Kalimat itu membuat saya merenung. Benar, Merapi hanyalah sebuah gunung berapi yang melakukan apa yang seharusnya dilakukannya.
Lahar panas mengalir mengikuti jalur alamiahnya. Justru kita sebagai manusia yang sering kali lupa diri, membangun pemukiman di tempat yang seharusnya tidak ditempati. Kita yang mengusik keseimbangan alam dan kemudian mengeluh ketika alam memberikan balasannya.
SETELAH puas berswafoto di museum, para sopir jeep membawa kami menuju Bukit Triangulasi, yang terletak di kawasan The Lost World Park. Bukit ini menandai batas terakhir di mana manusia diizinkan tinggal di lereng Merapi. Setelah wilayah ini, tidak ada yang diperbolehkan membangun rumah atau menetap sebab alasan keselamatan.
Di puncaknya, berdiri tugu batu setinggi 70 cm dengan simbol silang bertitik dua, penanda wilayah rawan bencana. Tugu ini, yang sudah ada sejak era kolonial, menegaskan larangan tinggal di area berbahaya tersebut.
Bukit Triangulasi, dengan ketinggian sekitar 70 meter, dikelilingi berbagai spot foto seperti rumah hobbit, miniatur Gunung Merapi, dan tulisan ikonik Bukit Triangulasi.
Di puncaknya terdapat pendopo besar yang menaungi tugu batu, menjadi tempat wisatawan beristirahat setelah mendaki anak tangga yang cukup curam.
Kami hanya singgah beberapa jenak. Bagi saya, Bukit Triangulasi terasa terlalu dibangun, menyerupai banyak spot foto lain dengan lanskap hutan. Konsepnya tak lepas dari kapitalisasi dan eksploitasi ekologis, dengan gardu pandang, flying fox, dan latar vegetasi tropis yang lebat.
Bunker Kaliadem di Kepuharjo, Kapanewon Cangkringan, Sleman, menjadi destinasi terakhir dalam volcano tour kami. Dibangun sekitar tahun 2000-an oleh Pemerintah Kabupaten Sleman, bunker ini awalnya dirancang sebagai tempat perlindungan dari awan panas Gunung Merapi.
Namun, bunker ini juga menyimpan kisah tragis. Pada 14 Juni 2006, Gunung Merapi meletus dahsyat, menyemburkan awan panas atau "wedhus gembel" yang menutupi bunker.
Dua relawan yang berlindung di dalamnya ditemukan meninggal akibat panas ekstrem yang menyelimuti ruang sempit berukuran 7 meter panjang, 2,5 meter lebar, dan 2,5 meter tinggi, meskipun bunker ini dilengkapi ventilasi dan pintu besi.
Dalam perjalanan pulang, salah satu teman saya tiba-tiba berceletuk, "Mengapa bekas bencana menjadi hiburan untuk manusia?" Pertanyaan itu, sederhana namun menusuk, menjadi penutup perjalanan kami kali ini, menyisakan ruang untuk merenung di tengah deru jeep yang melaju turun [Mahéng].