“Aku masih ingat malam itu,” kata Auni dengan suara datar, wajahnya tidak menunjukkan emosi. “Kata-kata kasarmu menusuk hatiku seperti pisau Raka.”
Caraka menunduk, merasakan penyesalan yang mendalam. “Aku tau, dan aku sangat menyesal. Aku terlalu egois saat itu.”
“Kita sama-sama egois,” balas Auni. “Kita berdua tidak mau mengalah.”
“Aku egois, dan kamu juga egois karena memegang teguh prinsipmu. Jika kedua tanganmu berpegang pada prinsipmu, lalu tangan mana yang akan dipakai untuk meraih tanganku?” kata Auni, tatapannya penuh tantangan.
Caraka tertegun, merasa seolah disergap oleh pertanyaan yang begitu dalam. Apa artinya prinsip jika menghalangi dua hati yang saling mencintai?
Ia menyadari betapa egoisme mereka telah membangun dinding tebal di antara mereka.
“Jika kita terus berpegang pada prinsip masing-masing, kita akan kehilangan satu sama lain,” jawabnya dengan suara pelan, berusaha menyusun kata-kata dengan hati-hati. “Tapi aku... aku tidak ingin kehilanganmu, Auni. Apa prinsip itu sebanding dengan cinta yang kita miliki?”
Gelombang terus menghantam karang dengan garang, gemerciknya memecah kesunyian malam yang mencekam. Pantai tersembunyi di antara dua tebing terjal itu terasa begitu sunyi, seolah dunia hanya berisi Caraka, Auni, dan deburan ombak.
Angin laut membawa embusan dingin yang menusuk tulang, namun anehnya, Auni merasa nyaman berada di sini. Ia tertidur di pangkuan Caraka, sesekali mengigau lepas. Bintang-bintang berkerlap-kerlip di langit, seolah ribuan mata yang mengawasi dari kejauhan agar Caraka tidak berbuat macam-macam.
Pasir lembut menyelimuti kaki mereka, dan suara ombak menjadi lullaby yang menenangkan. Di sini, di tengah kegelapan dan kesunyian, mereka merasa begitu kecil namun begitu terhubung dengan alam semesta.
"Kamu bangun, Auni? Katanya enggak mau tidur semalaman?" ledek Caraka, senyumnya tipis.