Mohon tunggu...
iamliaa 01
iamliaa 01 Mohon Tunggu... Akuntan - Mengkhayal dan bermimpi adalah kesenanganku

Ora Et Labora

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bersyukur dengan Memberi

26 Agustus 2018   23:12 Diperbarui: 26 Agustus 2018   23:23 666
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terik matahari kian menyengat membakar kulit hitam Pak Amat, penjual bakso bakar di depan sekolah adikku. Sesekali tampak Pak Amat menyeka keringat di wajah dengan sapu tangannya. Wajah tuanya tetap tersenyum saat anak-anak sekolah mengerumuninya, tak terlihat rasa lelah sedikitpun. 

Bila aku tak salah, usia Pak Amat sekitar 60 tahunan, usia yang seharusnya digunakan untuk beristirahat dan menikmati hari tuanya, tapi Pak Amat masih saja aktif bekerja untuk kebutuhan hidupnya.

Orang-orang biasanya memanggil dengan sebutan "Bakar Pamat" atau "Bakso Bakar Pak Amat". Pak Amat sudah berjualan selama kurang lebih 20 tahun, bahkan sejak aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Bakso Pak amat tak pernah sepi pengunjung dan aku adalah salah satu langganan tetap Pak Amat dari dulu sampai sekarang.

Banyak juga anak dari sekolah lain bahkan tak jarang ibu-ibu juga menjadi langganan tetap Bakso Bakar Pak Amat. Walaupun hanya bakso bakar, namun langganan Pak Amat menjangkau pada siapapun.

Selain enak dan murah, bakso Pak Amat juga terkenal sangat bersih. Contoh kecilnya saja, sepeda motor dan alat panggangannya selalu dibersihkan setiap hari. Daging ayam yang menjadi bahan dasar pembuatan bakso bakar juga dibeli di pasar dan yang pastinya adalah ayam sehat dan segar. Untuk sausnya juga Pak Amat membeli dari pasar untuk kemudian diolah dengan bumbu rempah lainnya.

Semuanya dilakukan Pak Amat sendiri karena isterinya sudah meninggal saat melahirkan anak semata wayangnya 10 tahun yang lalu yang sekarang sudah duduk di bangku sekolah dasar kelas 5, dan Pak Amat berjualan di tempat anaknya bersekolah agar lebih mudah dan cepat saat menjemput anaknya. Jika sekolah sedang libur, Pak Amat menitipkan anaknya pada  tetangga sebelah yang kebetulan seorang lansia yang tinggal sendiri.

Pak Amat tinggal di rumah kecil di belakang sekolah. Rumah Pak Amat cukup luas, rumah itu merupakan satu-satunya peninggalan dari orang tuanya untuk Pak Amat. Di halaman depan Pak Amat menanam 1 pohon mangga, 2 pohon pisang, dan beberapa pot tanaman hias.

Selain berjualan bakso bakar, Pak Amat juga suka bertanam dan juga berbisnis bonsai. Keahlian itu didapat dari kakeknya yang merupakan pebisnis besar berbagai macam tanaman hias pada masanya dan sekarang diteruskan oleh Pak Amat.

Bahkan tanaman bonsai Pak Amat pernah diborong oleh pejabat tinggi pusat saat berkunjung ke kampung. Pak Amat memang dikenal "bertangan dingin" sehingga tanaman apapun pasti akan tumbuh dan terawat baik.

Walaupun bisnis Pak Amat berjalan baik, tidak lantas membuat Pak Amat menjadi pelit dan tinggi hati. Tapi justru Pak Amat semakin ramah dan selalau membantu setiap orang yang kesusahan. Pak Amat selalu menyisihkan seperampat dari penghasilannya untuk disumbangkan kepada panti asuhan atau untuk membantu orang-orang yang memang membutuhkan.

Tak jarang Pak Amat menggelar semacam syukuran dengan mengundang anak-anak yatim piatu untuk makan di rumahnya. Buah mangga dan pisang juga bebas diambil bagi yang mau, asal sudah permisi terlebih dahulu. Maka tak heran jika banyak orang yang menyukai Pak Amat. Para tetangga juga sesekali mengantarkan makanan mengingat usia dan anak Pak Amat yang masih kecil. Mereka hidup berdampingan satu sama lain, terasa sangat damai.

"Teng..Tong..." bel tanda pulang sekolah berbunyi. "Kakak..." aku memalingkan wajah ku, tampak adikku berlari cepat ke arahku. "Kak, Adit mau Bakar Pamat nih, beliin dong, kakak baik deh..." rengek adikku dengan muka memelasnya. Aku mengangguk cepat karena aku sendiri juga sudah rindu dengan bakso bakar Pak Amat. Terakhir aku memakannya saat lulus SMA, sudah 2 tahun yang lalu.

Kami berjalan menuju tempat Pak Amat. Seperti biasa, Pak Amat sudah dikerumuni anak-anak sekolah. Tidak sedikit juga warga-warga sekitar yang ikut mengerumuni beliau. Dalam satu hari, Pak Amat bisa menjual setidaknya 2000 tusuk bakso bakar. Bagaiamana tidak? Untuk anak sekolah Adit saja sudah ribuan siswa, belum lagi siswa dari sekolah lain dan para warga kampung sekitar.

