Menulis bukanlah sesuatu yang bisa dikuasai dengan instan. Prosesnya panjang dan berkelanjutan, menuntut dedikasi dan kegigihan.
Bagi Haidar Musyafa, menulis adalah tentang menuangkan apa yang dia rasakan dan bagikan apa yang ia ketahui.Â
Lebih dari sekadar menuangkan ide, menulis adalah sebuah sarana untuk belajar dan berkembang.Â
Semakin banyak kita membaca, semakin kaya pula kosakata, diksi dan pengetahuan kita, yang pada akhirnya akan memudahkan kita dalam merangkai dan mengemasnya menjadi sebuah tulisan renyah.Â
Setiap penulis memiliki panutannya masing-masing. Haidar sendiri mengaku banyak terinspirasi oleh karya-karya Pramoedya Ananta Toer.Â
Gaya bahasa Pramoedya yang penuh ruh dan nuansa menjadikannya panutan bagi Haidar dalam mengembangkan gaya bahasanya sendiri.Â
"Saya banyak membaca karya-karya Pramoedya Ananta Toer karena ruh dan nuansa kata-katanya yang greget," ungkapnya.
Menjadi seorang penulis yang sukses tidaklah mudah. Haidar pun pernah mengalami masa-masa sulit, di mana naskahnya ditolak dan bahkan dibanting di depan matanya. Namun, dia tak patah arang dan terus belajar.
Setelah bertahun-tahun berjuang dan belajar, Haidar Musyafa telah menghasilkan puluhan judul buku. Di antaranya, banyak yang menjadi bestseller, seperti API REPUBLIK: Novel Biografi Hamengku Buwono IX, SOGOK AKU KAU KUTANGKAP: Novel Biografi Artidjo Alkostar, dan masih banyak lagi.
Kisah Haidar Musyafa menjadi bukti nyata bahwa kegigihan dan tekad yang kuat dapat mengantarkan seseorang menjadi penulis mutakhir.Â