Hari ini adalah hari yang spesial. Peluncuran forum diskusi mingguan dengan tema Bincang Santai Masa Depan Filsafat Islam akan segera dimulai.
Ferry, sang penggagas forum, membuka acara dengan penuh semangat. "Filsafat Barat lebih menekankan pada empirisme," Ferry menjelaskan. "Sesuatu itu dilihat secara empiris, dan terkesan kering dari agama."
"Sedangkan filsafat Islam memiliki landasan-landasan ilahiah," lanjutnya.
Kebun Orchid milik Ferry menjadi contoh sempurna dari keseimbangan antara empirisme dan spiritualitas. Pohon-pohon anggrek di sana dirawat dengan cara yang sama, banyak memang yang hidup walakin beberapa mati.
Hal ini menunjukkan bahwa ada kekuatan lain di luar faktor-faktor empiris yang berperan dalam kehidupan.
Hujan turun dengan derasnya, bagaikan simfoni alam yang mengiringi diskusi kami yang semakin syahdu. Jajanan pasar tersaji sederhana, menemani kami berempat yang tenggelam dalam pertukaran ide dan gagasan yang penuh semangat.
Meskipun hanya berempat, kami tidak merasa kekurangan. Justru, jumlah yang kecil ini membuat kami lebih fokus dan memiliki kesempatan yang sama untuk menyampaikan pendapat.
Pertanyaan dari Faruq mengundang refleksi yang mendalam. "Apakah yang dimaksud dengan kematian filsafat Islam?" tanyanya.
"Apakah kita hanya sekadar mempelajari konsep dan pemikiran para filsuf terdahulu, seperti Ibnu Rusyd, atau haruskah kita memunculkan konsep baru untuk menunjukkan bahwa filsafat Islam masih hidup?"
Ferry merespon pertanyaan Faruq dengan penuh bijak. Dia menjelaskan bahwa kematian filsafat Islam bukan berarti tidak ada lagi filsuf Muslim yang muncul setelah Ibnu Rusyd.
Tepatnya, setelah Ibnu Rusyd, tidak banyak filsuf Muslim murni yang muncul. Kebanyakan filsuf Muslim pada masa itu lebih condong ke tasawuf, seperti Suhrawardi Al-Maqtul, Mulla Sadra, dan Ibn Arabi.