Dulu Pak Amat bejualan keliling dari satu sekolah ke sekolah lainnya. Namun seiring bertambahnya usia Pak Amat, beliau tidak lagi berjualan keliling, hanya di sekolah tempat anaknya bersekolah saja. Mungkin jika Pak Amat masih berjualan keliling, per hari nya Pak Amat bisa menghabiskan sekitar 3000 tusuk bakso bakar.

 Kami menunggu giliran dengan sabar mengantri. Satu per satu pergi, namun yang datang masih banyak lagi. Bakso Bakar Pak Amat ini seperti tidak ada matinya, tetap ramai setiap hari nya. Para pelanggan bisa mengambil saus sesuai selera, itu yang menjadi andalan bakso bakar Pak Amat, saus khas kota Yogyakarta, resep warisan nenek buyut Pak Amat yang memang sudah terkenal dari dulu. Soal rasa? Enak!

"Pak Amat, Bakso bakarnya dua ya. Yang satu tidak usah pakai saus,  yang satu lagi sausnya banyak, ya, pak" pintaku. "Baik, Mas Andi". Jawab Pak Amat ramah.

"Tidak pakai saus, tidak pakai sambal, dan juga tidak pakai kol, hehehehe..." Sahut Adit seraya menyanyikan lagu Abang Tukang Bakso. Adikku ini memang sangat suka bernyanyi, semua hal selalu di sambungkannya dengan lirik lagu.

"Ini mas Andi bakso bakarnya, yang satu pedas punya mas Andi, dan yang satunya lagi tidak pakai saus, tidak pakai sambal, juga tidak pakai kol punya nya Adit kan? Canda Pak Amat yang membuat Adit tersipu malu. "hehe, iyah Pak Amat. Ini punya Adit".

Setelah membayar, aku mengajak adikku untuk makan di kursi kayu panjang di samping. Kursi ini di bawa oleh Pak Amat agar orang yang mau makan bisa duduk, seperti kami ini. Sambil makan bisa sambil bercerita.

"Kak, lihat deh anak kecil itu. Dari tadi Adit lihat dia terus menatap bakso bakar sambil memegang perutnya. Apa mungkin dia lapar, ya kak? Tanya Adit dengan nada iba.

"Ya, sepertinya begitu. Kalau di lihat- lihat, dia mirip kamu ya?". "Loh, kok jadi mirip Adit kak? Adit gak pernah ngeliatin bakso Pak Amat sambil megang perut kok". Celah adikku kesal. "Kamu kan juga sering begitu kalau sedang melihat ibu masak ayam goreng, sambil ngeluarin lidah, ngences lagi, hahahaha". "Huh... Kakak ini malah bercanda, Adit serius tau!".

Adit pergi menghampiri anak kecil itu dan memberikan bakso bakarnya yang belum di makannya. Anak kecil itu menerima dengan wajah sumringah, dengan lahap dia memakannya. Sepertinya memang dia sangat lapar, mungkin sudah beberapa hari belum makan, kasihan memang. Sangat jauh dengan keadaanku yang serba berkecukupan, tapi masih sering mengeluh dan merasa tidak puas.

Adit kembali dengan senyum lebar, jelas aku heran melihatnya. "Kok kamu malah senyum-senyum setelah memberi bakso tadi? Tadi kamu bilang lagi pengen makan bakso bakar. Sudah di belikan, malah di berikan untuk orang lain, heran kakak lihat kamu" tanyaku.

"Tadi di kelas, Adit masuk pelajaran Moral dan Etika tentang Indahnya berbagi kak. Jadi kata Bu guru, berbagi dengan orang lain adalah perbuatan yang baik dan sangat disenangi oleh Tuhan.

Dengan berbagi, kita jadi tau bahwa di luar sana masih banyak orang yang hidup tidak layak, bahkan ada yang tidak bersekolah karena tidak ada uang. Beda sekali dengan kita yang semuanya ada kak, makanya tadi Adit ingat  yang di katakan bu guru di sekolah sewaktu melihat anak kecil itu. Adit jadi menyesal kak sering membuang makanan yang di masak ibu.

Aku bisa melihat penyesalan di wajah Adit. Tapi di balik itu, aku juga sangat bangga dengan adikku ini. Di usianya yang masih 9 tahun, dia sudah punya rasa peduli yang tinggi terhadap sesama, hal yang tak pernah terpikirkan olehku. Aku jadi malu mendengar Adit berkata demikian. Harusnya aku yang menjadi contoh Adit dalam bersikap, tapi ini justru aku yang belajar darinya.

"Baiklah Adit, kakak akan belikan kamu bakso bakar, sebagai hadiah dari sikap jagoan kamu tadi. Kakak kan juga mau berbagi, biar tidak kalah dengan Adit". "Hore.. kakak baik deh" Adit melompat kegirangan. Sifat polosnya yang menggemaskan ini terkadang membuatku tertawa sendiri saat melihatnya. Rumah pasti akan terasa sangat sepi jika tak ada Adit.

Sepanjang perjalanan, aku memikirkan kata-kata Adit tadi. Dalam hati aku bertekad untuk menajdi orang yang lebih peduli terhadap sesama dan sekitarku serta menjadikan berbagi sebagai bagian dari caraku bersyukur kepada Tuhan.

Hari ini aku mendapat pelajaran hidup yang snagat berharga dari adikku, bahwa kebahagiaan memang sangat mudah dan tidak perlu mahal, hanya dengan kita berbagi kepada orang lain. Terimakasih, Adit. Kamu hebat!.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun