API UNGGUN berkedip pelan, malu-malu menyalang di antara dinginnya malam. Di sekitarnya, keheningan dipecahkan oleh desahan ombak yang tak henti-henti merayap ke bibir pantai.
Caraka berdiri mematung, memandang sosok di kejauhan yang sangat ia kenal dan terlalu kenal.
Cahaya bulan tipis menelusuri lekuk wajah Auni, menambahkan kesan dingin pada pertemuan yang sudah lama mereka hindari.
Di sini, di tempat mereka pernah menyatu, kini hanya ada kesepian yang memisahkan. Tatapan mereka bertemu, memancarkan perpaduan antara kerinduan dan penyesalan. Ribuan kata seolah ingin terucap, tapi terjebak di balik dinding ego.
Ada sesuatu di mata mereka—keheningan yang dalam, namun riuh oleh kenangan.
Sudah sekian purnama. Namun malam ini, di tempat yang dulu menjadi saksi awal kisah mereka, ada sesuatu yang terasa asing sekaligus akrab.
Caraka merasakan dadanya bergetar hebat. Ia tak tau, apakah getaran itu cinta, atau hanya sisa dari pertengkaran terakhir mereka yang belum benar-benar selesai.
Caraka melangkah maju, meski setiap langkah terasa berat. Seakan setiap butir pasir yang diinjaknya memanggil kembali kenangan—senyuman Auni, tawa mereka saat berlari-larian di sepanjang pantai, hingga perdebatan kecil yang selalu berakhir dengan pelukan hangat.
Namun kini, semuanya terasa seperti bayang-bayang yang menghantui, menimbulkan rasa rindu sekaligus sakit. “Auni,” panggil Caraka lirih, suaranya serak. “Sudah lama?”
Auni hanya mengangguk, matanya tetap lurus ke depan. “Ya, sudah lama.” Dia menggenggam pasir, memainkan butir-butirnya di antara jari-jarinya.
Hening mengalingi mereka. Caraka sangat ingin memeluknya, mengatakan betapa menyesalnya ia, tetapi kata-kata seakan terjebak di tenggorokannya. Ia ingat betul malam terakhir mereka, saat pertengkaran berubah menjadi badai yang menghancurkan hubungan mereka.