua hal selalu di sambungkannya dengan lirik lagu.
"Ini mas Andi bakso bakarnya, yang satu pedas punya mas Andi, dan yang satunya lagi tidak pakai saus, tidak pakai sambal, juga tidak pakai kol punya nya Adit kan? Canda Pak Amat yang membuat Adit tersipu malu. "hehe, iyah Pak Amat. Ini punya Adit".
Setelah membayar, aku mengajak adikku untuk makan di kursi kayu panjang di samping. Kursi ini di bawa oleh Pak Amat agar orang yang mau makan bisa duduk, seperti kami ini. Sambil makan bisa sambil bercerita.
"Kak, lihat deh anak kecil itu. Dari tadi Adit lihat dia terus menatap bakso bakar sambil memegang perutnya. Apa mungkin dia lapar, ya kak? Tanya Adit dengan nada iba.
"Ya, sepertinya begitu. Kalau di lihat- lihat, dia mirip kamu ya?". "Loh, kok jadi mirip Adit kak? Adit gak pernah ngeliatin bakso Pak Amat sambil megang perut kok". Celah adikku kesal. "Kamu kan juga sering begitu kalau sedang melihat ibu masak ayam goreng, sambil ngeluarin lidah, ngences lagi, hahahaha". "Huh... Kakak ini malah bercanda, Adit serius tau!".
Adit pergi menghampiri anak kecil itu dan memberikan bakso bakarnya yang belum di makannya. Anak kecil itu menerima dengan wajah sumringah, dengan lahap dia memakannya. Sepertinya memang dia sangat lapar, mungkin sudah beberapa hari belum makan, kasihan memang. Sangat jauh dengan keadaanku yang serba berkecukupan, tapi masih sering mengeluh dan merasa tidak puas.