Mohon tunggu...
Mahéng
Mahéng Mohon Tunggu... Penulis - Author

Hidup adalah perpaduan cinta, tawa, dan luka. Menulis menjadi cara terbaik untuk merangkai ketiganya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengenang Joko Pinurbo: Maestro Puisi yang Mengubah Pandangan Kita terhadap Bahasa Indonesia

27 April 2024   14:51 Diperbarui: 28 April 2024   14:43 988
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Joko Pinurbo and Beauty in the Everyday World. Foto: KOMPAS/RIAN SEPTIANDI

Puisi Joko Pinurbo bak cermin yang memantulkan realitas kehidupan sehari-hari dengan sentuhan humor dan ironi yang menggelitik.

Tidak sengaja, saya melihat status di aplikasi pesan singkat seorang teman yang menginfokan bahwa Joko Pinurbo Berpulang

Pria yang akrab dipanggil Jokpin itu meninggal dunia di usia 61 tahun, Sabtu 27 April 2024, pukul 06.03 WIB di RS Panti Rapih, Yogyakarta. Biarpun 11 Mei 2024 bulan depan, Jokpin akan merayakan ulang tahunnya yang ke-62.

Awalnya, saya hanya mengenalnya sebagai penulis puisi. Namun, ketertarikan saya benar-benar muncul setelah menonton videonya membacakan syair Doa Orang Sibuk yang 24 Jam Sehari Berkantor di Ponselnya.


Puisi Doa Orang Sibuk karya Joko Pinurbo begitu dekat dengan realitas kehidupan. Sentuhan humor dan ironinya membuat puisi ini terasa relatable bagi banyak orang.

Menggambarkan bagaimana manusia modern begitu terikat erat dengan gawainya. Bagi saya, sangat subjektif tentunya, hal ini terasa menggelikan.

Jadi jangan heran, ketika diajak nongkrong oleh teman, namun mereka malah sibuk bermain peranti elektronik daripada mengobrol dengan saya, maka saya memilih untuk pulang.

Lebih ironis lagi, manusia zaman sekarang bahkan bisa tantrum ketika lupa membawa telepon genggam, rela kembali ke rumah meskipun sudah setengah perjalanan.

Kedekatan puisi Joko Pinurbo dengan realitas kehidupan sehari-hari inilah yang membuatnya begitu mudah digemari. 

Joko Pinurbo dengan cerdas menyoroti berbagai penyakit manusia modern di era digital: mudah merasa kesepian, dirundung rindu, dan baper.

Selain itu, manusia modern juga semakin tidak sabar terhadap waktu dan menginginkan segala sesuatunya serba tergesa-gesa. 

Salah satu contohnya adalah banyak manusia yang ingin kaya secara instan, sehingga terjebak oleh investasi bodong, penipuan, dan segala yang serupa dengannya.

Saya jadi ingat, saat masih di bangku sekolah, saya selalu merasa kesulitan memahami puisi-puisi yang ada di buku pelajaran. Panduannya begitu kaku, pagu, pakem, penuh aturan, sehingga membatasi imajinasi saya.

Setiap kali guru meminta kami untuk menulis puisi, saya selalu kesulitan menemukan contoh puisi yang dapat menginspirasi saya. Satu-satunya contoh yang sering diberikan adalah puisi Aku karya Chairil Anwar.

Meskipun puisi Chairil memiliki keunikannya sendiri dengan gaya yang meledak-ledak dan penuh semangat, sebagai seorang siswa, saya merasa sulit untuk mengimajinasikan dan meniru gaya penulisannya yang terkesan tidak dekat dengan apa yang kami alami dalam keseharian.

Buku pelajaran di sekolah saya menjelaskan bahwa puisi memiliki aturannya sendiri yang tidak boleh diganggu gugat, seperti rima yang harus teratur, penulisan dalam bentuk baris-baris, dan penggunaan kata-kata yang indah namun klise. Hal ini membuat saya merasa puisi tidak relevan dengan kehidupan nyata yang tidak selalu indah.

