Saya tidak bermaksud menyalahkan siapa pun dari perpisahan ini. Menjadi Auni, sebagaimana panggilan sayang saya untuknya, tidak mudah.
Ia hidup di lingkungan yang tidak berpihak kepadanya. Suatu waktu, dalam telepon "perpisahan" kami, Auni berkata dengan suara serak, "Betapa pedihnya ketika kebebasan untuk memilih, untuk menentukan hidup kita, dirampas hanya karena kita perempuan."
Di ujung telepon, Auni bertanya, “Jun,” begitu panggilan sayangnya terhadap saya, “Bisakah aku jadi perempuan mandiri?” Suaranya terdengar ragu, dan saya bisa merasakan ketakutannya yang dalam.
Saya bergeming, tidak punya kosakata untuk menjawabnya.
Bagaimana bisa saya meyakinkannya bahwa dia bisa mencapai semua yang dia inginkan, sementara kami harus berpisah dengan luka yang masih basah?
“Auni, kamu akan jadi penulis yang hebat,” jawab saya, berusaha menenangkan hatinya.
“Jangan berhenti menulis ya, itu pesanku yang pertama. Kedua, semoga jika kamu punya anak nanti, jangan sampai apa yang kamu alami juga dialami oleh anakmu.”
Saya tau, kata-kata saya takkan bisa menggantikan kenyataan pahit yang harus kami hadapi, tapi saya juga ingin dia tau bahwa dia lebih dari sekadar peran yang ditentukan oleh tradisi.
Auni adalah perempuan hebat yang telah mengubah saya dalam enam tahun kami bersama, dan saya yakin, dunia akan mengenalnya suatu saat nanti.
“Mungkin kita akan bertemu di sebuah forum ketika kamu sudah menjadi penulis yang sukses,” lanjut saya, berusaha memberikan sedikit harapan di tengah perpisahan yang sulit ini. “Ingat dua pesanku ini, Auni. Kamu tidak sendiri.”