Mohon tunggu...
Mahéng
Mahéng Mohon Tunggu... Penulis - Travel Writer

Lahir di Aceh, Terinspirasi untuk Menjelajahi Indonesia dan Berbagi Cerita Melalui Karya

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Buku Murah Rp1.000? Hati-hati, Palsu! Ancaman Pembajakan Buku Bagi Literasi Bangsa

20 Mei 2024   11:31 Diperbarui: 20 Mei 2024   11:36 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika untuk membeli gawai terbaru saja kita rela menabung, mengapa untuk mengulak satu buku original saja kita harus linglung?

Pernahkah kamu menemukan buku dengan harga yang sangat murah dan tidak wajar, bahkan hanya Rp1.000 di lokapasar? Jika ya, hati-hati, sebab besar kemungkinan buku tersebut adalah bajakan.

Pembajakan buku merupakan masalah yang sangat serius yang dihadapi industri penerbitan di Indonesia. Hal ini tidak hanya merugikan penerbit, penulis, dan toko buku, tetapi juga berdampak negatif bagi perkembangan literasi bangsa.


Dalam Buku Tamu #4 Edisi Spesial pada Sabtu, 18 Mei 2024 lalu, Komunitas Kolaborasi Buku mengundang Wawan Arif, Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) D.I Yogyakarta. Dari diskusi bersama Wawan, terungkap bahwa pembajakan buku di era digital semakin marak.

Para pembajak memanfaatkan stan online seperti lokapasar untuk menjual buku elektronik dan buku versi Portable Document Format (PDF) serta buku fisik dengan harga yang tidak lazim.

Menurut penuturan Wawan, dulu, sebelum era online, buku bajakan mudah ditemui di toko-toko buku. Pertanyaan "Mau yang asli apa yang KW?" sudah menjadi template umum. 

Para penjual tak segan menawarkan buku bajakan kepada Wawan sendiri sebagai pelaku penerbitan, dan bahkan ada toko yang menawarkan buku bajakan kepada penulisnya sendiri.

Di era digital, pembajakan buku semakin dahsyat. E-book bajakan dengan harga sangat murah bertebaran di situs dan toko buku daring. Hal ini disebabkan oleh ketidakjelasan regulasi dan ketidaktegasan hukuman terkait penjualan buku elektronik maupun buku fisik bajakan di lokapasar.

"Ini pasti ilegal. Kami sudah mendata bahwa hingga hari ini belum ada buku elektronik yang dijual secara official oleh para penerbit melalui lokapasar seperti Shopee," kata Wawan.

Wawan menambahkan bahwa saat ini pembelian buku elektronik resmi masih didominasi oleh perpustakaan seperti Perpusnas. Penjualan retail masih minim, meskipun ada beberapa platform yang mulai muncul.

Ancaman yang Semakin Berbahaya Bagi Penerbit Indie 

Pembajakan buku tak hanya merugikan industri perbukuan secara keseluruhan, tetapi juga menjadi ancaman serius bagi para penerbit rintisan (indie) atau UMKM.

Penerbit indie, dengan modal yang terbatas, ibarat sniper yang harus tepat sasaran dalam meluncurkan buku. Mereka hanya memiliki "satu peluru", yaitu satu buku dalam sebulan yang mereka produksi. Jika bukunya dibajak, maka kerugiannya akan berlipat ganda. Sudah jatuh tertimpa eskalator!

Berbeda dengan penerbit besar yang memiliki "senjata bombardir", mereka dapat memproduksi banyak buku dan menebarkan luasnya. Jika ada beberapa buku yang dibajak, mereka masih memiliki modal sehingga bisa memperkarakan secara hukum terhadap pelaku pembajakan.

Sebab itu, penting bagi masyarakat untuk memahami bahaya pembajakan buku. Membeli buku dari sumber resmi dan melaporkan jika menemukan buku bajakan adalah langkah kecil yang dapat membantu melindungi industri perbukuan dan menumbuhkan ekosistem kreatif di Indonesia. 

