Mohon tunggu...
Mahéng
Mahéng Mohon Tunggu... Penulis - Author

Hidup adalah perpaduan cinta, tawa, dan luka. Menulis menjadi cara terbaik untuk merangkai ketiganya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menjadi Auni, Perempuan Mandiri di Tengah Tradisi Patriarki

15 November 2024   14:49 Diperbarui: 15 November 2024   15:01 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Auni. Foto: Digenerasi dengan kecerdasan buatan.

Setiap akhir adalah awal dari sebuah perjalanan baru, dan yang paling akhir dari sebuah perjalanan adalah pengalaman, dan yang paling akhir dari sebuah pengalaman adalah pengamalan. 

Di tengah perasaan yang berat, saya mencoba menghibur diri dengan memutar lagu Maha Melihat yang dinyanyikan oleh Opick feat. Amanda. 

Ada satu bagian dari liriknya yang selalu saya dengarkan berulang-ulang,  liriknya begini: 'Yang dicinta 'kan pergi, yang didamba 'kan hilang, hidup kan terus berjalan, meski penuh dengan tangisan.'

Lirik tersebut mengingatkan saya pada perjalanan yang sedang saya jalani. Aunur Rofiq Lil Firdaus, begitu lihai dalam menulis lirik, sehingga mampu menggambarkan apa yang saya rasakan sekarang.

Kenapa begitu relevan? Sebab saat ini, saya sedang menghadapi kenyataan pahit: saya tidak berhasil menikahi kekasih yang telah menemani saya selama enam tahun. Ia terpaksa menerima pinangan laki-laki lain.

Sehingga, angka perkawinan turun akibat saya tidak jadi menikah. Hehe. Saya loh ya, dianya jadi!

Setiap hubungan, apa pun itu statusnya—pacaran, menikah—meski berakhir, entah dengan perpisahan, atau pun dengan kematian. 

Dulu, saya sangat berharap kami bisa dipisahkan oleh kematian. Mungkin, itu terdengar tragis atau berlebihan, tetapi pada saat itu, saya merasa bahwa perpisahan secara alami, yang datang dengan cara yang pasti dan tak terelakkan, akan lebih mudah saya terima. 

Saya bayangkan, jika itu yang terjadi, saya tidak perlu merasakan sakit yang datang dari keputusan yang harus dibuat, dari kenyataan bahwa kami harus berpisah. 

Kenyataan berkata lain. Perpisahan ini datang tanpa peringatan, tanpa semacam "izin" atau persetujuan dari hati saya. 

Saya tidak dipersiapkan untuk itu. Tapi Auni telah mempersiapkannya, bahkan sampai menulis buku untuk melepaskan kepergian saya. 

Saya tidak bermaksud menyalahkan siapa pun dari perpisahan ini. Menjadi Auni, sebagaimana panggilan sayang saya untuknya, tidak mudah. 

Ia hidup di lingkungan yang tidak berpihak kepadanya. Suatu waktu, dalam telepon "perpisahan" kami, Auni berkata dengan suara serak, "Betapa pedihnya ketika kebebasan untuk memilih, untuk menentukan hidup kita, dirampas hanya karena kita perempuan." 

Di ujung telepon, Auni bertanya, “Jun,” begitu panggilan sayangnya terhadap saya, “Bisakah aku jadi perempuan mandiri?” Suaranya terdengar ragu, dan saya bisa merasakan ketakutannya yang dalam. 

Saya bergeming, tidak punya kosakata untuk menjawabnya. 

Bagaimana bisa saya meyakinkannya bahwa dia bisa mencapai semua yang dia inginkan, sementara kami harus berpisah dengan luka yang masih basah?

“Auni, kamu akan jadi penulis yang hebat,” jawab saya, berusaha menenangkan hatinya. 

“Jangan berhenti menulis ya, itu pesanku yang pertama. Kedua, semoga jika kamu punya anak nanti, jangan sampai apa yang kamu alami juga dialami oleh anakmu.”  

Saya tau, kata-kata saya takkan bisa menggantikan kenyataan pahit yang harus kami hadapi, tapi saya juga ingin dia tau bahwa dia lebih dari sekadar peran yang ditentukan oleh tradisi. 

Auni adalah perempuan hebat yang telah mengubah saya dalam enam tahun kami bersama, dan saya yakin, dunia akan mengenalnya suatu saat nanti.

 “Mungkin kita akan bertemu di sebuah forum ketika kamu sudah menjadi penulis yang sukses,” lanjut saya, berusaha memberikan sedikit harapan di tengah perpisahan yang sulit ini. “Ingat dua pesanku ini, Auni. Kamu tidak sendiri.”

Perjuangan Auni mirip seperti Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, seorang perempuan dengan jiwa merdeka yang menolak tunduk pada kebengisan penjajahan. 

Kata-kata Nyai masih terngiang di benak, "Kita sudah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya."

Sebagai perempuan di lingkungan yang penuh batasan patriarki, Auni memang tak punya kekuatan untuk mengambil keputusan penting yang berkaitan dengan hidupnya. 

Namun, perjuangannya selama bertahun-tahun, melawan apa yang dianggap sebagai takdir, adalah bentuk perlawanan yang gagah berani, termasuk melawan sikap saya yang kadang begitu menjengkelkan. 

Ada banyak kekecewaan Auni terhadap saya, sebab tidak jarang kami berbeda dalam mendefinisikan sesuatu.

Sampai suatu waktu, Auni tantrum dan berujar, "Jun, kamu egois karena memegang teguh prinsipmu. Jika kedua tanganmu berpegang pada prinsipmu, lalu tangan mana yang akan dipakai untuk meraih tanganku?"

Mungkin Auni benar. Saya memang sulit sekali mengatakan "ya" pada sesuatu yang hati dan kepala saya tegaskan "tidak". Jika itu membuat saya terlihat kurang peka, maafkan saya, Auni.

Kepekaan saya, barangkali, telah lama dibungkam sejak kecil oleh lingkungan, oleh militer Indonesia, yang menuntut saya lebih banyak tunduk, hingga sekarang saya menjadi pembangkang.

Maafkan saya, Auni, jika pada akhirnya saya harus terjebak dalam prinsip-prinsip yang saya pegang. Prinsip-prinsip ini yang selama ini membuat saya merasa utuh, meskipun pada akhirnya, merekalah yang membuat saya kehilanganmu.

Semoga Allah mengangkat derajat kedua keluarga kita, dan yang terpenting, saya belajar untuk lebih menghargai setiap momen yang kita lalui bersama. 

Auni, kamu akan selalu menjadi bagian dari hidup saya. Semoga kita bisa bertemu kembali di masa depan, sebagai dua orang yang telah tumbuh dan berubah. 

Menjadi versi terbaik menurut kita masing-masing. Sekali lagi, maafkan saya. Dan semoga pernikahanmu membawa kebahagiaan yang tak terhingga [Mahéng]. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun