Mohon tunggu...
Mahéng
Mahéng Mohon Tunggu... Penulis - Author

Hidup adalah perpaduan cinta, tawa, dan luka. Menulis menjadi cara terbaik untuk merangkai ketiganya.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Bincang Santai di Kebon Orchid: Menggali Masa Depan Filsafat Islam di Era Modern

17 Februari 2024   18:12 Diperbarui: 17 Februari 2024   18:16 533
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Beberapa anggrek langka bergantung di kebun mungil milik Ferry. Foto: dok. Faruq

Sinar mentari sepenggalah menembus petala kuda-kuda, gording, atau kasau kantor Griya Gusdurian, membawa hawa panas yang menusuk tulang. Sabtu, 17 Februari 2024 beberapa jenak, suara bising dari luar terdengar samar-samar, pertanda orang-orang sudah sibuk dengan aktivitas mereka.

Aku, di sisi lain, masih meringkuk erat-erat, enggan beranjak dari kasur yang hangat.

Rasa kantuk yang melanda membuatku terlena hingga siang hari. Ketika aku akhirnya membuka mata, rasa panik langsung menyelimuti diriku.

Buru-buru aku meraih gawai, dan sebuah broadcast dari Ferry Fitrianto, S.Sos., seorang penulis dan pemilik Kebun Orchid, membuyarkan lamunanku.

Aku membuka aplikasi pesan singkat dan mengetikkan pesan untuk Ferry. "Mas udah mulai belum? Aku bakal telat ini," tulisku dengan perasaan tidak enak.

Beberapa saat kemudian, sebuah balasan dari Ferry muncul di layar ponselku. "Belum ini, belum pada datang," tulisnya singkat.

Langkah kakiku tergesa-gesa, berusaha melawan rasa sempoyongan yang masih menyelimuti. Aku bergegas menuju kamar mandi untuk kemudian mengarahkan stir motor yang belum lunas ini menuju Kebun Orchid di RT 03 Demanga Gunungan, Pleret, Bantul.


Di sepanjang perjalanan, hiruk pikuk kota menyambutku. Jalanan penuh dengan kendaraan, dan orang-orang sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing. Aku melaju dengan kecepatan sedang, berusaha menikmati suasana pagi yang cerah.

Sinar matahari yang hangat menyapa kulitku, dan semilir angin pagi membelai mukaku. Perlahan, rasa panik yang tadi menyelimuti diriku mulai memudar, tapi tidak dapat memaafkan ketidaktepatan waktuku.

Keindahan pagi hari ini membantuku untuk kembali tenang dan fokus.

Kurang lebih pukul 9.50, aku akhirnya tiba di lokasi tujuan. Perasaan lega bercampur jengkel menyelimuti diriku. Aku sempat tersesat karena salah masuk gang mengikuti arahan tante Google Maps.

Hari ini adalah hari yang spesial. Peluncuran forum diskusi mingguan dengan tema Bincang Santai Masa Depan Filsafat Islam akan segera dimulai.

Ferry, sang penggagas forum, membuka acara dengan penuh semangat. "Filsafat Barat lebih menekankan pada empirisme," Ferry menjelaskan. "Sesuatu itu dilihat secara empiris, dan terkesan kering dari agama." 

"Sedangkan filsafat Islam memiliki landasan-landasan ilahiah," lanjutnya. 

Kebun Orchid milik Ferry menjadi contoh sempurna dari keseimbangan antara empirisme dan spiritualitas. Pohon-pohon anggrek di sana dirawat dengan cara yang sama, banyak memang yang hidup walakin beberapa mati. 

Hal ini menunjukkan bahwa ada kekuatan lain di luar faktor-faktor empiris yang berperan dalam kehidupan.

Hujan turun dengan derasnya, bagaikan simfoni alam yang mengiringi diskusi kami yang semakin syahdu. Jajanan pasar tersaji sederhana, menemani kami berempat yang tenggelam dalam pertukaran ide dan gagasan yang penuh semangat.

Meskipun hanya berempat, kami tidak merasa kekurangan. Justru, jumlah yang kecil ini membuat kami lebih fokus dan memiliki kesempatan yang sama untuk menyampaikan pendapat. 

Pertanyaan dari Faruq mengundang refleksi yang mendalam. "Apakah yang dimaksud dengan kematian filsafat Islam?" tanyanya. 

"Apakah kita hanya sekadar mempelajari konsep dan pemikiran para filsuf terdahulu, seperti Ibnu Rusyd, atau haruskah kita memunculkan konsep baru untuk menunjukkan bahwa filsafat Islam masih hidup?" 

Ferry merespon pertanyaan Faruq dengan penuh bijak. Dia menjelaskan bahwa kematian filsafat Islam bukan berarti tidak ada lagi filsuf Muslim yang muncul setelah Ibnu Rusyd. 

Tepatnya, setelah Ibnu Rusyd, tidak banyak filsuf Muslim murni yang muncul. Kebanyakan filsuf Muslim pada masa itu lebih condong ke tasawuf, seperti Suhrawardi Al-Maqtul, Mulla Sadra, dan Ibn Arabi. 

Bisa jadi, kematian filsafat Islam lebih merujuk pada ketiadaan pemikiran kritis dan inovatif dalam tradisi filsafat Islam.

Diskusi berakhir seirama dengan reda hujan. Walau begitu, kami tidak langsung beranjak pulang. Aku memanfaatkan kesempatan ini untuk berkeliling Kebun Anggrek Ferry, yang penuh pesona.

Sekitar 100 varian anggrek dari berbagai daerah di Indonesia menghiasi kebun mungil ini. Dari Dendrobium Papua yang anggun, Anggrek Bulai yang unik, hingga Papilionopsis Kalimantan yang menawan, semua terawat dengan penuh kasih sayang oleh Ferry.

Ferry menceritakan kisahnya dalam membangun kebun ini. Ia telah menghabiskan puluhan juta rupiah untuk membeli dan merawat anggrek-anggrek koleksinya. Bahkan, Anggrek Capung Kapuas yang sangat langka dihargai 5 juta per potnya. 

Setiap tanaman di kebun ini terawat dengan baik. Namun, beberapa di antaranya tetap mati. Fenomena ini menegaskan bahwa meskipun dirawat dengan penuh dedikasi, kematian tetap tak terelakkan. 

Ada kekuatan lain di luar kendali manusia yang menentukan hidup dan mati.

Hal ini menjadi pembeda antara filsafat Islam dan filsafat Barat. Filsafat Barat, seperti yang disinggung sebelumnya, lebih menekankan pada empirisme dan rasionalitas. Sementara itu, filsafat Islam mengakui adanya kekuatan ilahiah yang berperan dalam kehidupan. 

Ferry mampu menjelaskan detail tentang beberapa varietas anggrek dengan penuh semangat. Pengetahuannya yang luas dan kecintaannya pada anggrek terlihat jelas dalam setiap penjelasannya.

Menjelajahi Kebun Anggrek Ferry menjadi sebuah penutup yang sempurna untuk hari yang penuh dengan diskusi dan pembelajaran. Pengalaman ini memberikan banyak refleksi filosofis tentang kehidupan, kematian, dan kekuatan ilahiah. 

Di bio Instagramnya, Ferry mendeskripsikan dirinya sebagai Filsuf dan Sosiolog. Gelar Sarjana Sosiologi Agama yang ia sandang menjadi landasan pengetahuannya.

Akhirnya, aku sendiri mendapuk Ferry Fitrianto S.Sos sebagai 'filsuf anggrek' sekaligus 'sosiolog nabati.'

Kalau kamu mau memberikan titel atau apresiasi ini untuk Ferry, tulis di kolom komentar artikel ini ya! [mhg]. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun