Mohon tunggu...
Mahéng
Mahéng Mohon Tunggu... Penulis - Author

Hidup adalah perpaduan cinta, tawa, dan luka. Menulis menjadi cara terbaik untuk merangkai ketiganya.

Selanjutnya

Tutup

Joglosemar Artikel Utama

Di Antara Bekas Luka dan Selfie, Dilema Wisata di Teras Merapi

11 Desember 2024   06:36 Diperbarui: 11 Desember 2024   11:17 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menikmati suasana Glamping di Teras Merapi. Foto: Dok. Seknas Jaringan GUSDURian

KABUT tebal menyelimuti Teras Merapi, menyatu dengan raungan angin kencang dan derasnya hujan yang tak kenal ampun. Tenda-tenda berjejer rapi di luar, menggigil di bawah hantaman cuaca liar. Di dalam pendopo tempat kami berteduh, suara angin menderu, berdesir melalui celah dinding bata.

Air perlahan merembes dari jendela swing dengan kusen aluminium yang tak lagi rapat, sementara tetesan dari atap genteng bocor menggenangi tikar plastik yang sudah terkoyak di beberapa sisi.

Udara dingin menusuk, terasa asing bagi tubuh yang terbiasa terbakar panas, tercekik polusi udara, dan terhantam polusi suara. Suhunya sekitar 19°C, menggigit hingga ke tulang-belulang, membawa sunyi yang nyalang.

Sabtu, 30 November 2024. Beberapa hari setelah Auni menikah, luka di hati masih terasa basah, seperti tanah yang baru saja disiram hujan yang membuncah. Saya memindai sekitar, mencari makna di tengah gigil dan kabut yang enggan memudar.

"Wah, Mahéng akamsi (anak kampung sini)! Orang-orang pakai jaket tebal, dia cuma pakai kaos," celetuk Mas Jay sambil terkekeh.

Saya tersenyum tipis. Ya, saya hanya mengenakan t-shirt dongker bertuliskan "Perdamaian tanpa keadilan adalah ilusi" dalam bahasa Arab. Kata-kata itu terasa berat, seperti membawa beban yang sulit dicerna, tetapi entah kenapa, saya memilih mengenakannya hari ini.

Tulisan itu mengilik pikiran saya, merenungkan apa arti keadilan yang lebih luas, tidak hanya untuk manusia, tetapi juga untuk belantara.

Angin terus berbisik, membawa serta pertanyaan-pertanyaan yang menggelitik. Kami, manusia, seringkali lantang bersuara tentang keadilan sosial, namun bagaimana dengan keadilan ekologis?

Alam, yang telah memberi begitu banyak, seringkali menjadi korban keegoisan manusia!

Banyak yang mengaku mencintai alam, namun tindakan mereka justru berkata sebaliknya. Sampah berserakan di sekitar tenda, setelah alam dijadikan panggung untuk pamer diri. Tempat berfoto dengan latar megah, namun tanpa benar-benar menghormati dan merawatnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Joglosemar Selengkapnya
Lihat Joglosemar Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun