Kompasianer, pernahkah kamu merasa putus asa atau bahkan frustrasi ketika artikelmu di Kompasiana tak dilirik, tak masuk konten pilihan, alih-alih artikel utama, atau terkubur di antara lautan karya Kompasianer ternama?Â
Ketahuilah, kamu tak sendiri. Hal ini wajar, termasuk bagi penulis kawakan dan perambah seperti saya sendiri.
Bahkan, saya yakin, kompasianer beken dan Juara Best In Specific Interest Kompasiana Award 2023 macam Sigit Eka Pribadi, dan Kompasianer Peringkat 3 dari 4.718.154 kompasianer, tahun 2023 seperti Isti Yogiswandani, Veronika Rotua Gultom yang telah bergabung 02 April 2015, dan cerpenis kondang seantero Kompasiana Y. Edward Horas S. dalam perjalanan menulis mereka pun pernah merasakan hal serupa.
Di balik karya-karya indah mereka di Kompasiana, terdapat perjuangan panjang dan rintangan yang tak terhitung jumlahnya.
Pada tanggal 10 Februari 2024 lalu, saya berkesempatan menjadi host di Buku Tamu #2, sebuah acara yang diselenggarakan oleh komunitas Kolaborasi Buku.
Acara ini menghadirkan Haidar Musyafa, seorang penulis dan aktivis literasi, untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan seputar dunia literasi dan kepenulisan.Â
"Hampir-hampir putus asa," kata Haidar Musyafa, saat menceritakan perjalanannya di dunia tulis menulis. Perasaan itu wajar, mengingat puluhan artikel dan naskah buku yang dia kirimkan ke berbagai media tak kunjung mendapatkan hasil.
"Gimana enggak putus asa coba?" tanyanya. "Menulis itu butuh modal, butuh beli rujukan, menyisakan waktu, dan menguras pikiran. Secara manusiawi, wajarlah kalau merasa putus asa."
Namun, pada tahun 2012, naskah keenam atau ketujuhnya diterima oleh salah satu penerbit. Kabar gembira ini datang setelah berbulan-bulan penantian. Haidar tak dapat menyembunyikan rasa senangnya.
Dukungan sang istri menjadi kunci penting dalam melewati masa-masa sulit. Sang istri selalu memotivasinya saat ia hampir menyerah. Kehadiran sosok yang memotivasi di saat putus asa memang sangatlah berarti.
"Ketika putus asa, kehadiran sosok yang memotivasi itu sangat perlu bagi saya," tukasnya.
Menulis bukanlah sesuatu yang bisa dikuasai dengan instan. Prosesnya panjang dan berkelanjutan, menuntut dedikasi dan kegigihan.
Bagi Haidar Musyafa, menulis adalah tentang menuangkan apa yang dia rasakan dan bagikan apa yang ia ketahui.Â
Lebih dari sekadar menuangkan ide, menulis adalah sebuah sarana untuk belajar dan berkembang.Â
Semakin banyak kita membaca, semakin kaya pula kosakata, diksi dan pengetahuan kita, yang pada akhirnya akan memudahkan kita dalam merangkai dan mengemasnya menjadi sebuah tulisan renyah.Â
Setiap penulis memiliki panutannya masing-masing. Haidar sendiri mengaku banyak terinspirasi oleh karya-karya Pramoedya Ananta Toer.Â
Gaya bahasa Pramoedya yang penuh ruh dan nuansa menjadikannya panutan bagi Haidar dalam mengembangkan gaya bahasanya sendiri.Â
"Saya banyak membaca karya-karya Pramoedya Ananta Toer karena ruh dan nuansa kata-katanya yang greget," ungkapnya.
Menjadi seorang penulis yang sukses tidaklah mudah. Haidar pun pernah mengalami masa-masa sulit, di mana naskahnya ditolak dan bahkan dibanting di depan matanya. Namun, dia tak patah arang dan terus belajar.
Setelah bertahun-tahun berjuang dan belajar, Haidar Musyafa telah menghasilkan puluhan judul buku. Di antaranya, banyak yang menjadi bestseller, seperti API REPUBLIK: Novel Biografi Hamengku Buwono IX, SOGOK AKU KAU KUTANGKAP: Novel Biografi Artidjo Alkostar, dan masih banyak lagi.
Kisah Haidar Musyafa menjadi bukti nyata bahwa kegigihan dan tekad yang kuat dapat mengantarkan seseorang menjadi penulis mutakhir.Â
Di balik karya-karyanya yang gemilang, terdapat perjuangan panjang dan rintangan yang tak terhitung jumlahnya.
Bagi Kompasianer yang sedang berjuang untuk menjadi penulis gemilang di Kompasiana, janganlah mudah menyerah. Teruslah berlatih, meningkatkan kemampuan menulis, dan belajar dari Kompasianer beken lain. Â Â
Menulis bukan sekadar pekerjaan profesional, melainkan sebuah aliran ruh ilahi. Seorang penulis yang baik adalah pembaca yang baik. Hal ini disinggung oleh Ahmad Zaki Fadlur Rohman dan ditegaskan oleh Haidar Musyafa dalam acara Buku Tamu #2.
Ketika menulis menjadi sebuah aliran jiwa, tujuan utama bukan lagi untuk menjadi artikel utama atau pilihan di Kompasiana. Melainkan, Kompasiana menjadi sarana atau wasilah, meminjam istilah Pramoedya, untuk bekerja demi keabadian.Â
"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama dia tidak menulis, dia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah," kata Pramoedya.
Last but not least, bangsa kita memang mudah lupa. Oleh karena itu, menulis menjadi salah satu metode ampuh untuk mengikat ingatan. Seperti kata orang bijak, "Sejelek-jeleknya tulisan, adalah sekuat-kuatnya ingatan."
Melalui tulisan, kita dapat mengabadikan peristiwa, ide, dan gagasan untuk generasi selanjutnya [mhg].
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H