Minimnya Payung Hukum dan Dukungan Pemerintah

Meskipun terdapat Undang-undang Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan, namun menurut Wawan masih terdapat kekurangan dalam regulasi yang lebih detail. Turunan dari undang-undang tersebut, seperti peraturan daerah, belum ada.

Contoh nyata dari minimnya perlindungan hukum adalah kasus Toko Buku Gunung Agung yang gulung tikar. Pemerintah tidak turun tangan untuk membantu, meskipun toko buku tersebut merupakan salah satu toko buku terbesar di Indonesia dan memiliki peran penting dalam memajukan industri perbukuan.

Hal ini berbeda dengan sektor lain seperti perbankan, di mana pemerintah sering memberikan bantuan saat terjadi krisis.

Suasana Buku Tamu #4. Foto: Dok. Kolaborasi Buku
Suasana Buku Tamu #4. Foto: Dok. Kolaborasi Buku

Wawan membandingkan situasi di Indonesia dengan negara lain seperti Malaysia. Di Malaysia, pemerintah menunjukkan kepedulian yang tinggi terhadap industri perbukuan. 

Masyarakat yang membeli buku dalam jumlah tertentu dalam satu tahun akan mendapatkan potongan pajak pribadi sekitar RM100. Kebijakan ini mendorong masyarakat untuk membeli buku dan meningkatkan minat baca.

Wawan bercerita di India terdapat komite khusus yang bertugas mengawal harga kertas. Komite ini berperan dalam mengendalikan harga kertas sehingga tingkat produksi buku di India relatif stabil dan jauh lebih besar dibandingkan dengan Indonesia.

Harga kertas yang stabil merupakan salah satu faktor penting dalam menjaga kelangsungan industri perbukuan. Fluktuasi harga kertas dapat menyebabkan kenaikan biaya produksi buku, dan pada akhirnya membebani konsumen. Belum lagi ongkos kirim ke daerah yang jauh dari Pulau Jawa terkadang lebih mahal dari harga buku itu sendiri.

Pembajakan Buku Tidak Hanya Dilakukan oleh Pembeli

Pelanggaran hak cipta tidak hanya dilakukan oleh pembeli. Suhairi Ahmad, salah satu peserta diskusi, menceritakan pengalamannya melihat praktik penerbitan yang tidak etis di beberapa penerbit di Yogyakarta, yang menerapkan prinsip "asal terjemahkan, asal terbitkan, asal dijual" karya orang lain tanpa izin resmi. Pelaku pelanggaran hak cipta ini pun beragam, dari penerbit kecil hingga besar.

Selain itu, diskusi juga membahas tentang minimnya regulasi yang jelas terkait berbagai aspek industri perbukuan, termasuk pengupahan pekerja buku. Biaya layout dan proofreading, misalnya, masih bervariasi dan belum memiliki standar yang jelas.

Selain membahas maraknya pembajakan buku oleh toko buku abal-abal dan pelanggaran hak cipta oleh penerbit, Buku Tamu #4 juga mengangkat isu monopoli oleh beberapa penerbit besar. 

Hal ini disampaikan oleh salah satu peserta diskusi lainnya, Ahmad Hedar, yang mengamati adanya "ekosistem persaingan usaha tidak sehat" dalam industri buku pelajaran, di mana "hanya dimonopoli oleh penerbit-penerbit tertentu".

Pembajakan buku dan pelanggaran hak cipta adalah ancaman serius bagi industri perbukuan Indonesia. Dampaknya tak hanya merugikan para penerbit, penulis, dan toko buku, tetapi juga menghambat perkembangan literasi bangsa.

Apa yang bisa kita lakukan? Belilah buku original dan laporkan jika menemukan buku bajakan!

Aksi kecilmu hari ini dapat membuat perubahan besar untuk masa depan literasi Indonesia [mhg].

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun