Pembajakan buku tak hanya merugikan industri perbukuan secara keseluruhan, tetapi juga menjadi ancaman serius bagi para penerbit rintisan (indie) atau UMKM.
Penerbit indie, dengan modal yang terbatas, ibarat sniper yang harus tepat sasaran dalam meluncurkan buku. Mereka hanya memiliki "satu peluru", yaitu satu buku dalam sebulan yang mereka produksi. Jika bukunya dibajak, maka kerugiannya akan berlipat ganda. Sudah jatuh tertimpa eskalator!
Berbeda dengan penerbit besar yang memiliki "senjata bombardir", mereka dapat memproduksi banyak buku dan menebarkan luasnya. Jika ada beberapa buku yang dibajak, mereka masih memiliki modal sehingga bisa memperkarakan secara hukum terhadap pelaku pembajakan.
Sebab itu, penting bagi masyarakat untuk memahami bahaya pembajakan buku. Membeli buku dari sumber resmi dan melaporkan jika menemukan buku bajakan adalah langkah kecil yang dapat membantu melindungi industri perbukuan dan menumbuhkan ekosistem kreatif di Indonesia.Â
Minimnya Payung Hukum dan Dukungan Pemerintah
Meskipun terdapat Undang-undang Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan, namun menurut Wawan masih terdapat kekurangan dalam regulasi yang lebih detail. Turunan dari undang-undang tersebut, seperti peraturan daerah, belum ada.
Contoh nyata dari minimnya perlindungan hukum adalah kasus Toko Buku Gunung Agung yang gulung tikar. Pemerintah tidak turun tangan untuk membantu, meskipun toko buku tersebut merupakan salah satu toko buku terbesar di Indonesia dan memiliki peran penting dalam memajukan industri perbukuan.
Hal ini berbeda dengan sektor lain seperti perbankan, di mana pemerintah sering memberikan bantuan saat terjadi krisis.
Wawan membandingkan situasi di Indonesia dengan negara lain seperti Malaysia. Di Malaysia, pemerintah menunjukkan kepedulian yang tinggi terhadap industri perbukuan.Â