Lebih membingungkan lagi, makna "indah" dalam puisi pun sangat subjektif dan interpretatif. Setiap orang bebas menafsirkannya sendiri.

Hal ini ditegaskan kembali oleh sastrawan kawakan Joni Ariadinata beberapa waktu lalu dalam sebuah forum. Joni menyatakan bahwa seribu orang yang membaca puisi yang sama dapat memiliki seribu penafsiran yang berbeda, dan semua penafsiran tersebut sama-sama valid.

Barulah ketika saya kuliah di Yogyakarta, saya menemukan dunia puisi yang lebih luas dan beragam. 

Di sanalah, saya diperkenalkan dengan karya Joko Pinurbo dan Joni Ariadinata, dua penyair yang berani keluar dari pakem puisi tradisional. Membaca karya mereka bagaikan menyaksikan percakapan dua orang atau lebih yang tertuang dalam bait-bait puisi.

Karya mereka tidak terikat pada aturan rima yang kaku, seperti pola a-b-a-b, namun tetap nyaman di telinga.

Berbeda dengan anggapan umum, Joko Pinurbo memandang puisi bukan sebagai sesuatu yang sakral dan patut diagung-agungkan. Ia tidak menganggap puisi sebagai karya agung yang turun dari langit tanpa cacat.

Dalam kuliah umum di Fakultas Bahasa dan Seni UNY tahun 2019, Jokpin menjelaskan bahwa alih-alih terpaku pada pakem pagu, justru menulis puisi adalah tentang "mempermainkan" tata bahasa Indonesia.

Ia menekankan bahwa bahasa Indonesia memiliki kekayaan permainan kata yang tidak ditemukan dalam bahasa lain, sehingga ketika ada yang mengatakan kosakata Bahasa Indonesia miskin, itu sepenuhnya tidak tepat.

Sebagai contoh, Jokpin menyinggung puisinya Celana Ibu dan Tertimpa Kamus Kecil.

Dalam puisi Celana Ibu, ia bermain kata dengan "paskah" yang diubah menjadi "pas-kah?", sebuah kata tanya yang selaras dengan kata Paskah, hari suci umat Kristen. Permainan kata ini, menurut Jokpin, sulit untuk diterjemahkan ke bahasa lain.

Dalam puisi  Tertimpa Kamus Kecil, Jokpin mengungkapkan bahwa karyanya tersebut merupakan hasil penelitiannya terhadap kata-kata yang dibolak-balik dan menghasilkan makna baru. 

Ia menjelaskan bahwa proses kreatifnya membutuhkan waktu yang lama karena ia harus menyusun daftar kata-kata dari kamus.

Berbeda dengan anggapan umum bahwa inspirasi puisi datang dari momen-momen kontemplatif di alam, seperti mendaki gunung, berkemah  di pinggir pantai, Jokpin justru mendapatkan ilhamnya melalui proses yang sistematis dan terstruktur.

Ia bahkan berkelakar tentang anggapan bahwa pergi ke pantai, ke alam, untuk mendapatkan inspirasi menulis, termasuk menulis puisi, malah akan membuatnya masuk angin dan tidak menghasilkan karya apa pun.

Hari ini, tanggal 27 April 2024, sang empu puisi dan "pembela bahasa Indonesia" yang telah menerima berbagai penghargaan sastra telah berpulang ke pangkuan Yang Maha Kuasa. 

Mungkin Tuhan Yang Maha Pengasih sangat mengasihi Jokpin, sehingga Dia tak tega melihat Jokpin terus menerus terjerembab dalam dunia yang serba rapuh, tidak menghargai waktu, serba instan ini, serta terkungkung dalam gawai.

Mungkin Tuhan yang Maha Penyayang telah menjawab "panggilan telepon" dari Jokpin, mengajaknya bertemu dan bercengkrama, serta membebaskannya dari belenggu gadget yang selalu lengket di tangannya.

Selamat jalan, Sang Maestro. Titip salam pada Tuhan, penguasa alam semesta yang kekuasaan-Nya tidak pernah diperoleh dan digunakan dengan cara curang [mhg].

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun