Perjuangan Auni mirip seperti Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, seorang perempuan dengan jiwa merdeka yang menolak tunduk pada kebengisan penjajahan.
Kata-kata Nyai masih terngiang di benak, "Kita sudah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya."
Sebagai perempuan di lingkungan yang penuh batasan patriarki, Auni memang tak punya kekuatan untuk mengambil keputusan penting yang berkaitan dengan hidupnya.
Namun, perjuangannya selama bertahun-tahun, melawan apa yang dianggap sebagai takdir, adalah bentuk perlawanan yang gagah berani, termasuk melawan sikap saya yang kadang begitu menjengkelkan.
Ada banyak kekecewaan Auni terhadap saya, sebab tidak jarang kami berbeda dalam mendefinisikan sesuatu.
Sampai suatu waktu, Auni tantrum dan berujar, "Jun, kamu egois karena memegang teguh prinsipmu. Jika kedua tanganmu berpegang pada prinsipmu, lalu tangan mana yang akan dipakai untuk meraih tanganku?"
Mungkin Auni benar. Saya memang sulit sekali mengatakan "ya" pada sesuatu yang hati dan kepala saya tegaskan "tidak". Jika itu membuat saya terlihat kurang peka, maafkan saya, Auni.
Kepekaan saya, barangkali, telah lama dibungkam sejak kecil oleh lingkungan, oleh militer Indonesia, yang menuntut saya lebih banyak tunduk, hingga sekarang saya menjadi pembangkang.
Maafkan saya, Auni, jika pada akhirnya saya harus terjebak dalam prinsip-prinsip yang saya pegang. Prinsip-prinsip ini yang selama ini membuat saya merasa utuh, meskipun pada akhirnya, merekalah yang membuat saya kehilanganmu.
Semoga Allah mengangkat derajat kedua keluarga kita, dan yang terpenting, saya belajar untuk lebih menghargai setiap momen yang kita lalui bersama.
Auni, kamu akan selalu menjadi bagian dari hidup saya. Semoga kita bisa bertemu kembali di masa depan, sebagai dua orang yang telah tumbuh dan berubah.